Badut Politik dan Tukang Tivi

Penulis

Senin, 30 Maret 2015 02:08 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Seno Gumira Ajidarma, Wartawan Panajournal.com

Apa bedanya badut politik dengan badut biasa? Ternyata tak hanya berbeda, tapi bisa juga bertentangan. Sementara badut biasa nilai tambahnya jelas, yakni memberikan hiburan, dan karena itu dibutuhkan, maka kehadiran badut politik sangat memprihatinkan, karena seharusnya tidak ada. Memang, ada kalanya badut beneran yang disebut pelawak tiba-tiba saja "terjun ke dunia politik", tetapi jika dirinya lantas menjadi badut politik, itu sama sekali tidak berhubungan dengan keberadaan dirinya dalam profesi sebelumnya.

Badut politik sama sekali tidak lucu. Perilakunya mengundang tawa bukan karena ia seorang humoris yang piawai memainkan bisosiasi, melainkan karena seribu-satu ketidakpatutan yang dihadirkannya. Ini terlihat di layar televisi, orang-orang yang diwawancarai atau diminta bicara lebih karena sensasi daripada ketajaman berpikirnya. Namun sensasi sebagai bagian dari spektakel stasiun televisi, yang barangkali sejenak mengikat pemirsa, sama sekali tidak dibutuhkan, oleh kita maupun oleh Indonesia Raya.

Bentuk-bentuk kebadutan paling umum adalah gaya pokrol, dengan wajah seolah-olah mengecilkan orang lain, bisa mempersoalkan dan bisa menjawab semua hal, dengan modal rumus yang serba normatif. Sensasi paling ajaib, tentunya jika dalam suatu forum berlangsung polemik antara badut politik versus badut politik itu sendiri. Dalam polemik itu bolehlah ditandai, bahwa para kontestan akan berkukuh dalam tempurung pembenarannya sendiri, dan sama sekali bukan mencari penyelesaian masalah secara bersama. Sangat mudah disaksikan betapa "mencari efek" menjadi kepentingan utama.

Dengan kata lain, badut politik ini adalah manusia kurang berguna, tetapi yang selalu mendapat tempat dalam media massa berdasarkan kepentingan media massa itu sendiri. Sudah jelas bahwa, dalam alur konflik dramatik, yang eufemismenya tertampung dalam rumus jurnalisme yang baik, yakni ketentuan untuk meliput kedua belah pihak (cover both sides), media massa akan mencari karakter yang cocok dengan kebutuhannya itu: minimal cara berbicara yang selalu siap dipotong, meski argumennya sama sekali belum utuh.

Pemikir serius, yang akan berbicara lebih panjang, agak lambat, dan mungkin pula suaranya pelan karena memang bukan orator, tentu cenderung tidak menjadi pilihan-padahal bagi pemirsa sudah jelas lebih banyak gunanya. Dunia politik Indonesia kontemporer sebetulnya tidak hanya berisi badut politik. Di dalam setiap partai politik tidak kurang-kurangnya terdapat politikus yang bukan sekadar organisator, tapi juga berkualitas pemikir yang bersungguh-sungguh. Betapa pun, peluangnya untuk ikut mencerdaskan bangsa ditentukan oleh para "tukang tivi" saja.

Para pemikir yang benar-benar pemikir, yang pemikirannya canggih tetapi gayanya mungkin membosankan, setahu saya berdasarkan pengalamannya juga "males ngomong di tivi". Sampai di sini menjadi jelas, persoalan mubazirnya detik-detik berharga media tidak terletak pada badut politik itu sendiri, tapi juga bahkan terutama merupakan tanggung jawab sang tukang tivi.

Saya pernah melihat seorang pembawa acara "mencuci" seorang calon legislator, untuk menunjukkan kebadutan dunia politik Indonesia, dengan pertanyaan sekitar konsep penyelamatan bangsa dan negara dalam krisis. Hampir sepanjang acara, selebritas cantik ini hanya memberikan tiga jawaban: "tidak tahu", "belum tahu", dan "saya tanyakan dulu".

Pengungkapan ini memang berhasil membongkar aib, tetapi tidak pernah berhasil mengubah orientasi bahwa sumber berita dan komentator masalah-masalah politik janganlah lagi-lagi badut politik, yang sebetulnya hanya meminjam media massa dan partai politik demi popularitasnya sendiri.

Celakanya, partai-partai politik yang perbedaan ideologinya masing-masing tidak terlalu jelas itu pun lebih membutuhkan pengumpul suara (vote getters) daripada pemeluk teguh ideologis yang militan. Tidak mengherankan jika gejala politikus kutu loncat menjadi akibat paling wajar dari situasi ini.

