Pembatasan peredaran minuman beralkohol merupakan kebijakan bagus. Dengan cara ini, tidak mudah lagi kalangan remaja mengkonsumsi minuman keras. Hanya, aturan ini perlu diikuti penertiban minuman oplosan yang jauh lebih berbahaya.
Pelarangan yang akan berlaku mulai medio April itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015 tentang Penjualan Minuman Beralkohol. Dalam peraturan ini, secara spesifik disebutkan pelarangan penjualan minuman beralkohol berkadar di bawah 5 persen atau jenis bir di minimarket dan tempat-tempat penjualan eceran lainnya.
Pengawasan perlu dilakukan lebih ketat karena selama ini minuman beralkohol mudah diakses siapa pun, termasuk oleh remaja, bahkan anak-anak. Pelarangan yang berupa batasan usia pada kemasan minuman dengan mudahnya dilanggar. Apalagi keberadaan minimarket-bahkan ada yang beroperasi 24 jam-semakin marak dan sekaligus menjadi tempat nongkrong anak-anak muda. Dengan alasan gaya hidup, ditambah harga minuman beralkohol yang relatif terjangkau, kelompok masyarakat yang belum dewasa ini bisa mengkonsumsi bir dan sejenisnya dengan gampang.
Tidak selayaknya minuman yang memabukkan itu dikonsumsi oleh kelompok usia di bawah umur karena mereka masih labil. Di mata hukum, remaja dikategorikan sebagai pihak yang tidak harus bertanggung jawab penuh bila melakukan pelanggaran. Untuk itulah negara perlu turut aktif melindungi generasi muda dari berbagai pengaruh negatif, salah satunya dari pengaruh minuman keras.
Agar aturan itu berjalan efektif, pemerintah daerah perlu dilibatkan dalam sosialisasi ke minimarket dan penjual eceran. Pelaksanaan aturan ini pun perlu dipersiapkan secara matang. Sebab, sangat mungkin akan muncul berbagai penolakan terhadap peraturan menteri itu, termasuk dengan alasan permintaan pasar. Misalnya, kawasan wisata merasa memerlukan perlakuan khusus karena minuman keras menjadi konsumsi para turis asing.
Pemerintah wajib pula membuat kajian menyeluruh terhadap penerapan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel memang telah menghitung potensi kerugian negara senilai Rp 6 triliun dari cukai penjualan minuman beralkohol di minimarket. Menurut dia, kerugian tersebut bisa digantikan dengan penjualan barang serupa di kafe dan tempat hiburan serta hotel. Namun pemerintah juga perlu mengkalkulasi perpindahan pasar, karena bir semakin sulit didapat dan semakin mahal, yaitu pilihan ke minuman keras oplosan, yang justru sangat berbahaya.
Pembatasan peredaran minuman keras memang tidak bisa diterapkan sepotong-sepotong. Diperlukan pengawasan secara komprehensif demi melindungi publik, terutama pada kelompok usia belum dewasa. Artinya, pelarangan penjualan minuman berkadar alkohol di bawah 5 persen di minimarket perlu disertai tindakan tegas terhadap perdagangan minuman oplosan. Jangan sampai pelarangan penjualan minuman keras di minimarket justru mengundang penjualan minuman yang sama atau oplosan di pinggir jalan.