Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan jangan ragu mengambil langkah pemblokiran terhadap rekening-rekening yang diduga berkaitan dengan gerakan Islamic State of Iraq dan al-Sham (ISIS). Pemblokiran tersebut setidaknya akan membuat mereka, para pemilik rekening, "mati langkah", tak bisa membiayai aktivitas gerakannya di Indonesia.
Sebelumnya, pemblokiran serupa pernah dilakukan Pusat Pelaporan terhadap 328 rekening milik warga Indonesia dan warga asing yang diduga terkait dengan jaringan teroris Al-Qaidah dan Taliban. Kebijakan itu sebenarnya juga merupakan implementasi Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1267 Tahun 1999 tentang Al-Qaeda Sanctions.
Seiring dengan munculnya berbagai kelompok berideologi kekerasan dan teror, langkah pemblokiran itu memang harus diperluas ke rekening-rekening lain yang diduga bersangkut-paut dengan terorisme di luar Al-Qaidah. Salah satunya adalah ISIS, gerakan fundamentalis berkedok Islam yang menebar teror dan kekejian.
Pusat Pelaporan tentu punya cara sendiri untuk menelisik rekening-rekening para pendukung aksi teror itu. Payung hukum tindakan pemblokiran cukup jelas: Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Undang-undang ini pula yang dijeratkan kepolisian terhadap sekelompok orang yang ditangkap di Bekasi, Sabtu pekan lalu, yang diduga ada hubungannya dengan ISIS.
Jika undang-undang itu benar-benar diaplikasikan, orang tentu akan berpikir seribu kali untuk melanggarnya. Sebab, sanksi hukuman penjara dan dendanya tidak main-main. Setiap orang yang menyediakan, mengumpulkan, memberikan, dan meminjamkan dana untuk terorisme, misalnya, diancam hukuman penjara 15 tahun dan pidana denda hingga Rp 1 miliar. Ancaman lebih berat dijatuhkan kepada korporasi yang menyokong pendanaan terorisme. Korporasi atau pengendali korporasi tersebut bisa dikenai denda hingga Rp 100 miliar, plus pembekuan kegiatan, pembubaran, pencabutan izin, atau perampasan aset.
Dengan terus berkembangnya dukungan sejumlah warga Indonesia terhadap ISIS, Pusat Pelaporan punya pekerjaan rumah besar yang harus segera diselesaikan. Mereka mesti menajamkan penglihatan untuk menelisik dan memelototi transaksi keuangan mencurigakan yang diduga berkaitan dengan gerakan itu. Dalam hal ini, peran aktif penyedia jasa keuangan, seperti bank dan pedagang valuta asing, sangat vital. Mereka mesti segera melapor ke Pusat Pelaporan jika mengetahui ada transaksi mencurigakan. Pemerintah juga jangan ragu memberikan sanksi bagi mereka yang tidak melaporkan transaksi tersebut.
Ketegasan Pusat Pelaporan memblokir 328 rekening milik orang-orang yang diduga sebagai teroris Al-Qaidah, kita tahu, juga berdampak positif bagi Indonesia. Negeri ini, dalam sidang Financial Task Force yang digelar di Paris, akhir bulan lalu, dinyatakan dikeluarkan dari daftar hitam negara yang rawan pencucian uang. Tapi, itu belum cukup. Penebar teror bukan hanya Al-Qaidah. Kini giliran Pusat Pelaporan menelisik dan memblokir rekening-rekening yang berkaitan dengan ISIS. ****