Presiden Joko Widodo memang telah memperpanjang moratorium penerbitan izin baru kawasan hutan primer dan lahan gambut pekan lalu. Namun keputusan yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2015 itu sama sekali tak memperkuat moratorium versi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011 dan 2013 yang dinilai lemah. Tidak adanya perubahan signifikan dalam inpres itu jelas bakal membuka peluang eksploitasi hutan di Indonesia.
Selama tiga tahun sejak moratorium diterapkan, kawasan hutan yang mesti dilindungi justru tergerus secara masif. Dalam moratorium disebutkan ada 28,39 juta hektare hutan primer dan lahan gambut yang perlu dilindungi. Jumlah itu belum termasuk 13,5 juta hektare hutan dalam kondisi kritis yang membutuhkan rehabilitasi. Tapi, bukannya menambah luas wilayah hutan konservasi atau setidaknya mempertahankan jumlah yang ada, faktanya luas hutan yang hilang kian membengkak tiap tahun.
Hilangnya lahan gambut merupakan salah satu yang paling mengkhawatirkan. Dari hasil riset Kemitraan dan Wahana Lingkungan Hidup, tercatat lebih dari 914 ribu hektare lahan gambut di empat provinsi telah lenyap. Area itu hampir seluas Hong Kong. Sedangkan luas hutan alam primer yang menghilang mencapai 663 kilometer persegi atau seluas DKI Jakarta.
Kebijakan moratorium itu, bagaimanapun, tak lepas dari kesepakatan perjanjian bilateral REDD+ antara pemerintah Indonesia dan Norwegia pada 2010. Dalam kesepakatan itu, Indonesia dituntut mengurangi emisi karbon dengan cara membatasi penerbitan surat izin baru. Imbalannya, Norwegia akan memberi kompensasi sebesar US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 13 triliun. Fakta raibnya ekosistem penjaga karbon terpenting di Asia-Pasifik itu jelas bisa mengancam kesepakatan tersebut.
Pemerintah Jokowi semestinya tak boleh mengulangi kesalahan yang sama sebagaimana dilakukan pemerintah sebelumnya. Salah satu yang dituntut adalah memasukkan mekanisme sanksi bagi daerah yang selama ini terbukti paling sering mengeluarkan izin prinsip pembukaan lahan di kawasan yang justru masuk dalam moratorium. Tapi, bukannya memperkuat inpres lama dengan produk kebijakan baru, Presiden justru terkesan meng-copy-paste kebijakan lama yang compang-camping.
Dalam inpres baru, ada pengecualian bagi permohonan yang telah mendapatkan izin prinsip. Pengecualian ini jelas semakin tak menjamin kawasan hutan yang masuk wilayah moratorium akan selamat dari proses deforestasi dan degradasi. Semestinya wilayah yang baru mendapat izin prinsip dapat dicegah kerusakannya dengan tidak mengeluarkan izin produksi. Ini semua demi memperbaiki tata kelola hutan.
Pengecualian lain adalah lahan untuk padi dan tebu. Klausul ini mengisyaratkan bahwa inpres yang baru mengikuti kehendak investor. Saat ini memang para pengusaha sedang gencar mencari wilayah untuk izin tebu dengan dalih mempertahankan kedaulatan pangan dan energi. Padahal sektor perkebunan tebu dan bisnis padi skala besar akan menjadi faktor baru penyebab deforestasi di beberapa wilayah.
Dengan sejumlah kelemahan itu, kita layak pesimistis. Inpres baru agaknya tak sanggup menekan laju perusakan hutan primer dan lahan gambut. Jika kebijakan itu tak direvisi dengan sejumlah pasal yang memperkuat perlindungan hutan, patut dicemaskan wilayah dengan luas berkali lipat Hong Kong akan amblas tak bersisa.