Keputusan Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada Eva Susanti Hanafi Bande mudah-mudahan bukan sekadar simbol "belas kasihan" di Hari Ibu. Momentum ini mesti dimanfaatkan untuk menyelesaikan konflik agraria yang membara di banyak tempat.
Sejak awal, Eva Bande tak pantas dipenjara. Selama ini, sebagai aktivis, perempuan 36 tahun itu telah menggunakan hak konstitusionalnya untuk berserikat dan berpendapat. Kehadiran Eva di tengah unjuk rasa puluhan petani Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, bukanlah kejahatan. Waktu itu, 26 Mei 2010, petani memprotes PT Berkat Hutan Pusaka yang memblokade jalan ke ladang mereka yang hampir panen. Unjuk rasa tersebut memang berakhir anarkistis. Tapi tak ada bukti bahwa Eva terlibat langsung dalam aksi perusakan properti milik PT Berkat itu.
Eva divonis 4 tahun penjara dengan bukti yang dipaksakan. Hanya ada seorang saksi yang menyebutkan dia berteriak memerintahkan perusakan. Itu pun tergolong saksi yang tak netral, karena masih berstatus manajer di PT Berkat. Eva juga dianggap menghasut petani karena mengirim pesan pendek agar petani tak menyerah. Padahal meminta orang tidak menyerah jelas berbeda dengan menghasut orang untuk merusak.
Jadi, sudah tepat bila Presiden Jokowi menilai Eva Bande sebagai korban kriminalisasi yang perlu dibebaskan. Tapi, perlu diingat, keputusan Jokowi "menolong" korban seperti Eva baru menyentuh gejala, belum mengangkat akar penyakit kronis konflik agraria di negeri ini.
Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan bara konflik pertanahan yang tak kunjung padam. Dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi 1.379 konflik pertanahan. Total lahan yang diperebutkan sekitar 4,16 juta hektare. Korbannya: 1.354 orang ditahan, 556 orang terluka, dan 70 orang meninggal.
Akar konflik agraria sebenarnya tak sulit dicari. Konflik selalu dipicu oleh ketimpangan pemilikan lahan. Ada juga yang dipicu tumpang-tindih peta lahan yang diterbitkan pemerintah. Solusinya juga sudah jelas: penataan ulang pemilikan dan penguasaan lahan (land reform). Kaum tani gurem, buruh tani, dan komunitas adat mesti mendapat prioritas untuk bisa mengakses lahan yang bisa mengangkat taraf hidup mereka.
Semangat reformasi agraria dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria hingga kini masih relevan. Masalahnya, sampai Indonesia enam kali berganti presiden, undang-undang itu tak pernah dijalankan secara konsisten. Akibatnya, ketimpangan penguasaan lahan tak kunjung terobati. Di banyak wilayah, kasus tumpang-tindih batas pemilikan lahan pun makin sering terjadi.
Pemerintah Jokowi seharusnya kembali menjadikan reformasi agraria sebagai agenda utama. Kementerian Agraria dan Tata Ruang perlu bergegas menuntaskan berbagai konflik yang menahun, sembari memulai penataan ulang pemilikan lahan yang berkeadilan. Bila tidak, pemerintah Jokowi akan mengulang kesalahan pendahulunya: membiarkan konflik agraria menjadi bom waktu yang siap meledak.