Hampir tujuh puluh tahun sejak Proklamasi 1945, sehari-hari kita menyaksikan banyak contoh yang membuat miris. Negara tidak hadir tatkala kelompok minoritas membutuhkan proteksi atau ketika keamanan di jalan-jalan kota diusik oleh kelompok begal. Karena itulah, apa yang terjadi di Yaman sejak bulan lalu tak ubahnya kejadian orang menggigit anjingketimbang anjing menggigit orang!
Negara hadir ketika kapal yang disewa pemerintah bersandar di Pelabuhan Aden, Yaman Selatan, seraya menunggu kedatangan ratusan warga negara Indonesia di kota itu. Misi yang berani ini akhirnya gagal memindahkan 89 mahasiswa dan pekerja Indonesia dari ibu kota Yaman Selatan hingga 1980-an itu ke tempat lain yang lebih aman. Tim evakuasi yang terdiri atas anggota TNI, polisi Indonesia, dan wakil kementerian itu mesti menjajal skenario lain, mungkin lewat darat.
Adalah kewajiban negara melindungi seluruh warganya, termasuk mereka yang berada di luar negeri. Seperti yang diamanatkan dalam amendemen UUD 1945 Pasal 28 yang meliputi hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan, hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. Dengan adanya unsur-unsur hak asasi manusia itu, negara juga berkewajiban memenuhi semua kebutuhan ini.
Negara dibutuhkan ketika pesawat-pesawat tempur Arab Saudi tak bisa membedakan mana sarang pemberontak Houthi dan mana fasilitas umum, penduduk sipiltermasuk warga negara Indonesia. Skala kekerasan di negara Arab termiskin itu semakin meningkat setelah perang di Yaman kali ini berhasil menyatukan sepuluh negara Arab dalam pasukan koalisi yang dipimpin Saudi. Apalagi setelah Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab menghasilkan kesepakatan membentuk pasukan koalisi Arab untuk memberangus kelompok ekstremis atau pemberontak.
Perebutan pengaruh antara Iran dan Arab Saudi di Yaman telah membahayakan kehidupan setiap warga sipil di sana. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, tercatat 4.159 WNI berada di Yaman, sebagian besar merupakan mahasiswa dan sebagian lainnya buruh migran. Menurut sumber diplomatik di sana, selang tujuh bulan sejak pemerintah mengimbau warga Indonesia agar bersedia dievakuasi, kini "tinggal" 2.000-an yang belum balik ke Tanah Air. Sebagian menolak pulang kampung, sebagian lainnya kesulitan menyentuh titik kumpul jalur evakuasi.
Indonesia memang bukan Amerika Serikat, Cina, dan Prancis yang cepat mengevakuasi warganya dari Yaman. Namun apresiasi patut diberikan kepada Kementerian Luar Negeri, termasuk jajaran Kedutaan Besar Indonesia di Yaman, yang sebagian masih bertahan untuk memfasilitasi pemulangan warga negara Indonesia. Padahal sebagian besar diplomat negara asing lainnya sudah ditarik pulang.
Memang secara teritorial Yaman jauh dari Indonesia, sehingga konflik perang saudara yang terjadi di negara tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi keamanan dan kedaulatan wilayah Indonesia. Namun operasi penyelamatan warga Indonesia di Yaman sekali lagi mengirim pesan penting di masa ketika negara sering absen dalam melindungi hak hidup warga negara.