Apa yang terjadi di Tolikara, Papua, pada hari raya Idul Fitri lalu amat mengagetkan. Meski lama menjadi wilayah konflik, tidak pernah sebelumnya ada bentrokan antarumat beragama di Papua.
Kerusuhan terjadi pada saat umat muslim tengah menjalankan ibadah salat id di lapangan Markas Komando Rayon Militer 1702-11/Karubaga. Jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sedang mengikuti seminar dan kebaktian kebangunan rohani di dekat lokasi tersebut merasa terganggu. Mereka memaksa agar salat dipindahkan ke tempat lain. Terjadi kerusuhan, lalu puluhan kios dan Masjid Baitul Muttaqin di dekat lapangan terbakar. Di sisi lain, 11 anggota jemaat GIDI tertembak peluru tajam, seorang di antaranya meninggal.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti mengatakan ada kelompok yang sengaja menciptakan konflik antarumat beragama di Tolikara. Kita menunggu polisi menyelidiki dugaan tersebut dan menangkap pelakunya. Yang juga menimbulkan tanda tanya adalah sikap penguasa setempat atas surat edaran GIDI yang melarang penyelenggaraan salat id. Kerusuhan tak perlu terjadi jika aparat bergerak cepat menanggapi surat edaran tertanggal 11 Juli 2015 itu, yang juga ditembuskan kepada pemerintah daerah dan kepolisian setempat.
Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Cerita dan kesaksian yang beredar saling bertentangan. Ada yang mengatakan jemaat GIDI menyerang umat muslim yang tengah salat, membakar kios dan masjid, lalu mereka dihalau tembakan aparat. Cerita lain, penyerangan terhadap umat muslim dan kerusuhan terjadi setelah jemaat GIDI ditembaki aparat dengan peluru tajam. Ada juga isu bahwa tembakan bukan berasal dari aparat, melainkan anggota Organisasi Papua Merdeka. Berbagai versi ini perlu dijernihkan.
Mengingat hubungan antarumat beragama yang amat baik di Papua selama ini, bukan tak mungkin kerusuhan Tolikara sebenarnya cuma simtom dari persoalan yang lebih besar di Papua. Boleh jadi aksi intoleran di Tolikara itu merupakan ledakan dari akumulasi persoalan yang tak pernah diselesaikan hingga saat ini, yang didominasi oleh kekerasan dan senjata.
Upaya damai yang dirintis Presiden Joko Widodo dengan membebaskan tahanan politik beberapa waktu lalu sudah bagus. Hal ini perlu dilanjutkan dengan kebijakan yang substansial. Persoalan Papua adalah eksploitasi, kekerasan, dan ketidakadilan yang telah berlangsung amat lama. Tantangan pemerintah Jokowi adalah menyelesaikan persoalan tersebut, kalau benar-benar berniat mendamaikan Papua.
Sementara itu, pemerintah serta para pemuka dan tokoh agama perlu mengintensifkan dialog. Undang-Undang 1945 tegas menjamin hak setiap warga negara untuk beribadah seturut agama dan keyakinannya. Peristiwa Tolikara mengingatkan kita bahwa pelanggaran atas hak beragama ternyata bisa terjadi di mana saja, oleh siapa saja, dan terhadap umat yang mana saja.