TEMPO.CO, Jakarta - Ahmad Taufik, pegiat Indonesia Prison Studies
Usul Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pekan lalu kontan mengundang reaksi, terutama dari pegiat antikorupsi. Usul itu dianggap pro-koruptor.
Apa benar pro-koruptor? Sebenarnya alasan pernyataan dan kritik itu terlalu sederhana. Sebab, justru penentang usul Menteri Layoli kali ini itulah yang menciptakan peluang korupsi. Persoalan pemasyarakatan adalah urusan Kementerian Hukum dan HAM. Seperti alasan Menteri Layoli, institusinya hanyalah pelaksana putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan boleh dikatakan seperti kejatuhan "durian busuk".
Kementerian Hukum dan HAM, dalam hal ini Dirjen Pemasyarakatan, tak boleh menambah hukuman terhadap seseorang yang sudah dijatuhi hukuman oleh majelis hakim terakhir. Dengan begitu, Dirjen Pemasyarakatan tidak turut menghukum seseorang melebihi kesalahannya, kecuali sesuai dengan aturannya, yaitu melakukan pembinaan.
Namun, apa yang terjadi sering kali bukan pembinaan, melainkan menambah berat penderitaan. Penjara atau lembaga pemasyarakatan seolah tak berubah seiring dengan berjalannya waktu: dari negara otoriter melalui reformasi ke arah demokrasi. Tahanan dan narapidana tetap menjadi korban, dan hak-hak sebagai narapidana lebih sering diabaikan.
Hak-hak seorang narapidana sebenarnya harus dipenuhi dan dijamin oleh Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Disebutkan setiap narapidana diberikan hak untuk mendapatkan remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, serta asimilasi. Hak-hak narapidana tersebut harus dipenuhi oleh negara dengan syarat dan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengaturan dalam perundang-undangan inilah yang menimbulkan Karut-marut regulasi mengenai pemasyarakatan. Tambal sulam aturan itu menyebabkan tidak terjadi kepastian hukum dan dimanfaatkan sebagai peluang "oknum-oknum" di institusi. Masih banyak aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan hukuman seseorang, dalam lingkup pemasyarakatan, yang mencederai keadilan.
Seorang pejabat yang mengurus urusan penjara (pemasyarakatan), menurut Mas Achmad Santosa, mencatat paling tidak terdapat 10 modus operandi penyalahgunaan wewenang dalam praktek pemasyarakatan. Antara lain penempatan tahanan; pemenuhan kebutuhan biologis; serta pemberian hak, seperti remisi, asimiliasi, cuti bersyarat, pelepasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas.
Sebagai bekas narapidana, penulis mendukung Menteri Hukum dan HAM memperbaiki sistem pemasyarakatan, termasuk pemberlakuan secara elektronik hak-hak narapidana. Ini juga menutup peluang korupsi, dan menjamin adanya kepastian hukum seseorang yang menjalani hukuman.
Sudah saatnya negara melalui pemerintah mengharmonisasi peraturan-peraturan yang sesuai dengan semangat anti-diskriminasi. Pada masa mendatang, semoga sistem pemasyarakatan kita setahap demi setahap mampu memenuhi prinsip-prinsip dasar perlakuan terhadap penghuni rumah tahanan dan penjara sesuai dengan prinsip internasional, "standard minimum rules for the treatment of prisoners".
Berita terkait
Inilah 4 Akar Masalah Papua Menurut LIPI
24 hari lalu
Ada empat akar masalah Papua, yakni sejarah dan status politik, diskriminiasi, kekerasan dan pelanggaran HAM berat, dan kegagalan pembangunan.
Baca SelengkapnyaAsal Mula Hari Peduli Autisme Sedunia, Memahami Orang-orang dengan Spektrum Autisme
35 hari lalu
Hari Peduli Autisme Sedunia diperingati setiap 2 April untuk meningkatkan kesadaran tentang Gangguan Spektrum Autisme (ASD)
Baca SelengkapnyaBegini Ketentuan dan Bunyi Pasal Penistaan Agama yang Menjerat Panji Gumilang
42 hari lalu
Panji Gumilang dijerat Pasal Penodaan Agama, penghinaan terhadap agama di Indonesia masih mengacu pada Pasal 156a KUHP.
Baca SelengkapnyaMangkrak 20 Tahun, Apa Itu RUU PPRT yang Belum Juga Disahkan DPR?
59 hari lalu
Dua dekade RUU Perindungan Pekerja Rumah Tangga mangkrak tidak disahkan. Ini penjelasan mengenai RUU PPRT.
Baca SelengkapnyaInternational Women's Day Jogja 2024, Srikandi UGM: Rebut Kembali Hak Perempuan yang Tidak Diperjuangkan Pejabat Negara
8 Maret 2024
Peringatan International Women's Day Jogja 2024, Ketua Divisi Aksi dan Propaganda Srikandi UGM sebut mengusung tema "Mari Kak Rebut Kembali!"
Baca SelengkapnyaTentara Perempuan Ukraina Berperang di Dua Front: Melawan Rusia dan Diskriminasi di Militer
8 Maret 2024
Kementerian Pertahanan Ukraina mengatakan pada Oktober lalu bahwa hampir 43.000 tentara perempuan saat ini bertugas di militer.
Baca SelengkapnyaMalaysia Menang Terkait Isu Diskriminasi Uni Eropa terhadap Sawit di WTO
7 Maret 2024
Malaysia memenangkan gugatan di WTO melawan tindakan diskriminasi Uni Eropa terhadap produk biofuel dari minyak sawit.
Baca SelengkapnyaKisah Marie Thomas Melawan Diskriminasi hingga Jadi Dokter Perempuan Pertama di Hindia Belanda
19 Februari 2024
Marie Thomas dikenal sebagai dokter perempuan pertama. Ia melalui diskriminasi saat sekolah kedokteran
Baca SelengkapnyaMengenang Gus Dur, Presiden yang Mencabut Inpres Larangan Merayakan Imlek
8 Februari 2024
Presiden Gus Dur mencabut instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 pada era Presiden Soeharto yang melarang perayaan Imlek.
Baca SelengkapnyaUniversitas Harvard Dikomplain Diduga Diskriminasi Mahasiswa Muslim
8 Februari 2024
Kementerian Pendidikan Amerika Serikat mengusut komplain bahwa Universitas Harvard terlibat dalam diskriminasi mahasiswa muslim pendukung Palestina.
Baca Selengkapnya