Seberapa Islamkah Islam ISIS?

Penulis

Selasa, 21 April 2015 00:53 WIB

Ulil Abshar-Abdalla, cendekiawan muslim

Ini guyonan yang sempat beredar di media sosial Arab: kalau Anda tak tahu benar Islam, dalam pengertian membaca secara mendalam sumber-sumber Islam klasik, Anda menjadi muslim moderat. Tapi kalau Anda tahu benar, ada dua kemungkinan, Anda bisa menjadi seperti ISIS, atau muslim kritis seperti Nasr Hamid Abu Zaid (seorang sarjana Muslim asal Mesir).

Tentu saja ini memang sekadar guyonan, tapi ia menjawab sejumlah pertanyaan yang menyeruak, kala publik menonton dengan penuh histeria, tapi juga rasa ingin tahu yang besar, parade kebrutalan yang dilakukan oleh ISIS di Irak. Apakah ISIS itu Islam atau tidak? Kalau Islam, kenapa begitu brutal? Apakah Islam seperti itu? Bukankah Islam adalah agama yang membawa rahmat?

Reaksi umum masyarakat Islam, bukan saja di Indonesia, tapi juga di kawasan dunia yang lain, adalah "This is not Islam!" Tak mungkin Islam seperti itu. Kita bersyukur bahwa reaksi umat hampir secara aklamasi menyatakan menolak kebrutalan ISIS sebagai tindakan yang bisa dibenarkan secara keagamaan. Anda bisa bayangkan jika reaksinya lain, misalnya, "Yes, this is Islam!" Reaksi semacam ini tentu akan memberikan dukungan moral yang besar kepada ISIS, dan akan menambah kepercayaan mereka sebagai duta dan suara umat Islam di seluruh dunia. Alhamdulillah, kemungkinan yang kedua ini tidak terjadi.

Tapi, jika kita telaah lebih jauh lagi, sebetulnya ada jawaban kedua, seluruh yang dilakukan ISIS pada dasarnya memiliki dalil dan dasarnya dalam sumber-sumber otentik Islam. Jawaban kedua ini memang tidak cukup populer. Sebab-akibatnya secara psikologis bisa menyakitkan umat Islam sendiri, sekaligus mengkonfirmasi tuduhan kalangan Islamofobia (pembenci Islam) bahwa Islam adalah agama kekerasan. Tapi banyak kalangan dalam Islam yang sebetulnya sadar bahwa memang ada dasar-dasar bagi tindakan ISIS dalam sumber-sumber Islam.

Majalah The Atlantic edisi Maret tahun ini menurunkan artikel panjang yang ditulis oleh Graeme Wood, seorang wartawan Kanada. Dengan mengutip Bernard Haykel, seorang ahli Islam dari Universitas Princeton, AS, Wood menegaskan bahwa Islam ala ISIS adalah Islam yang otentik, yang memiliki dasarnya dalam korpus Islam klasik. Meskipun, dalam pandangan Haykel, Islam ala ISIS itu adalah sejenis anakronisme, karena ingin membangkitkan Islam dari abad ke-7 dan ke-8 dalam konteks sosial dan historis yang sudah sama sekali berbeda. Bukan saja membangkitkan secara spirit, tapi juga secara harfiah.

Apa yang dikemukakan oleh Haykel bukan hal yang baru dan aneh. Seperti sudah saya katakan, kalangan Islam sendiri, terutama mereka yang sangat akrab dengan teks-teks klasik Islam, tahu benar bahwa apa yang dikatakan ISIS tak seluruhnya salah dilihat dari sudut otentisitas. Hanya, pendapat semacam ini memang secara psikologis susah diterima oleh publik Islam yang umumnya tidak melakukan kajian secara mendalam atas sejarah dan ajaran Islam dalam sumber-sumber klasik.

