Perang kata antara politikus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta dan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama sudah saatnya diakhiri. Semestinya kedua pihak duduk bersama membahas penyelesaian APBD 2015. Perang kata di media, selain tak sehat, sangat kontraproduktif karena yang tersandera adalah kepentingan rakyat Jakarta.
Perseteruan Gubernur Basuki dengan Dewan soal anggaran bukan sekali ini terjadi. Pada 7 Desember 2012-waktu itu masih wakil gubernur-Basuki sudah terlibat perang kata. Musababnya, Basuki menantang politikus DPRD agar pembahasan APBD 2013 diliput terbuka oleh media.
Kali ini, konflik terjadi sejak Desember lalu. Politikus dari lima fraksi mengancam memakzulkan Basuki menggunakan hak angket dan interpelasi. Konflik muncul setelah Kementerian Dalam Negeri mengembalikan berkas APBD Jakarta pada 7 Februari lalu untuk diperbaiki. Kementerian menilai berkas anggaran yang diajukan Pemerintah Provinsi DKI tidak lengkap.
Pengajuan hak angket juga berkaitan dengan sistem e-budgeting yang diterapkan Gubernur Basuki dalam penyusunan anggaran Jakarta 2015. Ini berbeda dengan kemauan Dewan. Konsep Basuki adalah mengalokasikan anggaran di awal perancangan APBD dan menguncinya dengan e-budgeting. Tujuannya, agar anggaran yang sudah ditetapkan tak bisa diutak-atik lagi. Namun DPRD berpendapat lain. Mereka ingin e-budgeting dilakukan saat anggaran sudah final. Alasannya, agar bisa diubah jika ada kebutuhan mendesak. Basuki menolak, menganggap cara ini rawan disusupi "anggaran siluman". Ini sebutan bagi anggaran titipan Dewan ke sejumlah satuan kerja yang mengatasnamakan kepentingan umum.
Basuki tahu modus penyelewengan ini karena tahun lalu ada temuan dana fiktif oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan DKI Jakarta. Dana siluman itu muncul di Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Kesehatan. Nilainya Rp 3,5 triliun dan Rp 33,4 miliar. Tahun ini pun Basuki menemukan pos anggaran fiktif senilai Rp 8,8 triliun.
Langkah Basuki menghentikan penggangsiran anggaran dengan sistem e-budgeting layak didukung. Dengan APBD provinsi terbesar se-Indonesia bernilai Rp 73 triliun, sudah seharusnya Jakarta menjadi contoh penerapan prinsip pemerintahan yang baik. Dewan wajib mendukung niat ini. Maka ribut-ribut soal anggaran semestinya dihentikan.
Agar mendapat dukungan, Basuki sebaiknya lebih intensif menyampaikan gagasannya ke Dewan. Model komunikasi konfrontatif ala Basuki sebaiknya diubah ke lebih persuasif. Dewan pun akan sulit menolak gagasan Basuki karena semua proses dilakukan terbuka dan dikontrol media. Jika yang dipilih adalah komunikasi "perang kata", yang terjadi bukannya kesepakatan, melainkan ketegangan.
Ada baiknya Gubernur Basuki lebih melibatkan wakilnya, Djarot Saiful Hidayat, yang bekas Ketua PDIP DKI Jakarta, untuk ikut melonggarkan ketegangan politik. Melalui lobi-lobi politik, kesepakatan akan lebih mudah tercapai. Tentu saja, lobi politik tak boleh berubah menjadi kompromi yang berujung pada kongkalikong antara pemerintah dan Dewan.