Menggagas penataan kompleks Dewan Perwakilan Rakyat boleh-boleh saja. Negara memang berkewajiban menyediakan ruang kerja yang layak dan nyaman bagi politikus Senayan. Tapi seharusnya Dewan juga memperhatikan keadaan anggaran dan perekonomian negara.
Tidaklah elok memaksakan keinginan di tengah kondisi keuangan negara yang kurang sehat dan perekonomian yang di ambang krisis. Pertumbuhan ekonomi melambat. Target penerimaan pajak pun diperkirakan sulit tercapai. Hari-hari ini bahkan nilai rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika. Padahal pembangunan gedung DPR yang digadang-gadang itu memerlukan dana Rp 1,1 triliun.
Anggaran itu akan digunakan buat membiayai tujuh proyek di kompleks DPR: museum dan perpustakaan, alun-alun demokrasi, akses tamu ke Gedung DPR, pusat pengunjung parlemen, ruang pusat kajian legislasi, ruang anggota dan tenaga ahli, serta integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja anggota DPR.
Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR Roem Kono mengemukakan bahwa Kompleks Parlemen Senayan, yang berkapasitas 800 orang, kini diisi 6.000 orang. Ia juga mengungkapkan keadaan di gedung Dewan yang tidak nyaman. Misalnya, banyak anggota DPR harus antre di depan lift untuk mengakses ruangan. Roem Kono pun berargumen, sesuai dengan aturan pejabat negara mendapat fasilitas ruangan seluas 117 meter persegi.
Argumen itu tentu saja tidak keliru. Yang jadi persoalan ialah haruskah penataan kompleks Senayan sekaligus pembangunan gedung baru itu dilakukan sekarang? Presiden Joko Widodo jelas tak memasukkan usul penataan gedung DPR saat menyampaikan nota keuangan pada 16 Agustus 2015. Presiden juga belum memaraf prasasti pembangunan gedung itu. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menegaskan pemerintah belum mengabulkan keinginan DPR soal gedung baru.
Sikap hati-hati pemerintah itu perlu dihargai, karena kondisi keuangan negara yang kurang sehat. DPR seharusnya bisa menunda keinginan tersebut. Dewan bisa lebih dulu mengaudit penggunaan ruangan. Lewat penataan ruangan yang lebih baik, jangan-jangan gedung DPR masih bisa digunakan secara aman dan relatif nyaman. Adapun fasilitas tambahan, seperti alun-alun demokrasi, pusat pengunjung, dan museum, bukanlah keperluan yang mendesak.
Ketimbang ribut soal gedung baru, anggota DPR bisa meningkatkan kinerja mereka dengan fasilitas yang ada. Soalnya, kinerja mereka selama ini jeblok kendati politikus Senayan telah memiliki gaji dan tunjangan yang memadai. Hasil survei Poltracking Indonesia pada Maret lalu, misalnya, mencatat DPR sebagai lembaga negara yang paling buruk kinerjanya selama beberapa tahun terakhir. Pencapaian pada 2015 untuk Program Legislasi Nasional pun masih minim. Dewan baru mengesahkan dua dari 37 rancangan undang-undang dalam Program Legislasi Nasional.
Perbaikan kinerja itulah yang seharusnya diprioritaskan DPR, bukannya penataan kompleks dan gedung baru.