Inisiatif pemerintah membentuk Komisi Rekonsiliasi untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu patut diapresiasi. Komisi ininantinya di bawah presidenmenunjukkan political will pemerintah dalam penegakan hak asasi. Berbagai elemen akan masuk di sini, antara lain Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Tentara Nasional Indonesia, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Keluarga korban dan saksi juga dilibatkan.
Gagasan Komisi Rekonsiliasi bukan hal baru. Pada 2004, terbit Undang-Undang Nomor 27 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sayangnya, pada akhir 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang ini karena dianggap tidak sejalan dengan perundang-undangan yang lain. Kini, Joko Widodo, yang relatif tanpa beban pelanggaran HAM masa lalu, diharapkan bisa mendorong kembali agenda penting yang tertunda itu.
Rekonsiliasi bukan jalur mudah. Ada lima syarat yang harus dipenuhi. Pertama, harus ada pelurusan fakta dan data pelanggaran. Lokasi korban penculikan, sudah meninggal atau masih hidup, harus diungkapkan. Kedua, pemerintah harus mengakui adanya korban pelanggaran HAM. Ketiga, pemerintah, diwakili presiden, meminta maaf secara resmi kepada korban. Keempat, pemerintah berjanji tak akan mengulangi pelanggaran HAM. Kelima, pemerintah wajib memulihkan nama korban dan keluarganya.
Sejauh ini embrio Komisi Rekonsiliasi tak lepas dari perdebatan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), misalnya, menolak penyelesaian kasus HAM melalui rekonsiliasi atau jalur non-yudisial. Menurut Kontras, rekonsiliasi tidak boleh menghapus jalur yudisial. Komisi Rekonsiliasi juga harus dilengkapi dengan pengadilan ad hoc yang khusus menangani kasus pelanggaran HAM.
Jalur pengadilan pun tidak mudah. Mengadili kasus Gerakan 30 September 1965, misalnya, sangat susah. Sebagian besar pelaku dan korban sudah meninggal. Upaya menelisik dokumen juga sulit, terutama karena peristiwa ini tidak lepas dari konteks pertikaian politik di masa lalu.
Negara ini membutuhkan rekonsiliasi. Tak sedikit pelanggaran HAM masa lalu yang seolah menyandera langkah. Peristiwa berdarah G30S, pembunuhan misterius pada 1980-an, kasus Talangsari, Daerah Operasi Militer di Aceh, dan kerusuhan Mei 1998 tak kunjung diusut tuntas hingga kini. Akibatnya, memori tentang negara yang absen melindungi warganya terus menumpuk. Ini tidak sehat.
Sebuah bangsa hanya bisa bebas melangkah maju setelah beban kekerasan masa lalu dituntaskan. Jerman mengadili jenderal-jenderal Nazi. Mantan Presiden Peru Alberto Fujimori dipenjara karena pelanggaran HAM pada 1960-an. Nelson Mandela membuat Komisi Rekonsiliasi, mempertemukan korban dengan pelaku kekerasan rezim apartheid.
Karena itu, kita perlu mendukung terwujudnya Komisi Rekonsiliasi. Metodenya harus mengutamakan jalur yudisial. Pengadilanlah yang menentukan apakah bukti pelanggaran dianggap cukup atau tidak. Jika data dan bukti cukup, pelaku harus diadili dan dihukum. Jika pengadilan menyatakan bukti tidak cukup, barulah jalur non-yudisial dibuka.