Kenyataan yang menyedihkan, badut-badut politik ini, meskipun membawa-bawa nama badut, sama sekali tidak membawa kebahagiaan. Kita tertawa, tetapi dengan campuran perasaan antara gemas, jengkel, marah, dan iba. Agak mencemaskan jika partai politik tidak berbuat sesuatu atas keberadaan badut-badut politik ini.

Pada abad media, benarkah ideologi sudah mati, dan partai politik cukup bermodalkan gimmicks atawa permainan sensasi, sebagai strategi untuk mendapat kursi? Sementara menurut Althusser, ideologi itu tidak abstrak, melainkan konkret sebagai peristiwa sehari-hari, seberapa berartikah partai politik, ketika politik praktis hadir sebagai simulasi televisi?


Berita terkait

Mengenal Fungsi Oposisi dalam Negara Demokrasi

4 hari lalu

Mengenal Fungsi Oposisi dalam Negara Demokrasi

Isu tentang partai yang akan menjadi oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran kian memanas. Kenali fungsi dan peran oposisi.

Baca Selengkapnya

Daftar 16 Partai Politik yang Gugat Sengketa Pileg ke MK, dari PDIP hingga PKN

7 hari lalu

Daftar 16 Partai Politik yang Gugat Sengketa Pileg ke MK, dari PDIP hingga PKN

Sejumlah partai politik mengajukan sengketa Pileg ke MK. Partai Nasdem mendaftarkan 20 permohonan.

Baca Selengkapnya

Mendekati Pilkada 2024, Begini Riuh Kandidat Kuat Sejumlah Parpol

9 hari lalu

Mendekati Pilkada 2024, Begini Riuh Kandidat Kuat Sejumlah Parpol

Mendekati Pilkada 2024, partai-partai politik mulai menyiapkan kandidat yang akan diusung. Beberapa nama telah diisukan akan maju dalam pilkgub.

Baca Selengkapnya

Bamsoet Ingatkan Pentingnya Pembenahan Partai Politik

34 hari lalu

Bamsoet Ingatkan Pentingnya Pembenahan Partai Politik

Partai politik memegang peran penting dalam menentukan arah kebijakan negara.

Baca Selengkapnya

Pilihan Amerika Serikat Hanya Punya 2 Partai Politik, Ini Penjelasannya

34 hari lalu

Pilihan Amerika Serikat Hanya Punya 2 Partai Politik, Ini Penjelasannya

Amerika Serikat sebagai negara demokrasi terbesar di dunia memilih dominasi hanya dua partai politik yaiutu Partai Republik dan Partai Demokrat.

Baca Selengkapnya

Prabowo Dinilai Butuh Koalisi Raksasa Usai Penetapan Pemilu 2024, Berikut Jenis-jenis Koalisi

40 hari lalu

Prabowo Dinilai Butuh Koalisi Raksasa Usai Penetapan Pemilu 2024, Berikut Jenis-jenis Koalisi

LSI Denny JA menyatakan Prabowo-Gibran membutuhkan koalisi semipermanen, apa maksudnya? Berikut beberapa jenis koalisi.

Baca Selengkapnya

8 Parpol ke Senayan Penuhi Parliamentary Threshold di Pemilu 2024, Apa Bedanya dengan Presidential Threshold?

42 hari lalu

8 Parpol ke Senayan Penuhi Parliamentary Threshold di Pemilu 2024, Apa Bedanya dengan Presidential Threshold?

PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, NasDem, PKS, Demokrat, dan PAN penuhi parliamentary threshold di Pemilu 2024. Apa bedanya dengan Presidential Threshold?

Baca Selengkapnya

Daftar 8 Parpol yang Lolos ke DPR di Pemilu 2024, 10 Lainnya Gagal ke Senayan

43 hari lalu

Daftar 8 Parpol yang Lolos ke DPR di Pemilu 2024, 10 Lainnya Gagal ke Senayan

Hasil akhir rekapitulasi suara KPU menyebutkan 8 parpol lolos ke Senayan. Sementara 10 parpol lainnya gagal ke DPR di Pemilu 2024. Berikut daftarnya.

Baca Selengkapnya

MK Tolak Gugatan Uji Materil Frasa Gabungan Partai Politik dalam UU Pemilu

44 hari lalu

MK Tolak Gugatan Uji Materil Frasa Gabungan Partai Politik dalam UU Pemilu

Hakim MK mengatakan, keberlakuan Pasal 228 UU Pemilu sesungguhnya ditujukan bagi partai politik secara umum,

Baca Selengkapnya

MK Putuskan Gugatan Mahasiswa soal Pembubaran Partai Politik Tidak Dapat Diterima

44 hari lalu

MK Putuskan Gugatan Mahasiswa soal Pembubaran Partai Politik Tidak Dapat Diterima

Seorang mahasiswa mengajukan permohonan uji materiil Undang-undang tentang Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi.

Baca Selengkapnya