Langkah Mundur di Pasal Penghinaan

Penulis

Kamis, 6 Agustus 2015 01:23 WIB

Keputusan Presiden Joko Widodo yang didukung wakilnya, Jusuf Kalla, menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap kepala negara merupakan kemunduran. Di antara 786 pasal Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang disodorkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, terselip pasal-pasal karet tersebut. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Desember 2006 telah mencabutnya dengan mengabulkan gugatan uji materi atas pasal penghinaan itu.

Bukan hanya merupakan langkah mundur, sikap Jokowi ini patut disayangkan karena berpotensi memberangus kebebasan berekspresi yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28, 28E (2), dan 28E (3). Sikap seperti ini serupa dengan pendahulunya, yang alergi terhadap kritik. Akibatnya, protes, pernyataan, pendapat, atau pikiran yang seharusnya merupakan kritik serta-merta ditafsirkan oleh penegak hukum sebagai penghinaan terhadap penguasa.

Dengan memasukkan kembali pasal-pasal yang sudah dibatalkan oleh MK, lembaga kepresidenan dapat dianggap melawan konstitusi. Pembatalan pasal-pasal itu berlaku final dan mengikat sejak ketua majelis hakim MK, Jimly Asshiddiqie, mengetuk palu dalam sidang putusan.

Pasal penghinaan terhadap kepala negara telah banyak menelan korban dari kalangan aktivis demokrasi yang dianggap menghina penguasa. Fahrurahman dan Bay Harkat Firdaus dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, serta I Wayan Gendo, aktivis asal Bali, adalah contoh yang pernah terjerat pasal penghinaan presiden pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pemerintah Jokowi semestinya tidak perlu memasukkan pasal khusus, seperti Pasal 263 dan 264, ke dalam RUU KUHP itu. Bukankah, seperti juga putusan MK, untuk delik penghinaan presiden dan/atau wakil presiden dapat diberlakukan Pasal 310, 311, dan 312 KUHP bila penghinaan ditujukan kepada pribadi? Sedangkan Pasal 207 KUHP jika penghinaan ditujukan selaku pejabat.

Advertising
Advertising

Presiden seharusnya becermin pada kegagalan pembahasan RUU KUHP ini hingga berkali-kali karena ada kontroversi. RUU KUHP telah menjadi agenda di DPR sejak 2005, namun selalu gagal. Rancangan undang-undang ini kembali masuk Program Legislasi Nasional 2009-2014, tapi naskah yang diserahkan ke DPR pada 2013 kembali memicu perdebatan publik. Akhirnya diputuskan pembahasan ditunda hingga terpilihnya DPR baru.

Pemerintah, sebagai pihak yang menyiapkan naskah, harus mengkaji benar-benar pasal demi pasal. Dengan demikian, revisi atas KUHP yang merupakan warisan kolonial itu benar-benar mencerminkan politik hukum pidana yang mampu melindungi hak-hak warga negara, kebebasan sipil, dan hak asasi manusia, serta tidak diskriminatif. Pembaruan hukum pidana haruslah mengarah pada hukum pidana modern yang mampu memfasilitasi dan memastikan Indonesia sebagai negara yang demokratis.

Berita terkait

Ukraina Temukan Puing Rudal Balistik Korea Utara di antara Bukti Serangan Rusia

7 menit lalu

Ukraina Temukan Puing Rudal Balistik Korea Utara di antara Bukti Serangan Rusia

Jaksa penuntut negara Ukraina memeriksa puing-puing dari 21 dari sekitar 50 rudal balistik Korea Utara yang diluncurkan oleh Rusia.

Baca Selengkapnya

Tanah Longsor di Kota Padang, Dua Warga Dilaporkan Hilang Tertimbun

1 jam lalu

Tanah Longsor di Kota Padang, Dua Warga Dilaporkan Hilang Tertimbun

Tanah longsor terjadi di Padang Sumatera Barat akibat hujan deras mengguyur kota itu sejak Selasa siang. Akses jalan menuju Solok terputus.

Baca Selengkapnya

Vladimir Putin Kembali Dilantik sebagai Presiden Rusia untuk Periode Kelima

2 jam lalu

Vladimir Putin Kembali Dilantik sebagai Presiden Rusia untuk Periode Kelima

Vladimir Putin kembali menjabat sebagai presiden Rusia untuk periode kelima selama enam tahun ke depan. Bakal mengalahkan rekor Stalin.

Baca Selengkapnya

Studi: Marah 8 Menit Saja Bisa Tingkatkan Peluang Serangan Jantung

2 jam lalu

Studi: Marah 8 Menit Saja Bisa Tingkatkan Peluang Serangan Jantung

Efek akut marah-marah pada kerja pembunuh darah, yang mungkin menambah peluang serangan jantung dan stroke.

Baca Selengkapnya

Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Setelah 2 Kali Mangkir, Penyidik KPK Sempat Cek ke Rumah Sakit

3 jam lalu

Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Setelah 2 Kali Mangkir, Penyidik KPK Sempat Cek ke Rumah Sakit

KPK akhirnya menahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor setelah dua kali mangkir dari pemeriksaan. Tidak dilakukan jemput paksa.

Baca Selengkapnya

Lee Do Hyun Sebut Nama Lim Ji Yeon di Pidato Baeksang, Netizen Heboh

3 jam lalu

Lee Do Hyun Sebut Nama Lim Ji Yeon di Pidato Baeksang, Netizen Heboh

Pidato pendek yang dibacakan Lee Do Hyun langsung mendapat respons dari banyak pihak yang dinilai menunjukkan bucin ugal-ugalan ke Lim Ji Yeon.

Baca Selengkapnya

Pemkot Surabaya Rayakan HJKS ke-731

3 jam lalu

Pemkot Surabaya Rayakan HJKS ke-731

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menggelar Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) ke-731 pada 31 Mei 2024, dengan tema 'Satukan Tekad Surabaya Hebat'.

Baca Selengkapnya

61 Kepala Daerah Jadi Tersangka Korupsi pada 2021-2023, ICW: Lingkaran Setan Sejak Awal

3 jam lalu

61 Kepala Daerah Jadi Tersangka Korupsi pada 2021-2023, ICW: Lingkaran Setan Sejak Awal

Peneliti ICW mengatakan mayoritas modus korupsi itu berkaitan dengan suap-menyuap dan penyalahgunaan anggaran belanja daerah.

Baca Selengkapnya

Film KHD tentang Ki Hadjar Dewantara Baru Tayang 2026 Mendatang, Ini Alasan Gina S. Noer

3 jam lalu

Film KHD tentang Ki Hadjar Dewantara Baru Tayang 2026 Mendatang, Ini Alasan Gina S. Noer

Gina juga mengatakan, film biopik yang ia garap memang cenderung lama, termasuk film KHD ini.

Baca Selengkapnya

Pembunuhan Pengusaha Kerajinan Tembaga di Boyolali, Korban dan Pelaku Terlibat Hubungan Sesama Jenis

4 jam lalu

Pembunuhan Pengusaha Kerajinan Tembaga di Boyolali, Korban dan Pelaku Terlibat Hubungan Sesama Jenis

Irwan, tersangka pembunuhan pengusaha kerajinan tembaga di Boyolali terlibat hubungan sesama jenis. Irwan murka karena tak dituruti minta Rp 500 ribu.

Baca Selengkapnya