Syaiful Arif, penulis
Dengan hadirnya Joko Widodo (Jokowi) di kancah politik nasional, kita berbahagia karena nilai-nilai mulia yang diajarkan filsafat politik akan terlaksana. Faktanya, tak semudah itu. Jokowi, yang bagaimanapun punya keterbatasan, terlihat tak kuasa menghadapi arus besar politik Indonesia: oligarki.
Tentu Jokowi tak pernah mengajarkan filsafat politik secara teoretis. Ia bahkan bukan intelektual. Satu hal yang berbeda, misalnya, dengan Presiden Abdurrahman Wahid, yang oleh Herbert Feith disebut a scholar president. Berbeda dengan Wahid yang dilatari oleh karier intelektual, Jokowi hanya seorang bos mebel yang karena jujur, merakyat, dan berintegritas bisa menjadi presiden.
Jokowi adalah pemimpin yang dididik oleh alam. Para cendekiawan yang kemudian menteorikan moralitas politiknya menjadi falsafah politik sendiri. Misalnya, blusukan kemudian menandai suatu demokrasi partisipatoris yang mengoreksi elitisme demokrasi prosedural. Atau, sikap cekatan Jokowi dalam menangani persoalan masyarakat membuahkan teknokrasi populis: sebuah kepemimpinan berbasis kerja teknis, berlambar keberpihakan pada wong cilik. Kartu Jakarta Sehat dan Pintar, yang kini diindonesiakan, mampu menghadirkan negara di depan pintu orang miskin, dalam bentuk kesejahteraan.
Inilah yang memukau rakyat, terutama aktivis pro-demokrasi. Sebab, hal-hal ideal yang selama ini mengawang di filsafat politik bisa terbumikan. Kita kemudian bangga. Sebab, politik Indonesia akan membaik. Ia akan bergeser dari oligarki partai dalam demokrasi manipulatif menuju kepemimpinan populis berbasis kerja. Harapan ini dikuatkan oleh keikhlasan Megawati memberikan "tiket kepresidenan" kepada Jokowi, dan kader yang bukan ketua umum partai ini bisa menjadi presiden.
Ternyata, penyakitnya berada di sini. Sebab, akhirnya terdapat dua penguasa: Jokowi Presiden RI dan Megawati Ketua Umum PDIP. Sebagai petugas partai, sang presiden tetap harus manut kepada Ibu Ketum. Inilah oligarki itu, yang ternyata tak terhapus oleh kepresidenan Jokowi. Maka, oligarki partai berkelindan dengan oligarki di tubuh Kepolisian RI. Hasilnya, kelumpuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Realitas kemudian mencengangkan: di masa presiden yang didukung para filsuf ini, semua pimpinan KPK dilaporkan ke polisi!
Inilah yang meruntuhkan harapan untuk kesekian kalinya, bahwa kemuliaan politik yang diajarkan filsafat politik bisa terealisasi. Politik ternyata memang bukan res publica (kebaikan bersama) layaknya sabda Aristoteles. Politik juga bukan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang terlindungi (daf'u dlaruri ma'shumin) sebagaimana titah Al-Ghazali. Ada jurang lebar antara politik "sebagaimana seharusnya" dan "apa yang ada".
Pertanyaannya, apakah terpilihnya Jokowi kemarin sebatas euforia akibat bentukan media dan lembaga survei? Apakah meroketnya Jokowi terjadi akibat kemiskinan bangsa ini akan tokoh politik yang bermoral? Dibutuhkan keberanian, konsep, dan "jam terbang" dalam pengelolaan konflik politik tingkat tinggi. Ini tidak bisa diselesaikan dengan blusukan atau revolusi mental yang kini tak diwacanakan lagi. Tentu Jokowi orang baik. Namun kebaikan tak ampuh bagi pembongkaran oligarki yang menjadi struktur imanen politik negeri ini. *
Berita terkait
Jawaban Puan Maharani soal Pertemuan dengan Prabowo Usai Lebaran: Insya Allah
33 hari lalu
Puan Maharani memberikan sinyal pertemuan dengan Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus calon presiden terpilih Prabowo Subianto usai lebaran.
Baca SelengkapnyaWacana Pertemuan Prabowo dan Puan Maharani, Gerindra Maunya Sebelum Lebaran
33 hari lalu
Partai Gerindra berharap pertemuan Prabowo dan Puan bisa segera teralisasi.
Baca SelengkapnyaMenjelang Pemilu, Elite Politik Diminta Tak Saling Tuding
24 Juni 2018
KIPP menyebutkan para elite politik seharusnya membeberkan hal-hal yang sifatnya faktual menjelang pemilu.
Baca SelengkapnyaPuan Minta Para Mantan Presiden: Jauh di Mata Dekat di Hati
18 Agustus 2017
Puan Maharani meminta para mantan Presiden Indonesia dan inkumben untuk tetap menjaga hubungan baik.
Baca SelengkapnyaCerita Diplomasi Meja Makan Jokowi dan Mantan Presiden di Istana
18 Agustus 2017
Diplomasi meja makan kembali sukses membantu Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumpulkan para mantan Presiden RI di upacara HUT Kemerdekaan ke 72.
Baca SelengkapnyaSBY Bertemu Mega di Istana, Pratikno: Tidak Ada Upaya Khusus
18 Agustus 2017
Pratikno menuturkan bahwa mengundang para mantan Presiden RI pada upacara Detik-detik Proklamasi merupakan bagian dari SOP.
Baca SelengkapnyaSBY Bertemu Mega, Ketua MPR Zulkifli Hasan: Alhamdulillah
18 Agustus 2017
Ihwal pertemuan SBY dan Megawati di Istana dalam HUT ke-72 RI, Ketua MPR ZUlkifli Hasan mengatakan, "Alhamdulillah."
Baca SelengkapnyaJusuf Kalla: Kehadiran SBY di HUT RI di Istana Tenangkan Politik
18 Agustus 2017
Wakil Presiden Jusuf Kalla merespons positif kehadiran Susilo Bambang Yudhoyo (SBY) pada HUT RI ke-72 di Istana Merdeka pada Kamis kemarin.
Baca SelengkapnyaPartai Nasdem: Pidato Viktor Laiskodat Telah Diedit
7 Agustus 2017
Partai NasDem menegaskan bahwa rekaman pidato Viktor Laiskodat, yan menimbulkan kontroversi, telah diedit.
Baca SelengkapnyaNasDem Klarifikasi Pidato Viktor Laiskodat, Fadli Zon Merespons
7 Agustus 2017
Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon mempertanyakan sikap NasDem yang membela kadernya, Viktor Laiskodat yang dianggap menyebarkan ujaran kebencian.
Baca Selengkapnya