Keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 19 situs Internet media Islam yang dianggap mempromosikan radikalisme dan kekerasan bisa diterima bila tujuan utamanya untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Pemblokiran situs yang membahayakan kepentingan umum tak hanya lazim di negara berkembang yang masyarakatnya rentan dihasut. Pemblokiran situs bermuatan konten "antisosial" juga jamak terjadi di negara maju, termasuk yang menerapkan demokrasi liberal sekalipun. Pemerintah Prancis, misalnya, pernah memblokir Yahoo gara-gara situs itu melelang atribut Nazi yang melanggar undang-undang tentang "ungkapan kebencian" (hate speech) di sana.
Namun pemblokiran situs Internet tak boleh ditunggangi kepentingan lain. Sedikit saja ada niat membungkam pengkritik pemerintah, misalnya, pemblokiran situs akan menabrak prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Undang-Undang Dasar 1945.
Pemblokiran situs Internet menuntut kehati-hatian. Kementerian Komunikasi tak bisa berdalih bahwa pemblokiran situs itu semata karena permintaan Badan Nasional Penanggulangan Teror. Kementerian seharusnya menguji seberapa kuat alasan permohonan badan antiteror itu.
Sebelum memblokir sebuah situs, Kementerian Komunikasi seyogianya mengecek ulang apakah situs itu benar-benar mengandung konten yang mengumbar kebencian atau membahayakan kepentingan umum. Bila situs itu "bersih", permohonan pemblokiran tak usah dikabulkan. Kalaupun situs tersebut telanjur diblokir, nama situs dan pengelolanya perlu segera direhabilitasi.
Sebaliknya, bila sebuah situs terbukti menyebarkan konten berbahaya, pemblokiran saja belum cukup. Pengelola situs sebaiknya diseret ke jalur hukum. Toh, peranti hukum untuk menjerat penyebar kebencian berdasarkan perbedaan suku, agama, dan ras juga cukup kuat. Selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengatur delik hate speech itu. Yang penting, penyidikan dan penuntutannya dipastikan transparan dan berkeadilan.
Agar tak terus dipersoalkan, acuan hukum Kementerian Komunikasi dalam memblokir situs bermasalah pun perlu diperkuat. Memang kini ada Peraturan Menteri Komunikasi tentang Penanganan Situs Internet Negatif. Tapi membatasi kebebasan berekspresi dengan peraturan menteri jelas tak memadai. Standar internasional penegakan hak asasi hanya mengizinkan pembatasan kebebasan berekspresi melalui undang-undang yang dibuat secara demokratis pula.
Meski agak terlambat, respons Kementerian Komunikasi menunjuk panel ahli untuk menguji laporan situs bermuatan negatif layak mendapat apresiasi. Ke depan, panel seperti itulah yang seharusnya menentukan sebuah situs perlu diblokir atau tidak. Dengan panel ahli yang rekam jejaknya teruji, bolehlah kita berharap rekomendasi mereka kelak akan selalu mengedepankan kemaslahatan bersama.