Agus M. Irkham, Pegiat Literasi
Dalam catatan saya, paling kurang, ada tiga peristiwa yang tidak saja membuat ramai dunia nyata, tapi juga menghebohkan dunia maya. Pertama, peristiwa penangkapan komisioner KPK Bambang Widjojanto. Kedua, aksi penggelandangan sastrawan Saut Situmorang oleh aparat kepolisian. Ketiga, "akrobatik" kata Gubernur DKI Ahok saat diwawancarai oleh sebuah stasiun TV.
Meskipun ketiga peristiwa tersebut berbeda, mayoritas respons masyarakat sama. Penangkapan BW disimpulkan sebagai bentuk perlawanan balik koruptor. Lantas dengan gegap gempita netizen menuliskan tagar #SaveKPK di media sosial.
Reaksi dengan substansi yang sama, tapi memiliki artikulasi kata yang berbeda, juga terjadi pada peristiwa penangkapan Saut. Penjeratan Saut dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap kehidupan sastra Indonesia. Lalu, seolah-olah sudah menjadi pola, peristiwa ini berlanjut dengan ajakan simpati, dengan maraknya #SaveSaut di media daring.
Anggukan ritmis persetujuan juga berlangsung atas akrobatik kata Ahok. Tetiba, kita menjadi begitu bijak, dapat menerima lema baji*#an dan t*#k menjadi sesuatu yang mulia, bahkan sudah sewajarnya, meskipun dilontarkan di ruang publik dan tidak dalam konteks berbicara langsung dengan anggota DPRD DKI Jakarta yang disangka telah korup, tanpa menyelisik lebih dalam perseteruan Ahok dengan Haji Lulung dan kawan-kawan itu sebagai peristiwa politik belaka atau memang sebuah kisah drama seorang hero yang memperjuangkan kebenaran dari telikungan 106 anggota Dewan.
Pertanyaan kritisnya, sebenarnya sampai batas mana seseorang bisa menjadi sedemikian pantas untuk menjadi representasi atas sesuatu yang besar dan mulia, sehingga sebuah peristiwa yang dalam pandangan awam merupakan bentuk kesalahan tapi justru bermakna sebaliknya. Mengapa kita menjadi demikian serba tergopoh-gopoh untuk menyatakan sikap yang berbeda atas sebuah peristiwa. Sedangkan peristiwa itu sendiri belum diketahui ujungnya akan seperti apa.
Saya khawatir, belakangan ini kita kebanjiran #Save, atau sebaliknya, bukan sebagai bentuk simpati yang digerakkan oleh penyelisikan informasi yang memadai, melainkan hanya sekadar latah untuk memenuhi rasa aman secara sosial, bukan sebuah bentuk simpati dan partisipasi terhadap pembentukan civic society. Kekhawatiran saya itu bukannya tanpa alasan. Karena kecenderungan masyarakat untuk mendua (baca: tidak konsisten) atas sebuah peristiwa sudah tampak.
Paling dekat, misalnya, mengapa pemblokiran 22 status Islam tidak cukup pantas untuk disebut sebagai pengekangan terhadap kebebasan individu untuk mendapatkan informasi. Padahal, dari sisi isi (content) dan regulasi yang ada, masih menyisakan pertanyaan besar. Alasan penutupannya, karena dinilai radikal tanpa ada uji publik dan diputus oleh pengadilan, sebagaimana yang diamanahkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi.
Ikhtisar saya, munculnya sikap nyinyir (bully) atau dukungan (#Save) yang terlalu dini, akibat dari awal sebuah peristiwa ditempatkan dalam arena oposisi biner tanpa memeriksa lebih jauh fakta-fakta yang terjadi dan realitas (konteks) yang sebelumnya berlangsung. Maka, yang kemudian muncul bukanlah sanggahan atas fakta dan realitas tersebut, melainkan berupa simpulan yang bersifat instan, panas, dan tidak berjarak.?
Berita terkait
KPK Ajak Anak Muda Berpartisipasi pada Festival Lagu Antikorupsi
11 Agustus 2017
Festival ini merupakan salah satu upaya KPK dalam pencegahan korupsi di kalangan anak muda.
KPK Gelar Festival Lagu Anti Korupsi dengan Juri Sandy Canester
7 Agustus 2017
KPK menyelenggarakan Festival Lagu Suara Anti Korupsi dengan juri Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Sandy Canester.
Baca SelengkapnyaKPK Bekali Kiat Menolak Korupsi kepada 38 Finalis Putri Indonesia
27 Maret 2017
Sebanyak 38 wanita rupawan mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Mereka merupakan finalis ajang Putri Indonesia 2017.
Baca SelengkapnyaHanya Naik 1 Poin, Istana Berharap CPI Tahun Ini Lebih Baik
25 Januari 2017
Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki berharap skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang diraih Indonesia pada tahun ini lebih baik lagi.
Baca SelengkapnyaTI: Paket Kebijakan Perbaiki Indeks Korupsi Indonesia
25 Januari 2017
Dalam rentang waktu lima tahun terakhir, skor CPI Indonesia naik lima poin.
Baca SelengkapnyaKorupsi (Atas Nama) Partai
24 Oktober 2016
Rasanya tidak ada partai politik di Indonesia yang secara resmi memerintahkan kadernya untuk melakukan tindak pidana korupsi yang kemudian harus disetor ke partainya. Yang ada, partai tutup mata atas sumbangan kadernya, seberapa pun besarnya. Partai pada umumnya juga tidak pernah mempertanyakan asal-usul kontribusi dari kadernya. Konon, partai tidak boleh berburuk sangka terhadap kadernya sendiri, kendati jumlah dana yang disetor tidak masuk akal. Biasanya, kader yang banyak memberi dana untuk partai akan mendapat "reward", misalnya akan mendapat prioritas kalau ada lowongan jabatan di kelengkapan DPR, masuk panitia khusus yang menarik, jabatan di internal partai, atau nomor bagus calon anggota legislatif dalam pemilihan umum.
Baca SelengkapnyaSiasat Kenaikan Subsidi Partai
21 Oktober 2016
Lagi, Kementerian Dalam Negeri melempar wacana kenaikan bantuan keuangan untuk partai politik. Akankah gagasan ini menjadi langkah yang tepat untuk pembenahan partai?
Setahun lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pernah mengusulkan hal yang sama, yakni menaikkan bantuan keuangan partai sebesar Rp 1 triliun untuk semua partai yang memiliki kursi di DPR. Belum sempat direalisasi, usul tersebut kandas akibat penolakan masyarakat.
Resep Denmark Jadi Negara Paling Bersih dari Korupsi
16 Maret 2016
Apa resep Denmark menjadi negara paling bersih dari korupsi?
Baca SelengkapnyaSurvei BPS: Perilaku Antikorupsi Masyarakat Menurun
22 Februari 2016
Hasil survei BPS menunjukkan pengalaman antikorupsi
masyarakat lebih rendah dibanding persepsinya.
Kabar Baik, Peringkat Korupsi Indonesia Membaik!
27 Januari 2016
Kenaikan peringkat salah satunya berkat kinerja KPK dalam memberantas korupsi.
Baca Selengkapnya