Maaf

Penulis

Rabu, 9 November 2005 00:00 WIB

Mohon maaf, lahir batin". Kartu Lebaran beterbangan, pesan pendek di telepon genggam mondar-mandir. Hari Lebaran adalah hari ketika maaf otomatis dimohon dan secara langsung diberikan.

Tapi maaf bukanlah pemberian.

Memberikan maaf bukanlah menghadiahi, melainkan mengakui yang tak abadi. Ada sebuah sajak Alun Lewis, seorang penyair Welsh yang membisikkan pengakuan itu: di air kolam di hutan itu tampak parasnya sendiri seakan tengggelam, di celah daun-daun yang jatuh terapung:

Forgive this strange inconstancy of soul,The face distorted in a jungle poolThat drowns its image in a mort of leaves

Maafkan jiwa ini, katanya, tak ada yang tetap di sana: lihatlah pantulan wajah itu, sesuatu yang tak kekal. Memang dulu seorang anak melihat ke cermin yang disiapkan orang tuanya dan menyangka dirinya sosok yang utuh. Tapi di usia dewasa ia tahu dalam dirinya tersirat "this strange inconstancy of soul". Ia subyek yang retak, tak selamanya ajek dan mantap, terdorong niat dan hasrat untuk mencapai yang sempurna, tapi apa daya tangan tak sampai.

Advertising
Advertising

Tentu saja, maaf tak semata-mata mengakui yang tak abadi dan tak terjangkau. Maaf (kecuali "maaf" rutin pada hari Lebaran) jadi tindakan yang berarti bila ia tak dapat diramalkan lebih dulu, bila ia merupakan pilihan yang tegang antara memaafkan dan tak memaafkan, bila yang memaafkan seakan-akan meloncat dari masa lalu yang disakiti ke masa depan yang penuh teka-teki. Artinya, bila ia mendorong dirinya sendiri untuk membuka diri kepada yang "lain", memulihkan pertalian dengan yang "lain".

"Yang-lain" bisa berarti apa yang tak terduga oleh ukuran lurus kita, yang tak sepenuhnya tercerap kita dengan jelas dan tegas, dan sebab itu tak mudah dinilai dan dihakimi.

Tapi benarkah kita tak mampu menghakimi? Sekelompok orang menangkap tiga murid perempuan SMA Kristen yang kebetulan lewat di tepi hutan Poso, memenggal leher mereka, dan mengirim tiga potong kepala ke tengah kota, agar menimbulkan marah, ngeri, dan onar. Sebelum dan setelah mereka menyembelih anak-anak yang tak berdosa itu, saya bayangkan mereka mengutip sabda yang mereka yakini dan memaklumkan yang mereka anggap luhur, dan berseru: Kami lain! Nilai-nilai kami tak sama dengan nilai-nilai kalian!

Bisakah kita memaafkan mereka, hanya karena mereka berada di luar ukuran kita, dengan nilai-nilai yang tak cocok dengan nilai-nilai kita?

Mungkin ini sebuah pendekatan yang salah. Maaf lahir bukan karena kita harus mengikuti logika perbedaan, melainkan justru karena ada harapan akan titik-titik persamaan.

Dalam riuh-rendah "politik identitas", yang berkecamuk tiga dasawarsa yang lalu, pelbagai kelompok memang memproklamasikan diri "berbeda". Kaum X, agar dapat diakui kehadirannya, harus menemukan identitas sendiri yang bukan seperti kaum Y. Kaum A, untuk menegaskan kemandiriannya, menuding bahwa norma yang samayang universalhanya sebuah bentuk penjajahan kaum B, dan sebab itu yang universal sebenarnya tak pernah ada.

Gema "politik identitas" itu masih terus, kecemasan kehilangan "jati diri" terus berkecamuk. Memang harus diakui: tatanan normatif yang kita terima sering datang dari "luar". Tradisi Islam tak mengenal, misalnya, proses peradilan yang berdasarkan praduga tak bersalah, yang mengharuskan ada pembela bagi si tertuduh dan memungkinkannya naik banding. Posisi hegemonik "Barat"-lah yang menyebabkan norma itu diadopsi di mana-mana.

Tapi benarkah posisi itu menjelaskan segala-galanya, hingga tak ada yang universal yang berarti? Jika masing-masing pihak menegaskan identitas diri sepenuhnya, secara mutlak, bagaimana kita punya nilai-nilai bersama? Bagaimana tuan bisa bilang "tidak!" kepada para penyembelih anak-anak?

Kini pelbagai keyakinan dapat tempat, semuanya membawakan "kebenaran" yang dinyatakan berlaku kapan-saja-di-mana-saja. Sementara itu juga orang tambah sadar, atau tambah curiga, bahwa konsensus untuk menerima nilai-nilai yang universal selalu dicapai lewat pergulatan politik.

Bersama Marx dan setelah Marx, kita tak percaya lagi ada fondasi yang "universal" yang berada di atas sejarah, tak berubah. Kian tampak, yang "universal" bukan wahyu Tuhan dan hasil kecerdasan, tapi hasil pergulatan dalam ruang dan waktu.

Itu sebabnya setelah Marx, ada Laclau, mengikuti Gramsci: ia mengakui, bahwa apa yang universal memang ditentukan oleh posisi hegemonik dari salah satu suara dalam kehidupan bersama, tapi tak berarti yang universal tak ada. Ada yang salah dalam "politik identitas": tak ada identitas yang bisa penuh, tak ada suara sepihak yang sepenuhnya tertutup rapat dari suara pihak lain. Suara B efektif diterima karena ia tak mutlak menampik suara A, karena apa yang "benar" dan "adil"meskipun tak bisa dirumuskanjuga bisa menggerakkan dan menggetarkan pihak "sana".

