Achmad Fauzi, aktivis multikulturalisme
Komnas Anti-Kekerasan terhadap Perempuan merilis catatan tahunan yang melukiskan kegagalan negara dalam memberikan perlindungan kepada perempuan dari berbagai bentuk kekerasan. Menurut data yang dihimpun, pada 2014 tercatat 293.220 kasus kekerasan terjadi, dimulai dari pemerkosaan, uji keperawanan, hingga larangan siswi hamil mengikuti ujian sekolah. Grafik pelanggaran tersebut mengalami lonjakan dibanding yang terjadi pada 2013 yang berkisar pada angka 279.688 kasus (Koran Tempo, 9 Maret).
Hasil telaah Komnas Anti-Kekerasan terhadap Perempuan tersebut seolah memberi konfirmasi bahwa kiprah sosok perempuan di kancah publik masih menyisakan persoalan. Perempuan masih dimarginalkan dari gelanggang kesetaraan. Ihwal uji virginitas, misalnya, mengindikasikan bahwa perempuan menjadi obyek diskriminasi dan dominasi kultur patriarki. Padahal uji keperawanan ujung-ujungnya memberikan label perempuan tak suci yang harus ditanggung sepanjang hidup. Sedangkan laki-laki yang bebas dari uji keperjakaan netral dari stereotype dan hukuman sosial. Kekerasan psikologis berwujud uji virginitas jelas melanggar Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, yang prinsip-prinsip umumnya sudah termaktub dalam UUD 1945 Pasal 28 ayat (1) dan (2).
Jamaknya pelecehan terhadap perempuan tidak bisa dilepaskan dari kuatnya konstruksi sosial dan budaya patriarki. Negara memang punya peran penting memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Pasal 28 (g) UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Namun, tak kalah pentingnya, konstruksi sosial dan budaya perlu dirombak. Terus berulangnya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan semakin menguatkan pentingnya peran agama dalam memberikan kerangka pemahaman tentang sosok perempuan dalam kancah publik. Sebab, agama dan cara pandang ulama terhadap perempuan memiliki pengaruh besar dalam meruntuhkan kultur patriarki. Dengan demikian, perempuan merupakan makhluk yang harus dihargai, yang kelak juga bisa memimpin dunia, sama seperti kaum laki-laki.
Jika kita membaca kembali secara kritis tentang wacana keperempuanan dalam fikih klasik, banyak sekali teks-teks misoginis yang oleh para penafsir klasik dijadikan sebagai landasan teologis dalam merumuskan fikih wanita, sehingga semakin memperkuat superioritas laki-laki atas wanita. Visi egalitarianisme Islam, yang pada mulanya kokoh, banyak yang terdistorsi.
Sudah sepatutnya kontekstualitas ayat Al-Quran dan Hadis tentang perempuan ditafsirkan dalam ruang kekinian. Dengan demikian, masalah wanita dalam kitab fikih yang pada mulanya telanjur ditempatkan pada posisi instrumental digeser ke posisi substansial. Ketidakhadiran suara wanita dalam budaya di mana fikih itu dirumuskan tidak berarti menistakan substansi perempuan dalam Islam. Semua manusia punya kesempatan yang sama mengembangkan dirinya tanpa dibatasi perbedaan kelamin. *