TEMPO.CO, Jakarta - Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Salah satu janji Presiden Joko Widodo yang tercantum dalam Program Nawacita adalah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Faktanya, setelah lebih dari 100 hari berkuasa, lembaga antikorupsi ini belum terlihat diperkuat, bahkan yang terjadi "dilemahkan".
Upaya pelemahan ini tidak bisa lepas dari ketegangan antara KPK dan Kepolisian Republik Indonesia. Khususnya setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, calon Kepala Polri pilihan Presiden dan DPR, sebagai tersangka korupsi. Langkah KPK kemudian memunculkan proses kriminalisasi terhadap sejumlah pemimpin KPK.
Bahkan sudah ada dua orang yang menjadi korban kriminalisasi. Abraham Samad menjadi tersangka atas kasus pemalsuan dokumen dan Bambang Widjojanto menjadi tersangka atas kasus pemberian keterangan palsu. Selain kriminalisasi, tidak sedikit pegawai dan penyidik mendapat intimidasi dari pihak yang tidak dikenal.
Ketika dua pemimpin KPK menjadi tersangka, respons yang dilakukan Jokowi sungguh di luar harapan. Jokowi, dalam keputusannya, Rabu, 18 Februari lalu, justru tidak memberi ketegasan untuk menghentikan proses kriminalisasi dan ancaman terhadap KPK.
Jokowi lebih memilih memberhentikan sementara (non-aktif) Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai pemimpin KPK, karena berstatus tersangka. Presiden juga menunjuk Taufiequrachman Ruki (mantan Ketua KPK), Indriyanto Seno Adji (akademikus), dan Johan Budi (Deputi Pencegahan KPK) sebagai pelaksana tugas sementara pemimpin KPK.
Di sisi lain, muncul asumsi bahwa Keputusan Presiden soal penunjukan tiga orang pelaksana tugas pemimpin KPK merupakan bentuk legalisasi terhadap upaya kriminalisasi yang dialami oleh dua pemimpin KPK. Tanpa adanya ketegasan Jokowi untuk menghentikan proses kriminalisasi ini, proses pemeriksaan dan kriminalisasi terhadap sejumlah pemimpin ataupun penyidik yang diduga direkayasa atau terkesan dicari-cari akan terus berlanjut.
Proses hukum yang dilakukan oleh Bareskrim terhadap Bambang Widjojanto, berdasarkan laporan Ombudsman, juga dinilai melanggar aturan dan ditemukan sejumlah maladministrasi. Ombudsman memberikan sejumlah rekomendasi, perlu adanya sanksi terhadap para penyidik Polri yang dinilai bermasalah.
Dalam kerangka penyelamatan KPK, seharusnya sikap atau tindakan yang perlu dilakukan oleh Presiden adalah memerintahkan Polri menghentikan proses kriminalisasi terhadap pemimpin, pegawai, dan penyidik KPK.
Alternatif lainnya adalah Presiden dapat membentuk tim independen untuk menilai secara obyektif apakah proses kriminalisasi terhadap pemimpin KPK dinilai wajar atau tidak wajar.
Pembentukan tim independen pernah dilakukan Presiden SBY dalam kasus Bibit-Chandra. Atas masukan rekomendasi tim independen yang juga disebut sebagai Tim 8, SBY kemudian memerintahkan Jaksa Agung menghentikan proses penuntutan (deponering) terhadap kasus Bibit dan Chandra. KPK akhirnya terselamatkan dari upaya pelemahan.
Masyarakat masih menagih janji Jokowi yang tercantum dalam Program Nawa Cita, yaitu memperkuat KPK. Jokowi harus memastikan bahwa keputusan yang diambil dimaksudkan untuk mendukung dan memperkuat KPK dalam melawan korupsi di negeri ini. Bukan sebaliknya, membiarkan KPK dilemahkan.
Berita terkait
Polri Akui Ada Kendala Identifikasi Teror Bom Pimpinan KPK
14 Januari 2019
Polisi mengakui menemukan kendala dalam mengidentifikasi bom molotov dan bom palsu di rumah pimpinan KPK Agus Rahardjo dan Laode M Syarif.
Baca SelengkapnyaIdul Fitri, Novel Baswedan Salat Id di Masjid Dekat Rumah Sakit
25 Juni 2017
Karena kondisi matanya belum pulih, Novel Baswedan hanya bisa merayakan Idul Fitri di rumah sakit di Singapura.
Baca SelengkapnyaAlasan Polisi Belum Bisa Mengungkap Penyerang Novel Baswedan
19 Mei 2017
Polda Metro Jaya membantah bekerja lambat dalam mengungkap kasus serangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
Baca SelengkapnyaKapolda Metro: Serangan ke Novel Sangat Terencana, Digambar Dulu
26 April 2017
Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan mengatakan serangan kepada Novel Baswedan sangat terencana dengan baik.
Baca Selengkapnya2 Orang yang Difoto Dekat Rumah Novel Ternyata Informan Polisi
24 April 2017
Dua orang yang difoto dekat rumah Novel Baswedan berprofesi sebagai debt collector sekaligus jadi informan polisi untuk kasus pencurian motor.
Baca SelengkapnyaPolisi Periksa Terduga Pelaku Serangan ke Novel Baswedan
21 April 2017
Polisi tengah memeriksa seorang yang diduga pelaku penyiram air keras pada Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
Baca SelengkapnyaTiga Regu Khusus Ini Selidiki Teror Air Keras terhadap Novel Baswedan
13 April 2017
Polda Metro Jaya membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan.
Baca SelengkapnyaTeror Tak Lumpuhkan Novel dan KPK
13 April 2017
Air keras disiramkan ke wajah Novel Baswedan. Patut diduga, otak pelakunya berkeinginan agar Novel roboh dan KPK rapuh. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Novel Baswedan adalah ikon di KPK. Karena itu, menyerang Novel berarti pula menggempur KPK.
Baca SelengkapnyaKapolda: Jangan Blunder Lama Ungkap Serangan ke Novel Baswedan
12 April 2017
Kapolda Metro Jaya Irjen Mochammad Iriawan meminta seluruh jajarannya untuk bekerja maksimal mengungkap kasus serangan terhadap Novel Baswedan.
Baca SelengkapnyaSerangan ke Novel Baswedan, Kapolda Metro: Ada yang Menyuruh
12 April 2017
"Tentu ada motif. Ada pelaku di lapangan yang menyiram tentu ada yang menyuruh. Tidak mungkin berdiri sendiri," ucap Iriawan.
Baca Selengkapnya