Kacamata Kuda versus Teropong Lebar

Penulis

Selasa, 17 Februari 2015 03:43 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Firoz Gaffar, Chairman Figa Institute of Law and Economics (FILE)

Apa warna hukum? Bisa merah, kuning, hijau, atau lainnya. Maksudnya, kinerja hakim dalam penegakan hukum bisa colorful. Publik di Indonesia saat ini tegang menunggu beleid dan vonis dari pemegang kekuasaan formal, yakni eksekutif dan yudikatif, dalam kasus calon Kepala Polri.

Di satu sisi, Presiden baru melantik atau tidak Budi Gunawan sebagai orang nomor satu kepolisian hanya bila pengadilan sudah memutus permintaan praperadilan. Di sisi lain, hakim menilai keabsahan prosedur pada tahap penyidikan atau penuntutan-sesuai dengan nama "praperadilan"-sebelum substansi perkara diperiksa nantinya.

Banyak aspek yang bisa diuji di sini, yakni wewenang komisioner KPK yang tidak lengkap dalam penetapan tersangka, status Budi Gunawan saat perkara sebagai penyelenggara negara atau penegak hukum, dan sebagainya. Salah satu yang signifikan adalah pengujian obyek praperadilan menurut Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 82, dan Pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam hal ini, kita bisa menyorot masalah ini dari perspektif teori hukum. Spektrum tinjauan beragam, dari ekstrem kiri sampai ekstrem kanan, tradisional sampai pasca-modern, dan stabilitas sampai perubahan persepsi. Teori akan menunjukkan pijakan bagi decision maker dan menjernihkan gambaran buat masyarakat atas perkara. Dari sekian banyak aliran, barangkali ada dua pandangan yang sudah panjang umurnya, universal berlakunya, dan berseberangan duduknya, yang patut ditimbang.

Teori pertama adalah positivisme. Hukum dalam ajaran ini dideskripsikan berlaku pada waktu dan tempat tertentu. Pelopor aliran ini, John Austin, berkata, "Inti dari yurisprudensi adalah hukum positif: hukum yang secara sederhana dan ketat, atau hukum yang secara politik diberlakukan kelompok yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah." (The Province of Jurisprudence Determined, 1832).

Ada dua kesimpulan. Pertama, hukum yang secara sederhana dan ketat disebut hukum adalah "hukum yang ada" (law as it is) yang mutlak dibedakan dengan "hukum yang seharusnya" (law as it ought to be). Kedua, kebenaran hukum hanya ditentukan oleh "otoritas politik". Hikmahnya bahwa hukum dipisahkan dari parameter moral, agama, etika, atau apa pun yang bersifat non-yuridis. Tidak ada relasi hukum dengan kebaikan atau keburukan. Selama hukum sudah ditentukan penguasa yang sah, berlakulah hukum.

KUHAP menyebutkan obyek praperadilan, yaitu validitas empat perbuatan hukum, yakni penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan, serta permintaan rehabilitasi pihak yang perkaranya dihentikan. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka secara eksplisit tidak termasuk di dalam kategori "hukum yang ada". Selain itu, KUHAP adalah produk hukum yang secara sah dilahirkan oleh presiden dan DPR sebagai "otoritas politik" yang sah. Dengan kacamata kuda positivisme, hakim dengan mudah menolak permintaan praperadilan. Tapi ternyata hakim mengabulkan permohonan.

Teori kedua adalah realisme. Tidak seperti ajaran positivisme, hukum menurut aliran realisme adalah kenyataan hidup. Terdapat dua konklusi. Pertama, "hukum tidak logis" atau tidak dapat ditemukan melalui pola pikir silogisme, melainkan berdasarkan pengalaman. Kedua, "efek fenomena non-yudisial" seperti moral, politik, intuisi, pengakuan, prasangka, adalah faktor yang mempengaruhi eksistensi hukum. Pelajarannya, hukum tidak asosial, melainkan kental berinteraksi dengan wacana publik. Dalam bahasa lain, hukum tidak lagi independen dan super, bila bertentangan dengan misi berbangsa dan bernegara.

Dalam kenyataannya, penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka berada dalam rentetan waktu yang berdekatan dengan pencalonan dirinya menjadi Kepala Polri. Setelah dicalonkan Kompolnas ke Presiden dan selanjutnya diajukan Presiden ke DPR, beliau ditetapkan sebagai tersangka. Padahal DPR telah menyetujui dan berikutnya Presiden tinggal melantik. Karena "hukum tidak logis", tahap demi tahap proses ketatanegaraan tersebut tidak kebal terhadap koreksi menurut nilai yang hidup.

