Seorang istri guru ditangkap polisi di Tangerang. Ia berada di jalan sekitar pukul tujuh malam. Ia harus membuktikan dirinya bukan pelacur. Peraturan Daerah mengharuskan itu. Tuan-Tuan yang berkuasa di Tangerang tampaknya berpendapat, tiap perempuan yang berada di luar rumah dalam remang itu perlu dicurigai sebagai "jalang".
Bisakah Tuan-Tuan itu memperkirakan, kini "kaum pe-rempuan di Tangerang dicengkeram ketakutan"?
Tapi mereka mungkin tak mengacuhkan pernyataan Forum Solidaritas Perempuan Banten, 22 Maret 2006 itujuga tak membayangkan para ibu yang cemas bila anak mereka pulang terlambat dari kursus pada malam hari dan saudara mereka kembali dari pabrik setelah senja.
Mungkin Tuan-Tuan itu akhirnya akan menjawab (de-ngan dukungan Majelis Ulama): perempuan memang harus ting-gal di rumah, "dilindungi". Tuan-Tuan itu pasti bukan kelas bawah yang perlu dapat tambahan penghasilan dari upah istri yang jadi pemijat, penunggu kios rokok atau bakul jamu. Lagi pula ayat suci bisa dikutip, sebagaimana di Arab Saudi Quran dan Hadis dikutip untuk memutuskan: per-empuan tak boleh berpakaian lain selain purdah, per-em-puan tak boleh menyetir mobil, dan tentu saja tak boleh jual jamu....
Perempuan selalu dekat dengan dosaitulah mungkin pi-kir Tuan-Tuan di Tangerang, seraya mendengar agama berbicara.
Tentu saja agama yang datang dari Timur Tengah.
Saya tak tahu persis kenapa di sana perempuan selalu di-tilik demikian. Mungkinkah karena sebuah pengalaman, yang kemudian jadi paradigma, juga metaforayaitu dahsyatnya gurun pasir?
Siapa tahu. Sebab, ada seorang tua bernama Apa Sisoes. Ia seorang biarawan di Mesir abad ke-4.
murid Apa Sisoes itu berkata kepadanya, "Bapa, Bapa telah tua. Mari kita pindah sedikit ke dekat tanah yang te-lah dihuni." Orang Tua itu menyahut, "Di mana tak ada per-em-puan, ke tempat itulah kita harus pergi." Murid itu pun berkata kepadanya, "Tempat apa lagi yang tak ada perempuannya, kecuali gurun pasir?" Dan Orang Tua itu berkata, "Bawa aku ke gurun pasir."
Kisah itu diceritakan kembali oleh Peter Brown, guru besar sejarah di Universitas Princeton, dalam The Body and Society, sebuah paparan penting tentang iman dan seksuali-tas, ketika perempuan ditampilkan sebagai sumber godaan yang tak habis-habisnya pada masa awal agama Kristenketika seorang biarawati yang menepuk kaki bapa uskup yang sepuh dan sakit sudah bisa dianggap merangsang untuk bersetubuh.
Maka tak mengherankan bila di Mesir masa itu ada se-orang rahib yang mencelupkan jubahnya ke bangkai seorang perempuan yang sudah membusuk; ia berharap, bau baseng itu tak akan membuatnya mau berfantasi tentang wanita.
Bahkan ada seorang calon biarawan yang menggendong ibu-nya yang tua menyeberangi sungai seraya membungkus ta-ngannya dengan kain, sebab ia tak mau bersentuhan de-ngan kulit ibunya sendiri. "Daging semua perempuan ada-lah api."
Perempuan adalah apidaya yang bisa merusak, bagian dari "dunia", begitulah waktu itu ada petuah agama yang ber-kata. Wanita harus dijauhi dan dijauhkan. Ia tak termasuk "gurun pasir".
"Gurun pasir", bentangan alam yang garang itu, waktu itu punya makna tersendiri. Gurun pasir, dalam catatan Brown, "muncul sebagai tempat yang tak tertandingi dalam he-ro-isme Kristen". Di sanalah laki-laki bisa hidup keras dan khusyuk melatih diri bebas dari nafsu apa pun. Dalam ke-khusyukan itu, batas harus tegas antara "gurun pasir" dan "dunia".
Maka ketika dunia diliputi "dosa", di gurun ituterbentang dari tepi Danau Maryt sampai ke arah Iskandariah, terutama di Wadi Natrntinggallah ratusan apotaktikoi, "para penampik" yang tak menghendaki hidup dengan pan-ca-indra yang mencicipi nikmat bumi.
Penampikan itu tentu saja akhirnya tak hanya terbatas di gurun pasir, dan juga tak hanya di Mesir. Bahkan sejak abad ke-2, para alim Masehi memandang perempuan seba-gai pangkal kematian. Di bawah pengaruh ajaran Tatian, pel-bagai kelompok Gereja Kristen Suriah meyakininya.
dan mereka bilang, Juru Selamat sendiri berkata: "Aku datang untuk membatalkan kerja perempuan".
"Perempuan" di situ ditafsirkan sebagai hasrat seksual, "kerja" diartikan kelahiran dan maut. Demikianlah dengan waswas komunitas Kristen yang terserak sampai ke kaki-kaki bukit Iran memandang "dunia": kelahiran, perempuan, kematian.
Tapi tak hanya mereka sebenarnya. Juga dari sekitar gu-run pasir Timur Tengah, agama Yahudi mengawali rasa was-was itu. Aliran ortodoksnya menggariskan kol isha yang me-larang lelaki mendengarkan perempuan menyanyi. Ada yang hanya mengharamkan mereka menyaksikan pertunjukan nyanyi yang "sugestif". Ada yang lebih ketat: mereka me-larang lelaki mendengarkan suara perempuan bahkan dalam rekaman.
Dan tak cuma itu. Dalam komunitas Yahudi ortodoks zaman modern sekalipun, perempuan tak boleh berbaju tanpa lengan, memakai blouse dengan potongan kerah rendah. Celana ketat dilarang. Lutut harus ditutupi. Halacha, sya-riat Yahudi, mengharuskan perempuan yang sudah menikah menutup rambutnya.
Saya tak tahu, kenapa dari sekitar gurun pasir Tuhan ber-titah agar perempuan diperlakukan demikian. Kenapa di Bali, misalnya, tidak? Mungkinkah karena di sini tak berlaku paradigma "gurun pasir": para pertapa tak mengalami alam yang kosong dan garang, melainkan hutan tropis yang semarak, gua yang dirias pohon dan rumpun, akar dan kembang, bunyi burung dan biru gunung? Dengan kata lain: sebuah "dunia", di mana yang indrawi tak ditampik, hingga pertapaan bukanlah tempat apotaktikoi? Dalam cerita wa-yang, di situ malah lahir kesatria Bambang Sumantri dan gadis Shakuntala yang gemulai.
Apa pun sebabnya, di kesunyian hidup brahmana dan resi tak tampak rasa waswas kepada "dunia", kepada perempu-an. Di sana, tafakur adalah bersyukur.
Tapi itu dulu. Siapa tahu kita telah berubah, dan Tuan-Tuan Tangerang lebih suka paradigma baru: "padang -pasir".
Goenawan Mohamad