Ambil contoh, misalnya, beberapa kebijakan yang diambil oleh ISIS sekarang. Yang pertama dan paling menonjol, negara khilafah. Semua orang yang mempelajari kitab-kitab tentang fiqh al-siyasah (teori politik Islam), seperti Al-Ahkam al-Sulthaniyya karya Al-Mawardi (w. 1058 M, Baghdad), akan tahu bahwa gagasan tentang negara khilafah itu memang ada dalam sumber klasik Islam. Gagasan khilafah juga punya rujukan dalam sebuah hadis yang terkenal riwayat Imam Ahmad (w. 855 M). Apakah kita bisa mengatakan bahwa negara khilafah adalah murni "fabrikasi" atau buatan ISIS tanpa dasar-dasar dalam sumber otentik Islam? Tentu saja tidak. Dasarnya ada.

Yang lebih fantastis lagi adalah hukuman yang diterapkan ISIS kepada tawanan perang muslim asal Yordania bernama Muaz Kasasbeh. Ia dihukum dengan cara ditaruh dalam sebuah sangkar besi dan dibakar di depan publik-suatu tontonan surealistis yang hanya bisa kita lihat di film-film Hollywood tentang era Eropa Abad Pertengahan.

Pertanyaannya, apakah hukuman yang brutal semacam ini ada dasarnya dalam Islam? Jawaban ISIS, ada. Mereka sudah memiliki tim fatwa yang menyediakan dalil khusus untuk setiap tindakan mereka yang akan dianggap oleh publik sebagai "un-fathomable brutality". Tim fatwa ISIS mengutip sebuah keterangan dari kitab klasik yang juga populer di kalangan pesantren NU, Fathul Bari. Di sana, dikatakan bahwa menurut mazhab Hanafi dan Syafii (mazhab yang banyak diikuti di Indonesia dan Asia Tenggara), hukum bakar tubuh dibolehkan dalam Islam.

Joke yang saya kutip di pembukaan esai ini, untuk sebagian, ada benarnya. Mereka yang tak membaca secara mendalam sumber-sumber Islam klasik, akan menjadi Muslim moderat: dalam pengertian, dia tak akan bisa membenarkan tindakan ISIS dan memandangnya sebagai hal yang bukan Islam. Pandangan mereka ini bukan didasari oleh landasan yang kokoh selain ketidaktahuan saja. Joke itu ada benarnya, walaupun tidak seluruhnya.

Yang membaca secara mendalam sumber Islam klasik, bisa berhadapan dengan dua kemungkinan, dia menjadi radikal seperti ISIS dan menganggap bahwa semua hal yang tertulis di Al-Quran, hadis, dan sumber-sumber klasik lainnya, harus diterapkan mentah-mentah di zaman modern sekarang, tanpa penafsiran ulang.

Kemungkinan kedua, dia tak mengingkari bahwa dalam sumber-sumber Islam sendiri memang ada hal-hal "antik" seperti yang dipraktekkan oleh ISIS tersebut, tapi hal semacam itu tak bisa direplikasi dan dibawa ke dalam kehidupan modern tanpa melalui penafsiran ulang secara kontekstual. Sebab, Islam adalah agama yang dinamis dan kontekstual. Menerapkan ajaran Islam haruslah memperhatikan konteks. Jika tidak, kita bisa terjatuh ke lubang ISIS.

Saya ingin tambahkan kemungkinan lain, seseorang bisa membaca secara mendalam sumber-sumber Islam klasik, dan dia menjadi muslim moderat seperti yang kita lihat pada kiai-kiai di seluruh pesantren NU sekarang ini. Mereka mempelajari semua yang dikemukakan oleh "juru fatwa" ISIS itu. Tapi, kiai-kiai itu tetap tak bisa membenarkan praktek ISIS. Sebab, penerapan Islam tetap harus melalui "hikmah" atau local wisdom. Jika tidak, citra Islam sendiri yang akan tercoreng. *