Di samping itu, tuntutan integritas pejabat, ancaman kompleksitas politik nasional, keyakinan diri hakim, kesadaran pribadi Budi Gunawan, prasangka negatif publik, menjadi "efek fenomena non-yudisial" yang mewarnai vonis. Dengan teropong lebar realisme, hakim seyogianya menolak permohonan praperadilan. Namun hakim ternyata menerima gugatan.

Hakikat praperadilan adalah proses cepat dan sederhana. Cukuplah alas vonis ialah positivisme atau realisme. Vonis hakim telah jatuh: menerima gugatan praperadilan dengan mengesampingkan kedua teori. Baik dari sisi keilmuan ataupun sisi kebangsaan, teori dibuat mandul. Penguasa-termasuk hakim-mestinya bertugas mensejahterakan, bukan menyengsarakan masyarakatnya. "Tugas gembala yang baik adalah mencukur ternaknya, bukan mengulitinya" (Boni pastoris est tondere pecus, non deglubere).


Berita terkait

Hakim Agung Gayus Lumbuun Sebut Ada Tsunami di Dunia Peradilan  

9 September 2017

Hakim Agung Gayus Lumbuun Sebut Ada Tsunami di Dunia Peradilan  

Gayus Lumbuun meminta Presiden Joko Widodo memimpin langsung pembenahan aparatur peradilan dari tingkat pengadilan negeri hingga MA.

Baca Selengkapnya

Hamdan Zoelva: Peradilan Jessica Warnai Hukum 2016

10 Januari 2017

Hamdan Zoelva: Peradilan Jessica Warnai Hukum 2016

Hal terpenting adalah bagaimana membangun integritas hakim dan aparat pengadilan serta menjamin independensinya dalam memutus perkara.

Baca Selengkapnya

Tokoh Agama Diminta Bantu Kampanye Peradilan yang Bersih

18 November 2015

Tokoh Agama Diminta Bantu Kampanye Peradilan yang Bersih

Komisi Yudisial Wilayah Jawa Timur melibatkan para tokoh lintas agama dalam kampanye Peradilan Bersih dan Berintegritas.

Baca Selengkapnya

Uskup Agung: Cara Interogasi Peradilan Belum Maju

26 Desember 2014

Uskup Agung: Cara Interogasi Peradilan Belum Maju

Suharyo menjelaskan banyak orang tak bersalah terpaksa menjalani hukuman.

Baca Selengkapnya

SBY Minta MK Pulihkan Kewibawaan  

15 November 2013

SBY Minta MK Pulihkan Kewibawaan  

SBY telah memberi arahan kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan mengenai penanganan para pelaku tindakan anarkis di ruang sidang.

Baca Selengkapnya

Din Syamsuddin Yakin Hamdan Punya Integritas

3 November 2013

Din Syamsuddin Yakin Hamdan Punya Integritas

Din optimistis Hamdan bisa menjadi hakim dan muslim yang menyadari ada 'ahkamul hakimin' di atasnya.

Baca Selengkapnya

Mencuri Rumput Dituntut 1 Tahun Penjara

14 September 2012

Mencuri Rumput Dituntut 1 Tahun Penjara

Hanya karena mengambil rumput, Ibrahim dituntut 1 tahun penjara.

Baca Selengkapnya

Jaksa-Hakim Diusulkan dari Universitas Terkemuka  

25 November 2011

Jaksa-Hakim Diusulkan dari Universitas Terkemuka  

"Jangan nanti yang masuk ke kejaksaan dan peradilan adalah lulusan dari universitas yang ecek-ecek.

Baca Selengkapnya

Terlibat Percaloan, MA Pecat Hakim Ardiansyah  

15 November 2010

Terlibat Percaloan, MA Pecat Hakim Ardiansyah  

Mahkamah Agung memberhentikan dengan tidak hormat kepada Ardiansyah Ferniahgus Djafar, seorang hakim di Pengadilan Negeri Bitung, Sulawesi Utara. Ardiansyah dinilai terlibat kasus penipuan seleksi calon hakim tahun 2009.

Baca Selengkapnya

Saat Islah, Peradi dan KAI Malah Baku Hantam

24 Juni 2010

Saat Islah, Peradi dan KAI Malah Baku Hantam

Dua organisasi advokat, Perhimpunan Advokat Indonesia dan Kongres Advokat Indonesia yang berseteru, Kamis (24/6) siang ini harusnya meneken kesepakatan damai alias islah di Gedung Mahkamah Agung. Namun sebelum penandatanganan, justru kericuhan yang terjadi.

Baca Selengkapnya