VONIS mati untuk anak di bawah umur adalah pengkhianatan ganda terhadap prinsip keadilan. Sudah kerap dibahas: nyawa tak boleh direnggut sebagai ganjaran perbuatan jahat. Eksekusi mati tak memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki diri. Telah banyak studi dilakukan: angka kriminalitas di negara yang menerapkan hukuman mati tidak lebih rendah dari negara yang menolaknya. Karena itu, hukuman mati lebih merupakan manifestasi "dendam" ketimbang upaya untuk mengurangi kejahatan.
Vonis mati terhadap anak-anak adalah pengkhianatan kedua. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak jelas menyebutkan anak-anak tidak boleh dituntut lebih dari 10 tahun atau hanya bisa dituntut maksimal setengah dari hukuman orang dewasa. Konvensi Hak Anak serta Kovenan Hak Sipil dan Politik PBB dengan tegas menyebutkan hukuman mati dan hukuman seumur hidup tidak boleh dijatuhkan kepada anak-anak.
Korban "pengkhianatan ganda" itu adalah Yusman Telaumbanua. Syahdan, Mei 2013, oleh hakim Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, Sumatera Utara, ia divonis mati karena membunuh Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Br. Haloho. Ketika itu usia Yusman baru 16 tahun. Ketiganya dibunuh ketika hendak membeli tokek dari Rusula Hia, kakak ipar Yusman--juga telah divonis mati. Tak jelas motif pembunuhan itu. Sejumlah keterangan menyebutkan, Yusman disangka membunuh karena ikut kabur bersama empat tukang ojek yang mengantar korban. Rombongan tukang ojek raib hingga kini. Yusman ditangkap empat bulan setelah kejadian.
Pengadilan mendasarkan usia Yusman pada keterangan lisan para saksi: ia lahir pada 1993 atau berusia 20 tahun ketika divonis. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan fakta berbeda. Dalam surat baptis disebutkan bahwa Yusman lahir pada 1996 atau ia berusia 17 ketika divonis. Berdasarkan peraturan, seseorang tidak lagi dianggap anak-anak ketika berusia 18. Yusman tidak memiliki akta kelahiran.
Keanehan lain, pengacara Yusman dan iparnya justru yang meminta hakim menjatuhkan hukuman mati--lebih berat dari permintaan jaksa yang menuntut hukuman seumur hidup. Belum jelas apa motif pengacara tersebut. Tak jelas pula mengapa hakim "bermurah hati" mengabulkan tuntutan penasihat hukum terdakwa. Dalam pemeriksaan, Yusman, yang tak lancar berbahasa Indonesia, tidak didampingi penasihat hukum. Ada pula indikasi dia diintimidasi.
Komisi Yudisial harus memeriksa kasus ini. Hakim yang tak cermat memeriksa usia terdakwa, hingga salah mengambil keputusan, harus diberi sanksi. Organisasi advokat selayaknya memeriksa para pembela. Keputusan ini harus dipersoalkan dalam pengadilan banding hingga kasasi. Pemerintah harus menyediakan pengacara independen.
Kasus Yusman menambah panjang catatan buruk Indonesia dalam penerapan hukuman mati. Setelah menjadi omongan dunia karena mengeksekusi mati terpidana narkotik, selayaknya kita tak menambah cemooh: membiarkan anak kecil suatu ketika harus menghadap regu tembak.