Berita terkait

Putin Akui Belum Ada Bukti Keterlibatan Ukraina dalam Serangan Teroris Moskow

38 hari lalu

Putin Akui Belum Ada Bukti Keterlibatan Ukraina dalam Serangan Teroris Moskow

Presiden Rusia Vladimir Putin mengakui bahwa sejauh ini belum ada tanda-tanda keterlibatan Ukraina dalam penembakan di gedung konser Moskow

Baca Selengkapnya

Dapat Ancaman dari Kelompok Radikal, Prancis Imbau Warganya Tinggalkan Pakistan

16 April 2021

Dapat Ancaman dari Kelompok Radikal, Prancis Imbau Warganya Tinggalkan Pakistan

Massa kelompok Islam radikal Pakistan bentrok dengan polisi untuk memprotes penangkapan pemimpin mereka yang menuntut dubes Prancis diusir.

Baca Selengkapnya

Prancis, Sekularisme, dan Kehati-hatian Menangani Islam Radikal

3 November 2020

Prancis, Sekularisme, dan Kehati-hatian Menangani Islam Radikal

Prancis menjadi sorotan sejak peristiwa pembunuhan guru asal Paris. Penyebabnya, pernyataan mereka soal paham radikal. Diduga lost in translation.

Baca Selengkapnya

Ini Reaksi Berbagai Politisi dan Kepala Negara Atas Terorisme di Nice

29 Oktober 2020

Ini Reaksi Berbagai Politisi dan Kepala Negara Atas Terorisme di Nice

Kepala pemerintahan dan politisi dari berbagai negara bereaksi atas aksi terorisme yang terjadi Notre-dame Basilica, Nice, Prancis.

Baca Selengkapnya

Dewan Muslim Prancis Mengecam Aksi Terorisme di Nice

29 Oktober 2020

Dewan Muslim Prancis Mengecam Aksi Terorisme di Nice

Dewan Keimanan Muslim Prancis mengutuk peristiwa teror yang terjadi di Gereja Notre-Dame Basilica, Nice Kamis ini

Baca Selengkapnya

Presiden Prancis Emmanuel Macron Menuju Lokasi Teror di Nice

29 Oktober 2020

Presiden Prancis Emmanuel Macron Menuju Lokasi Teror di Nice

Presiden Prancis Emmanuel Macron bergegas menuju Gereja Notre Dame Basilica di Nice yang menjadi lokasi aksi teror terbaru.

Baca Selengkapnya

Turki Akan Perkarakan Charlie Hebdo Atas Karikatur Erdogan

29 Oktober 2020

Turki Akan Perkarakan Charlie Hebdo Atas Karikatur Erdogan

Pemerintah Turki menyatakan akan mengambil jalur hukum atas perkara karikatur Recep Tayyip Erdogan di majalah Charlie Hebdo

Baca Selengkapnya

Prancis Balas Kecaman Turki Soal Karikatur Erdogan di Charlie Hebdo

29 Oktober 2020

Prancis Balas Kecaman Turki Soal Karikatur Erdogan di Charlie Hebdo

Pemerintah Prancis merespon kecaman Turki perihal karikatur Presiden Recep Tayyip Erdogan di sampul halaman majalah satir Charlie Hebdo.

Baca Selengkapnya

Presiden Iran Ikut Komentari Masalah Charlie Hebdo, Turki, dan Prancis

29 Oktober 2020

Presiden Iran Ikut Komentari Masalah Charlie Hebdo, Turki, dan Prancis

Presiden Iran Hassan Rouhani ikut berkomentar soal ketegangan antara Prancis dan Turki yang dipicu oleh karikatur Nabi Muhammad dari Charlie Hebdo

Baca Selengkapnya

Emmanuel Macron Mau Perkuat Hukum Sekuler Prancis untuk Lawan Islam Radikal

6 Oktober 2020

Emmanuel Macron Mau Perkuat Hukum Sekuler Prancis untuk Lawan Islam Radikal

Emmanuel Macron akan mengusulkan rancangan undang-undang yang akan menguatkan penegakan sekuler untuk melawan Islam radikal.

Baca Selengkapnya