Komisaris Jenderal Badrodin Haiti hampir dapat dipastikan menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Seiring dengan hal itu, muncul kekhawatiran ia bakal tak leluasa menjalankan amanah jabatannya. Salah satunya, karena adanya desakan Dewan Perwakilan Rakyat agar Komisaris Jenderal Budi Gunawan diangkat menjadi Wakil Kepala Polri.
Nama Budi Gunawan muncul dalam rapat konsultasi Presiden Joko Widodo dengan pimpinan DPR, Senin lalu. Rapat konsultasi ini memutuskan bahwa pencalonan Badrodin, yang sempat diambangkan parlemen, akan diteruskan. Namun, dalam kesempatan tersebut, mayoritas fraksi mengusulkan Budi Gunawan diangkat menjadi Wakapolri, sebagai win-win solution akibat pembatalan Budi sebagai calon Kapolri.
Melajunya nama Badrodin Haiti--saat ini menjabat Wakil Kepala Polri-- merupakan kompromi antara pemerintah, parlemen, dan institusi Polri. Selama tiga bulan terakhir Polri tak memiliki pemimpin definitif akibat kisruh dan polemik yang berkepanjangan. Semakin lama pucuk tertinggi institusi itu kosong, tentu makin tidak sehat bagi kepolisian.
Di sini "barter politik" terjadi. Rupanya, Badrodin tak dibiarkan melenggang dengan cek kosong. Suara kencang mayoritas fraksi yang meminta agar Budi Gunawan diangkat menjadi Wakil Kepala Polri merupakan "harga" yang mesti dibayar atas persetujuan mereka terhadap Badrodin. Di sini anggota DPR agaknya sudah berhitung perihal masa jabatan Badrodin yang praktis, jika ia menjadi Kapolri, hanya kurang-lebih setahun. Jika ia kemudian pensiun, peluang Budi Gunawan untuk kembali ke puncak pimpinan terbuka lagi.
Sebagai Kapolri, kelak Badrodin memang punya pengaruh besar untuk menunjuk wakilnya. Sesuai dengan aturan, pemilihan Wakapolri harus melalui Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti), yang dalam hal ini dipimpin Kapolri. Di sinilah Badrodin semestinya paham bahwa, jika ia tunduk kepada tekanan politikus Senayan dalam hal memilih pendampingnya, itu akan berakibat buruk. Dengan memenuhi keinginan mereka, sama artinya ia menempatkan institusi Polri sebagai komoditas politik.
Karena itu, kelak Badrodin sebaiknya berpegang pada aturan yang ada dalam menentukan wakilnya, yakni menempatkan asas profesionalitas sebagai dasarnya. Tokoh yang dipilih semestinya sosok yang bersih dan berintegritas. Dan untuk itu, Budi Gunawan jelas bukan figur yang tepat. Dia pernah menjadi tersangka korupsi dan rekam jejaknya telah menimbulkan resistansi di kalangan masyarakat anti-korupsi.
Sebaliknya, dengan masa jabatan yang sekitar setahun nanti, Badrodin mesti menggunakan waktu yang pendek itu untuk secara maksimal membenahi institusinya. Salah satu program penting yang mesti ia lakukan adalah melanjutkan reformasi Polri yang, harus diakui, hingga kini belum menunjukkan kemajuan berarti. Badrodin harus ingat bahwa janji Presiden Joko Widodo dalam soal reformasi Polri adalah membangun "Polri yang profesional dan dipercaya oleh masyarakat". Pada Badrodin, tugas itu diembankan.