Pulang

Penulis

Senin, 22 Oktober 2007 00:00 WIB

Pulang adalah sepatah kata kerja yang bertuah. Berapa juta manusia bersedia berdesak-desak, menanggung panas dan rasa tak nyaman dan risiko celaka, luka, dan mati, dalam sebuah ritual raksasa tiap tahun yang disebut "mudik"?

"Mudik", sebagaimana "pulang", adalah pengertian ruang, tapi juga waktu. "Pulang" berarti kembali ke tempat asal, ke titik di bumi dari mana aku berangkat, dulu.

Kini ritual itu kian dikukuhkan. Negara dan pasar menyesuaikan langkah dengan gegap-gempita: jawatan perhubungan, dinas kepolisian, perusahaan transportasi, pelayanan telepon. Bila para peneliti sosial kini bicara tentang orang Indonesia yang semakin konservatif, "pulang" adalah salah satu indikasinya.

Pernah "pulang", gerak ke masa silam, tak dianggap sebagai bagian dari zaman. Pernah hidup digerakkan gelora modernitas. Pada tahun 1930-an, S. Takdir Alisjahbana, pelopor Pujangga Baru itu, menulis sebuah sajak yang juga sebuah manifesto modernitas: temanya bukan pulang, melainkan pergi.

"Telah kutinggalkan engkau," bisik Takdir kepada teluk teduh tempat asalnya. Dalam sajak yang terkenal itu ia putuskan untuk meninggalkan alam tenang yang dilindungi gunung. Sang penyair memilih laut luas tanpa proteksi: ia bebas, sebab itu ia berani menghadapi mara bahaya dalam ketakpastian cuaca.

Advertising
Advertising

Di masa itu, dalam semangat itu, "pulang" adalah arus balik ke tradisi. Tradisi mengandung tuntutannya sendiri. Modernitas adalah pembangkangan: ada anak yang hilang.

Tentu ada juga luka. Tentu ada rasa bersalah ketika seorang anak tak hendak kembali dan ada rasa sakit ketika seutas akar dilepaskan. Tapi "tak-pulang" adalah kondisi zaman. Bila pulang kini jadi ritual, dulu pergi adalah sebuah ritus. Hanya seorang yang disunat yang jadi dewasa.

Sajak Sitor Situmorang, Si Anak Hilang, dengan memukau melantunkan kembali melankoli kehilangan dalam ritus ituketika si anak muda pulang dari Eropa, menemui ibunya yang rindu dan dusunnya yang ingin tahu, tapi ternyata tetap ada yang putus. Saya kutip bagian akhir sajak itu:

Si anak hilang kini kembalitak seorang dikenalnya lagiberapa kali panen sudahapa saja telah terjadi?

Seluruh desa bertanya-tanyasudah beranak sudah berapa?Si anak hilang berdiam sajaia lebih hendak bertanya

Selesai makan ketika senjaibu menghampiri ingin disapaanak memandang ibu bertanyaingin tahu dingin Eropa

Anak diam mengenang lupadingin Eropa musim kotanyaibu diam berhenti berkatatiada sesal hanya gembira

Malam tiba ibu tertidurbapa lama sudah mendengkurdi pantai pasir berdesir gelombangtahu si anak tiada pulang

Kita lihat, Sitor kembali menggunakan bentuk syair lama, bukan sajak bebas, tapi berbeda dengan sastra tradisional, dalam Si Anak Hilang terasa sebuah dunia subyektif yang intens. Anak muda itu berdiam diri, karena di kepalanya berlintasan "dingin Eropa" yang belum sepenuhnya ia lupakan. Anak muda itu tak bicara, karena di hatinya ia menjauh dari suara di sekitarnya, juga suara kangen sang ibu.

Ada sikap mendua yang murung dalam sajak Sitor. Tapi pada akhirnya hanya gelombang yang berdesir yang tahu bahwa ia memang anak yang hilang. Gelombang: di pantai pasir itu ia datang dari jauh, tapi segera kembali ke laut. Kita tak tahu dari mana gelombang berasal, ke mana ia menghilang.

Dari mana sebenarnya kita berasal? Di tiap zaman selalu terdengar seruan agar kita ingat akan akar kita. Yang sering dilupakan adalah bahwa asal dan akar bukan sesuatu yang dengan sendirinya terpacak siap di dunia. Akar dan asal selamanya sebuah hasil seleksi terhadap ingatan kita sendiri. Seorang tak hanya berakar di Serang atau Seram; ia juga punya akar pada keluarga tertentu, dengan riwayat tertentu, di lapisan sosial dan dibesarkan dengan nilai tertentu. Tiap kali sebuah asal diberi nama dan disebut sebagai identitas, timbul masalah.

Saya pernah mengatakan, "jati diri" adalah sebuah kata yang meragukan. "Jati" berarti "benar"; tapi mana sebenarnya "diri" yang "benar"? Tak hanya tersedia satu jawaban untuk itu. Pulang ke dalam "diri" yang "benar" pada akhirnya juga sebuah pengembaraan tersendiri, sebab yang "benar" itu hanya tercapai sementara, semacam sebuah pelabuhan transito.