Dalam keadaan itu, tiap suara yang ingin menegakkan satu tata normatif mengaku sebagai inkarnasi dari yang universal. Tapi yang universal selamanya tak terucapkan, terasa jauh tapi dekat, ibarat cakrawala yang membisu. Sebagaimana cakrawala, tiap kali didekati, ia tetap tak terjangkau. Tapi kita tahu ia ada justru dalam ketidakhadirannya.

Walhasil, kita bisa menghakimi para penyembelih anak-anak di hutan Poso. Kita bisa mengatakan bahwa mereka tak bisa pura-pura 100 persen berbeda dari kita. Mereka tahu perbuatan mereka keji. Teror dan provokasi hanya efektif bila dinilai siapa saja, juga oleh kaum yang di seberang sana, sebagai sesuatu yang keji.

Hanya sebuah fantasi yang muluk bila kita melihat diri sendiri ("this strange inconstancy of soul") sebagai sesuatu yang utuh, kekal, dan mutlak dalam berbeda dari yang lain. Sejarah menunjukkan, manusia mengerti kenapa tangan selalu bisa diulurkan dan maaf datang dengan kearifannya: maaf sebagai pengakuan bahwa tiap pihak, juga atas nama Tuhan yang sempurna dan abadi, tak akan pernah mencapai permusuhan yang sempurna dan abadi.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Perludem Prediksi Jokowi Bakal Cawe-cawe di Pilkada 2024

10 menit lalu

Perludem Prediksi Jokowi Bakal Cawe-cawe di Pilkada 2024

Perludem menilai politisasi bansos dan mobilisasi aparat akan tetap terjadi di Pilkada 2024.

Baca Selengkapnya

Nilai Tukar Rupiah Makin Merosot, Rp 16.255 per USD

11 menit lalu

Nilai Tukar Rupiah Makin Merosot, Rp 16.255 per USD

Nilai tukar rupiah ditutup melemah 45 poin ke level Rp 16.255 per USD dalam perdagangan hari ini.

Baca Selengkapnya

Posyandu Garda Terdepan Tangani Kesehatan Ibu dan Anak

11 menit lalu

Posyandu Garda Terdepan Tangani Kesehatan Ibu dan Anak

Kegiatan Posyandu terdiri dari kegiatan utama dan kegiatan pengembangan atau pilihan. Apa saja?

Baca Selengkapnya

Sebanyak 16.627 Peserta Akan Ikuti UTBK-SNBT IPB University, Panitia Ingatkan Ini

20 menit lalu

Sebanyak 16.627 Peserta Akan Ikuti UTBK-SNBT IPB University, Panitia Ingatkan Ini

16.627 peserta akan ikuti UTBK-SNBT di IPB University pada 30 April 2024, 02 - 07 Mei 2024 dan 14 - 20 Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Jogja Art Books Festival 2024 Dipusatkan di Kampoeng Mataraman Yogyakarta

23 menit lalu

Jogja Art Books Festival 2024 Dipusatkan di Kampoeng Mataraman Yogyakarta

JAB Fest tahun ini kami mengusung delapan program untuk mempertemukan seni dengan literasi, digelar di Kampoeng Mataraman Yogyakarta.

Baca Selengkapnya

Asal Usul 29 April Ditetapkan sebagai Hari Posyandu Nasional

26 menit lalu

Asal Usul 29 April Ditetapkan sebagai Hari Posyandu Nasional

Presiden Soeharto menetapkan 29 April 1985 sebagai Hari Posyandu Nasional.

Baca Selengkapnya

Pengendara Motor di Depok Jadi Korban Tabrak Lari Kendaraan Dinas Polisi

28 menit lalu

Pengendara Motor di Depok Jadi Korban Tabrak Lari Kendaraan Dinas Polisi

Seorang pengendara motor di Depok jadi korban tabrak lari kendaraan dinas polisi. Korban alami luka serius dan harus dirawat di rumah sakit.

Baca Selengkapnya

Lokasi Nobar Piala Asia U-23 Pindah ke Halaman Kemenpora, Bisa Datang Tanpa Registrasi

34 menit lalu

Lokasi Nobar Piala Asia U-23 Pindah ke Halaman Kemenpora, Bisa Datang Tanpa Registrasi

Lokasi nobar Piala Asia U-23 Indonesia vs Uzbekistan malam ini dipindah dari Auditorium Wisma Kemenpora ke Halaman Kemenpora.

Baca Selengkapnya

Selebritas Berkali-kali Kejeblos Kasus Narkoba, Terakhir Rio Reifan Ditangkap Kelima Kalinya

36 menit lalu

Selebritas Berkali-kali Kejeblos Kasus Narkoba, Terakhir Rio Reifan Ditangkap Kelima Kalinya

Polisi tangkap selebritas Rio Reifan kelima kalinya dalam kasus narkoba. Berikut beberapa artis lain yang berkali-kali terjerat barang haram itu.

Baca Selengkapnya

Pj Bupati Banyuasin Segera Bangun Jalan di Lima Desa Kecamatan Muara Sugihan

37 menit lalu

Pj Bupati Banyuasin Segera Bangun Jalan di Lima Desa Kecamatan Muara Sugihan

Penjabat Bupati Banyuasin, H. Hani Syopiar Rustam melakukan kunjungan kerja sekaligus meninjau jalan di lima Desa Kecamatan Muara Sugihan sepanjang 3,250 meter yang akan segera dibangun, pada Ahad, 28 April 2024.

Baca Selengkapnya