Heri Priyatmoko, Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB, UGM
Kahanan Keraton Kasultanan Yogyakarta tengah memanas. Jutaan mata menyimak sabda raja kedua yang dikeluarkan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Nama putrinya, GKR Pembayun, diganti menjadi GKR Mangkubumi, dan ia pun ditunjuk sebagai putri mahkota.
Silang pendapat tak terelakkan. Di satu pihak, hal itu dianggap melenceng dari tradisi dan paugeran. Tapi, di pihak lain, dinilai bukan masalah karena sultan sebagai raja punya wewenang melakukan perubahan.
Publik menebak, gonjang-ganjing bermuara pada kursi keraton (dhampar kencana), lambang kekuasaan atau status display. Di balik keelokan fisiknya serta keindahan seni yang tinggi, kursi raja berdaya pikat luar biasa, sarat makna simbolis dan mitologis yang sakral, unik, serta adiluhung. Saking keramatnya, ia tidak gampang dijangkau masyarakat umum.
Eddy Supriyatna Marizar, dalam bukunya berjudul Kursi Kekuasaan Jawa, dengan bagus menafsirkan artefak kursi berkaitan dengan simbol kekuasaan Tuhan, dewa, dan raja. Dhampar kencana dipandang sebagai alat pamer kekayaan, mengokohkan kedudukan, kewibawaan, jabatan, keagungan, kehormatan, kejayaan, atau sebagai simbol status sosial.
Simbol di lingkungan istana punya relasi historis dengan keberadaan ragam simbol candi-candi Hindu-Buddha di Jawa. Kenyataan ini menegaskan, raja bak titisan dewa.
Esensinya, jika orang menghormati (ngajeni) pemimpin atau penguasa, termasuk kursinya, maka orang tersebut dianggap telah menghormati kebenaran dari Tuhan. Pasalnya, dalam konsep kekuasaan Jawa, para pemimpin ialah representasi dari konsep raja-dewa, gung binathara baudhendha hanyakrawati, ratu pinandhita, manunggaling kawula-Gusti.
Adanya wujud kursi yang dipakai duduk penguasa istana itu mengindikasikan penguasa sukses menempatkan dirinya sebagai wong agung yang kudu dihormati para kawula.
Tak cuma itu, pengaruh kejawen diterapkan pula dalam penciptaan dhampar kencana.
Konsep penciptaannya tidak lepas dari konsep orientasi ritual ke lautan (selatan). Rakyat percaya tempat ini dihuni makhluk halus di bawah asuhan Nyai Rara Kidul. Kemudian, ke utara berorientasi ke Gunung Merapi yang dikuasai Syeikh Maulana Jumadil Qubro. Serta konsep duduk yang berorientasi ke timur dan barat. Semua ini diimplementasikan dalam bentuk dhampar kencana sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaannya secara gaib.
Dalam tataran sosiologis seni, wujud dhampar kencana berada pada hierarki seni tinggi (high art) yang diagungkan, dimitoskan, dan disakralkan, terutama oleh masyarakat kejawen yang masih percaya adanya mitologi kekuasaan raja-raja di Keraton Yogyakarta.
Maklum kalau situasi memanas di bumi Yogyakarta tak hanya bikin risau keluarga aristokrat, tapi masyarakat Jawa juga khawatir. Dhampar kencana yang dikeramatkan itu berpeluang menjadi sumber malapetaka. Kesakralan kursi tiada artinya bila kaki kursinya berdiri berlumuran darah.
Jagad cilik guncang jika betul-betul pecah konflik kekuasaan. Cukup Keraton Kasunanan Surakarta saja yang punya riwayat "raja kembar". Bangsawan Keraton Yogyakarta kudu mampu menjadi sumber teladan di tingkat nasional. Biarlah mereka yang di gedung Senayan yang rebutan kursi dan miskin nilai keteladanan. *
Berita terkait
Kisah Pencak Silat Merpati Putih, Bela Diri Keluarga Keraton yang Dibuka ke Masyarakat Umum
29 hari lalu
Sejumlah teknik dan jurus pencak silat awalnya eksklusif dan hanya dipelajari keluarga bangsawan. Namun telah berubah dan lebih inklusif.
Baca SelengkapnyaNyepi Di Candi Prambanan, Polisi Berkuda Patroli dan Tiga Akses Masuk Dijaga Bregada
51 hari lalu
Kawasan Candi Prambanan Yogyakarta tampak ditutup dari kunjungan wisata pada perayaan Hari Raya Nyepi 1946, Senin 11 Maret 2024.
Baca SelengkapnyaSultan HB X Beri Pesan Untuk Capres Pasca-Coblosan: Semua Perbedaan dan Gesekan Juga Harus Selesai
14 Februari 2024
Sultan HB X seusai mencoblos hari ini memberikan pesan agar usai Pemilu, semua permasalahan, perbedaan antarcapres selesai.
Baca SelengkapnyaTahun Ini Usia Cirebon Lebih Muda, Apa Sebabnya?
9 Januari 2024
Melalui hasil rapat panitia khusus disepakati ulang tahun Cirebon jatuh pada 1 Muharram 849 Hijriah
Baca Selengkapnya3 Keraton di Cirebon Ini, Masukkan dalam Daftar Kunjungan Wisata Sejarah
2 November 2023
Cirebon punya berbagai destinasi wisata sejarah yang patut dikunjungi, di antaranya 3 Keraton, yakni Keraton Kasepuhan Cirebon, Kanoman, Kacirebonan.
Baca SelengkapnyaKeraton-Keraton di Indonesia Potensial Jadi Bagian dari Wellness Tourism
20 September 2023
Tanri Abeng menggelar talkshow yang membahas tentang wellness tourism dikaitkan dengan keberadaan 56 keraton di Indonesia.
Baca SelengkapnyaUNESCO Tetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Dunia, Panggung-Kraton-Tugu
19 September 2023
UNESCO menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan dunia dari Indonesia pada Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia atau World Heritage.
Baca SelengkapnyaDestinasi Wisata 3 Keraton di Cirebon: Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan
29 April 2023
Di Cirebon, terdapat 3 keraton yang memiliki sejarah yang unik, yakni Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Ini destinasi wisata di Cirebon.
Baca SelengkapnyaCatatan Peristiwa Memanas Keraton Surakarta dalam Kaleidoskop 2022
28 Desember 2022
Peristiwa konflik internal Keraton Surakarta yang memanas mewarnai pemberitaan media massa menjelang akhir tahun 2022
Baca SelengkapnyaTiga Penjual Batik di Yogyakarta
15 Oktober 2022
Jika Anda ingin mencari kain batik dengan corak gaya modern, maka sangat direkomendasikan untuk pergi berbelanja di Batik Rumah Suryowijayan.
Baca Selengkapnya