Pernah kita kenal sebuah talibun, sebentuk pantun enam baris yang berisi petuah:

Kalau anak pergi ke pekanYu beli beranak beliIkan panjang beli dahulu

Kalau anak pergi berjalanIbu cari sanakpun cariInduk semang cari dahulu

Kata-kata itu datang dari masyarakat yang merantau, bukan menetapdari mana lahir Takdir dan Sitor. Talibun itu memang tak mengekspresikan keputusan yang murung seorang anak yang hilang, tapi ada yang sejajar: perjalanan adalah pengakuan bahwa teluk yang terlindung telah ditinggalkan. Sang perantau tak berjalan untuk mencari ibu, melainkan "induk semang". Dengan kata lain, ia siap hidup dengan seseorang yang lain, yang bukan sanak keluarga tapi bersedia menerima sang perantau, yang juga asing.

Kini zaman berubah. Paradoks masa kini ialah ketika di jaringan Internet tapal batas raib, justru bertambah rasa takut kepada yang lain, yang bukan sanak sendiri. Suasana kian konservatif: orang bersiap pulang, walau mati menanti. Di masa lain, untuk sebuah pembebasan, "Tak seorang berniat pulang, walau mati menanti."

Itu sebaris sajak Hr. Bandaharo yang selalu menggetarkan.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Cerita Prestasi Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Jember, Raih Nilai Tes Nasional Tertinggi 2023

8 menit lalu

Cerita Prestasi Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Jember, Raih Nilai Tes Nasional Tertinggi 2023

Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Jember diharapkan tetap profesional dalam bekerja di masyarakat nanti.

Baca Selengkapnya

Pabik Sepatu Bata Tutup, Kemenperin: Rugi atau Strategi Bisnis?

14 menit lalu

Pabik Sepatu Bata Tutup, Kemenperin: Rugi atau Strategi Bisnis?

Kementerian Perindustrian mengaku belum mengetahui penyebab tutupnya pabrik sepatu Bata di Purwakarta, Jawa Barat.

Baca Selengkapnya

Polisi Usut Perayaan Kelulusan Siswa SMA Dogiyai Pakai Atribut Bintang Kejora

15 menit lalu

Polisi Usut Perayaan Kelulusan Siswa SMA Dogiyai Pakai Atribut Bintang Kejora

Foto dan video konvoi siswa berseragam motif bintang kejora beredar di media sosial.

Baca Selengkapnya

Bertemu Pemerintah Belanda, JATAM Kaltim Beberkan Dugaan Pelanggaran HAM di IKN

15 menit lalu

Bertemu Pemerintah Belanda, JATAM Kaltim Beberkan Dugaan Pelanggaran HAM di IKN

JATAM Kaltim berharap negara lain tak menanam modal di IKN lantaran menilai pembangunan IKN telah banyak melanggar HAM.

Baca Selengkapnya

SK Rektor soal UKT Belum Terbit, BEM UI: Nasib Mahasiswa Baru Terkatung-katung

25 menit lalu

SK Rektor soal UKT Belum Terbit, BEM UI: Nasib Mahasiswa Baru Terkatung-katung

Ketua BEM UI Verrel Uziel mengaku menerima banyak laporan dari mahasiswa baru yang diterima lewat jalur SNBP dan talent scouting yang belum mengetahui soal biaya kuliah.

Baca Selengkapnya

UKT Naik, Ini Biaya Kuliah UI 2024/2025 Jalur SNBP, SNBT, dan Seleksi Mandiri

25 menit lalu

UKT Naik, Ini Biaya Kuliah UI 2024/2025 Jalur SNBP, SNBT, dan Seleksi Mandiri

Rincian biaya UKT jalur SNBP, SNBT, PPKB, SJP, dan SIMAK UI tahun akademik 2024.

Baca Selengkapnya

Sepak Terjang Grup EXO yang Pernah Gondol Billboard Music Awards

28 menit lalu

Sepak Terjang Grup EXO yang Pernah Gondol Billboard Music Awards

Sejak resmi dibentuk pada 8 April 2012, EXO telah memenangkan berbagai gelar bergengsi, termasuk Penghargaan Musik Mnet Asian, Golden Disk Awards, dll

Baca Selengkapnya

Daftar 16 Pemain Timnas Guinea U-23 yang Merumput di Liga Eropa

30 menit lalu

Daftar 16 Pemain Timnas Guinea U-23 yang Merumput di Liga Eropa

Beberapa pemain Timnas Guinea diketahui bermain di liga Eropa, siapa saja?

Baca Selengkapnya

Tim Piala Thomas dan Piala Uber 2024 yang Meraih Perak Tiba di Jakarta, Disambut Menpora

31 menit lalu

Tim Piala Thomas dan Piala Uber 2024 yang Meraih Perak Tiba di Jakarta, Disambut Menpora

Para atlet bulu tangkis dari tim Piala Thomas dan Piala Uber Indonesia, yang sama-sama meraih perak, telah kembali ke Tanah Air.

Baca Selengkapnya

Cegah Krisis Iklim, Muhammadiyah Luncurkan Program 1000 Cahaya

35 menit lalu

Cegah Krisis Iklim, Muhammadiyah Luncurkan Program 1000 Cahaya

Program ini berupaya membangun 'Green Movement' dengan memperbanyak amal usaha Muhammadiyah untuk mulai memilah dan memilih sumber energi bersih di masing-masing bidang usaha.

Baca Selengkapnya