NIAT Mahkamah Agung menghapus keberadaan Komisi Yudisial merupakan langkah mundur dalam sistem peradilan di Indonesia. Keinginan itu, selain kian mempertegas sikap Mahkamah Agung yang enggan memperbaiki diri, menunjukkan sikap arogansi karena tidak mau diawasi.
Mahkamah Agung seperti lupa akan sejarah Komisi Yudisial. Komisi itu dibentuk untuk memperbaiki wajah buruk peradilan di Indonesia. Sebagai produk reformasi, keberadaan Komisi Yudisial diakui dalam konstitusi melalui amendemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada 2001. Ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur jelas dalam pasal 24B konstitusi kita.
Alasan yang dikemukakan Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial, Suwardi, bahwa Komisi Yudisial membatasi kekuasaan kehakiman terlalu berlebihan. Ia berdalih bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan lepas dari pengaruh pemerintah. Kekuasaan ini, dalam perspektif Suwardi, telah dikebiri oleh pasal 24B yang memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim.
Kenyataannya, Komisi Yudisial tidak pernah mencampuri substansi atau dalil hukum yang dikemukakan seorang hakim dalam persidangan. Yang menjadi sorotan Komisi Yudisial adalah penegakan kode etik dan perilaku hakim. Itu semua bagian dari upaya Komisi Yudisial meningkatkan kehormatan hakim agar kepercayaan publik terhadap peradilan tumbuh kembali.
Fakta menunjukkan bahwa selama ini justru Mahkamah Agung-lah yang enggan mengeksekusi rekomendasi Komisi Yudisial terhadap para hakim nakal yang melanggar kode etik. Padahal, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, rekomendasi itu berlaku otomatis bila dalam waktu 60 hari Mahkamah Agung tidak menjalankannya. Hingga Februari tahun ini, Mahkamah Agung belum melaksanakan sedikitnya 12 rekomendasi Komisi Yudisial, dari sanksi ringan hingga sanksi berat, berupa pemberhentian tetap.
Itu sebabnya, keberadaan Komisi Yudisial untuk mengawasi para hakim masih dibutuhkan di tengah maraknya hakim yang banyak melakukan tindakan tercela. Tertangkapnya tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri Medan, Sumatera Utara, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan contoh nyata.
Lemahnya sanksi dan banyaknya hakim melakukan perbuatan tercela seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat peran Komisi Yudisial, bukan malah memberangusnya. Salah satu caranya, merevisi UU Komisi Yudisial agar rekomendasi Komisi Yudisial lebih bergigi. Cara ini bertujuan mengikat Mahkamah Agung agar menjalankan rekomendasi yang disodorkan Komisi.
Sesuai dengan UU Komisi Yudisial Pasal 13, lembaga ini juga memiliki peran penting dalam mengusulkan dan mengawasi proses pengangkatan Hakim Agung, mulai dari seleksi uji kelayakan calon hakim agung hingga membuat pedoman untuk menentukan kelayakan calon hakim agung.
Mengingat pentingnya peran Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsi kontrol di bidang kehakiman, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak perlu menghiraukan keinginan Mahkamah Agung menghapus lembaga tersebut dari konstitusi.