Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai jaminan kesehatan cenderung meresahkan masyarakat. MUI seharusnya mengkaji lebih dalam soal layanan yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu. Soalnya, jaminan kesehatan ini jelas bermanfaat besar bagi rakyat.
MUI menilai penyelenggaraan jaminan kesehatan ini tidak sesuai dengan syariat Islam karena menggunakan sistem premi seperti asuransi. MUI juga melihat pengelolaan dana peserta BPJS bermasalah secara syariat lantaran bisa mengandung riba. Alasannya, BPJS boleh menanamkan dana iuran peserta ke sistem perbankan konvensional. Di mata MUI, dana peserta seharusnya diinvestasikan ke sektor yang halal. Kalau ditanam di bank biasa, bukan bank syariah, hasil investasi itu dianggap haram. Itu sebabnya, Tim Dewan Syariah Nasional MUI mendorong pemerintah untuk segera memperbaiki penyelenggaraan BPJS Kesehatan sesuai dengan syariat.
Sepintas, seruan itu tampak masuk akal, tapi sebetulnya mengada-ada dan amat terlambat. Kendati telah mengumumkan fatwa itu sebulan lalu, MUI sebetulnya mengungkit lagi masalah yang sudah lama diputuskan secara politik.
Munculnya jaminan kesehatan didasari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-undang itu tidak mewajibkan BPJS mengelola dana peserta secara syariat. Prinsip yang diatur dalam undang-undang itu antara lain kegotongroyongan, nirlaba, akuntabilitas, amanat, dan hasil pengelolaan dipergunakan seluruhnya untuk kepentingan peserta.
Dana peserta juga tidak wajib ditanamkan ke bank syariah. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dinyatakan pada Pasal 43 undang-undang tersebut, dana jaminan sosial digunakan untuk pembayaran manfaat, dana operasional penyelenggaraan program, dan diinvestasikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, rambu-rambunya hanyalah investasi dana peserta itu tidak boleh melanggar ketentuan hukum positif, tak ada disebutkan tak boleh melanggar syariat.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Direksi BPJS Kesehatan untuk berdialog dengan MUI. Langkah ini boleh saja dilakukan. Tapi sebetulnya pemerintah, juga Dewan Perwakilan Rakyat, bisa bersikap terhadap fatwa MUI. Tidak sepantasnya MUI mengungkit sistem jaminan sosial yang sudah lama disepakati dan bermanfaat besar bagi rakyat. Orang miskin kini lebih terlindungi karena adanya jaminan kesehatan. Jika mengubah pola penyelenggaraan sesuai dengan fatwa MUI, BPJS justru akan melanggar aturan.
Bila menginginkan jaminan kesehatan yang sesuai dengan hukum Islam, seharusnya MUI menyerukan hal itu saat membahas Rancangan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional pada 2004 atau ketika memperbincangkan RUU tentang BPJS empat tahun silam. Kini pun MUI masih bisa mendorong DPR atau pemerintah untuk merevisi undang-undang itu dan memasukkan unsur syariah. Cara ini lebih elegan ketimbang melempar fatwa yang meresahkan.