Tindakan Komisaris Jenderal Budi Waseso yang tak pernah menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sudah masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sesuai dengan ketentuan, Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian ini seharusnya sudah menyerahkan laporan kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sejak baru menjabat Kepala Polda Gorontalo pada Juli 2012.
Jabatan barunya kemudian, yaitu Kepala Sekolah Staf Pimpinan Tinggi Polri, juga mengharuskan penyerahan laporan kekayaan. Namun ketentuan wajib bagi setiap penyelenggara negara, termasuk Presiden Joko Widodo, itu tidak sekali pun dipenuhi oleh Budi Waseso. Padahal ketentuan tersebut sudah mengatur dengan jelas, LHKPN mesti dilaporkan sebelum dan sesudah menjabat.
Pembangkangan oleh Budi ini akan menjadi contoh buruk. Kampanye pemerintah untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih bisa sia-sia bila seorang pejabat memberi contoh seperti itu. Lebih-lebih Budi adalah perwira tinggi polisi bintang tiga. Ia semestinya paham betul makna penegakan aturan dan hukum. Mengabaikan kewajiban menyerahkan LHKPN menabrak dua peraturan perundang-undangan sekaligus, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Alasan Budi tidak mengikuti aturan itu pun janggal dan sulit diterima. Ia tidak kunjung menyerahkan laporan kekayaan dengan dalih kesulitan menghitung aset-aset berupa koleksi senjata dan mobil antik. Argumentasi itu janggal, karena selama ini banyak penyelenggara negara juga memiliki kekayaan berupa barang antik dan benda seni namun tetap melaksanakan kewajiban menyerahkan LHKPN.
Boleh jadi, keberanian Budi Waseso menabrak aturan ini akibat tidak adanya sanksi pidana bagi pejabat yang terlambat menyerahkan laporan atau sengaja mengisi data kekayaan dengan tidak benar. Tak ada ketentuan yang tegas mengatur KPK bisa memeriksa setiap pelanggaran. Aturan lain, Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, hanya memerintahkan pejabat negara segera menyerahkan laporan harta kekayaan kepada KPK, tanpa menyebutkan sanksi.
Berangkat dari sejumlah peristiwa kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, sulit berharap komisi antikorupsi bisa menelusuri dugaan pelanggaran yang dilakukan Budi Waseso. Apalagi, menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Budi, sebagai Kepala Bareskrim, dinilai bertanggung jawab dalam penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang terindikasi melanggar prosedur dan hak asasi manusia.
Dua catatan merah itu--lalai menyerahkan LHKPN dan kriminalisasi terhadap pimpinan KP--semestinya menjadi pertimbangan bagi Komisi Kepolisian Nasional sebelum mengusulkan Budi Waseso sebagai salah satu calon Kepala Polri. Citra institusi kepolisian yang tengah terpuruk di mata publik memerlukan sosok yang bersih sebagai pemimpin. Sebab, "untuk membersihkan lantai yang kotor, diperlukan sapu yang bersih".