Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip
Mestinya kita tak perlu kecewa berlarat-larat kepada Yang Terhormat Presiden Jokowi. Mestinya, para pengusungnya, yang menyebut diri “rwan”, elapaham akan karakter kepemimpinan Jokowi dengan sebaik-baiknya. Apalagi dengan terburu-buru mengumumkan penarikan dukungan tatkala Jokowi melewati lima purnama kepemimpinannya mengatur negara.
Mari kembali ke khitah. Momentum kepemimpinan Jokowi dalam “Khittah Surakarta” itu, dan menjadi jualan politik yang menggemparkan seantero negeri, adalah memindahkan pedagang kaki lima Surakarta dari tempat lama ke tempat baru dengan jalan damai. Jalan damai itu popular disebut win-win solution.
Tapi ingat, jalan yang ditempuh menuju jalan damai itu melewati proses yang tak pernah terbayangkan oleh pemimpin-pemimpin kota/kabupaten sebelumnya, yakni mengajak makan siang para pedagang. Sekali? Dua kali? Oh, tidak. Puluhan kali.
Di situ, Jokowi memainkan salah satu inti permainan layang-layang: keterampilan mengulur. Layang-layang perlu diulur agar bisa kembali mendarat selamat dan tidak menjadi bancakan anak-anak sekampung karena putus.
Inti politik layang-layang adalah permainan mengulur waktu: kapan mengulur, kapan menarik, dan kapan meretas tali layangan lawan sepermainan. Di udara, kerja sama bukan saja monopoli seorang kawan, bahkan saat tertentu dari lawan.
Dari mana Jokowi beroleh kepemimpinan pengulur layang-layang yang terampil? Jokowi mengaku, guru yang mengajarkannya seni berpolitik adalah Taufiq Kiemas.
Jokowi mengungkapkan itu secara terbuka pada publik pada 2012. Kata Jokowi, “Saya banyak belajar kepada Pak Taufiq, terutama masalah komunikasi politik, pendekatan dalam berkomunikasi.”
Yang dimaksud Jokowi “pendekatan dalam berkomunikasi politik” itu adalah prinsip berpolitik Taufiq Kiemas, “Kalau mau main politik dan membina jaringan politik, sikap apriori sedapat mungkin harus dihilangkan, bahkan terhadap lawan politik sekalipun.”
Dan saya menyebut cara berpolitik macam Taufiq Kiemas yang dijadikan suri teladan Jokowi dalam berpolitik itu adalah khas berpolitik yang sabar, ramah, dan menunggu momen paling tepat untuk memutuskan.
Nah, cara berpolitik damai ala layang-layang itulah yang pada suatu masa digeber terus-menerus oleh media massa. Jokowi, oleh khitah politik layang-layang itu, bukan hanya menjadikannya media darling, tapi juga membuka mata kelas menengah, terutama yang di Jakarta, bahwa Jokowi bisa menyelesaikan masalah mereka yang ruwet di Ibu Kota.
Dengan modal jalan damai ala layang-layang itu pula masyarakat NKRI ingin mereka diurus oleh sosok seperti Jokowi dalam menyelesaikan masalah PKL di Surakarta.
Sungguh disayangkan jika saat ini dukungan terhadap Jokowi mengalami deflasi dari para pengusungnya sendiri yang menamakan diri “relawan” di satu pihak, dan di pihak lain adalah politikus-politikus PDIP. Terutama saat Jokowi sedang bermain layang-layang di lima purnama pertama pemerintahannya di lapangan berangin kencang: Polri vs KPK.
Sebagaimana khitah politik yang menjadi karakter Jokowi, terbukti ia bisa mendaratkan kembali layang-layangnya. Namun bentuknya sungguh tak terduga: koyak-moyak. KPK dan Polri bisa berdamai kembali.
Tapi yang sulit sekali kembali adalah harapan publik kelas menengah yang kadung berserakan saat pertarungan layang-layang Jokowi berhadapan dengan lawan sepermainan yang saling mulet di udara. *