Debat

Penulis

Senin, 22 Juni 2009 00:00 WIB

Saya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur berlaga, ujian, dan telaah. Memang, dulu ketika Socrates menanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyoal dan meminta jawab dan siap dibantah serta membantah, ia tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Ia menggugah orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan menjadi lebih bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti Socrates. Dan saya cepat lelah dengan berujar lisan.

Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umumnya dialog, acap kali berakhir dengan dua-log: saya dan lawan bicara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel berhadap-hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba mengerti dia. Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.

Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan sebuah perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah pintar ketimbang lawan itu? "Kalah pintar" tidak selamanya mudah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau untuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.

Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang "rasional" akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan Mikhail Bakhtin cenderung menganggap bahwa debat yang terbuka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin beragamnya pendapat dan pendirian.

Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas berbedadan teknik Socrates akan menimbulkan kesadaran itumereka akan makin ketat dalam pilihan posisi mereka. Ada yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri sendiri, dalam kalimat.

Advertising
Advertising

Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Mungkin jawabnya lebih sederhana dari yang diharapkan seorang Socrates: percakapan punya momen persentuhan yang tak selamanya bisa dibahasakanmomen ketika tubuh jadi bagian dari keramahan dan redanya rasa gentar.

Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon presiden. Saya tidak tahu apakah setelah menonton itu, orang akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia pilih. Saya duga lebih sering yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan sebelum debat mulaidan orang menonton sebagai pendukung atau penggembira, seperti orang menonton pertandingan badminton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, debat diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburandengan segala ketegangan yang dirasakan dalam menonton itu. Kita tegang, maka kita senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata, debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat kita bertepuk.

Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar dalam debat politik. Sementara mereka yang berdebat mempersiapkan diri baik-baik dengan mengumpulkan bahan serta mempertajam argumen dan juga berlatih menyusun kata, tuan rumah dari acara itu sebenarnya punya tujuan yang tak ada hubungannya dengan discourse. Sang tuan rumah hanya menginginkan sesuatu untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu menyelenggarakan pertandingan gladiator.

Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah arena apa yang disebut Milan Kundera sebagai "imagologi". Politik telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh media massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan sebagai komoditas yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyak-banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang dibujuk, makin ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika televisidengan kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahaljadi makin komersial, pendangkalan itu makin tak terelakkan.

Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disusul debat para komentator debatyang umumnya seru, bisa lebih kasar, lebih tak sabar, dan lebih tak berpikir. Kini para komentator hampir sudah seperti pesohor: yang terpenting adalah bahwa mereka dikenal, atau bisa menarik perhatian. Mengapa harus digubris adakah pendapat mereka punya dasar yang bisa dipertanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban cepat lebih diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Socrates dan eclenchus-nya sudah lama dikuburkan.

Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya tak malas menonton para calon presiden berdebat. Saya tahu apa yang mereka lakukan di sana itu tak banyak manfaatnya bagi mereka sendiri. Tapi setidaknya saya mendapatkan hiburan. Dan mungkin juga komodifikasi yang terjadi pada acara yang seolah-olah serius itu punya manfaat lain, punya peran lain: proses itu membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik itu lebih menarik, dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ketimbang komoditas lain yang ditebarkan televisi.

Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Amnesty International Kecam Polisi Masuk ke dalam Kampus dan Menangkap Mahasiswa di Makassar

3 menit lalu

Amnesty International Kecam Polisi Masuk ke dalam Kampus dan Menangkap Mahasiswa di Makassar

Amnesty International kecam kekerasan polisi di dua kampus di Makassar saat Hari Buruh Internasional dan Hari Pendidikan Nasional.

Baca Selengkapnya

Kenaikan UKT di ITB dan Temuan Senyawa Penghambat Kanker Mengisi Top 3 Tekno Hari Ini

13 menit lalu

Kenaikan UKT di ITB dan Temuan Senyawa Penghambat Kanker Mengisi Top 3 Tekno Hari Ini

Kenaikan UKT bagi mahasiswa angkatan 2024 di ITB memuncaki Top 3 Tekno Tempo hari ini, Sabtu, 4 Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Rencana Jalan Braga Bandung Bebas Kendaraan saat Akhir Pekan Dibayangi Masalah

13 menit lalu

Rencana Jalan Braga Bandung Bebas Kendaraan saat Akhir Pekan Dibayangi Masalah

Pemerintah Kota Bandung ingin menghidupkan kembali Jalan Braga yang menjadi ikon kota sebagai tujuan wisata.

Baca Selengkapnya

LPEM UI Sebut Tiga Sumber Inflasi, Rupiah sampai Konflik Iran-Israel

28 menit lalu

LPEM UI Sebut Tiga Sumber Inflasi, Rupiah sampai Konflik Iran-Israel

Inflasi April 2024 sebesar 3 persen secara year on year.

Baca Selengkapnya

Menlu Selandia Baru Sebut Hubungan dengan Cina "Rumit"

32 menit lalu

Menlu Selandia Baru Sebut Hubungan dengan Cina "Rumit"

Menlu Selandia Baru menggambarkan hubungan negaranya dengan Cina sebagai hubungan yang "rumit".

Baca Selengkapnya

Pihak Kampus Akui Pengemudi HR-V yang Tabrak Bis Kuning Mahasiswa Universitas indonesia

37 menit lalu

Pihak Kampus Akui Pengemudi HR-V yang Tabrak Bis Kuning Mahasiswa Universitas indonesia

Kepala Biro Humas Universitas Indonesia membenarkan pengemudi Honda HR-V yang menabrak bis kuning atau Bikun merupakan mahasiswa UI.

Baca Selengkapnya

Warga Jawa Barat Rasakan 6 Gempa Sepanjang April 2024, Sebenarnya Terjadi 106 Kali

47 menit lalu

Warga Jawa Barat Rasakan 6 Gempa Sepanjang April 2024, Sebenarnya Terjadi 106 Kali

BMKG mencatat 106 kali gempa di Jawa Barat pada April 2024. Dari 6 guncangan yang terasa, gempa Garut M6,2 jadi yang paling besar.

Baca Selengkapnya

Polisi Diduga Tabrak Pengendara Motor Hingga Tewas, Laporan Keluarga Korban Sempat Diabaikan Polres Bogor

50 menit lalu

Polisi Diduga Tabrak Pengendara Motor Hingga Tewas, Laporan Keluarga Korban Sempat Diabaikan Polres Bogor

Keluarga korban sempat mendapat perlakuan tidak enak dari pelaku yang seorang polisi berpangkat Bripda. Polres Bogor disebut telah olah TKP.

Baca Selengkapnya

P2G Sebut Ada Guru Honorer di Sekolah Negeri Dipecat Setelah Ada Guru PPPK

53 menit lalu

P2G Sebut Ada Guru Honorer di Sekolah Negeri Dipecat Setelah Ada Guru PPPK

P2G menerima sejumlah laporan dari guru honorer yang dipecat sekolah setelah kedatangan guru PPPK.

Baca Selengkapnya

CASN Jalur Sekolah Kedinasan, Ada 3.445 Formasi di 8 Sekolah

59 menit lalu

CASN Jalur Sekolah Kedinasan, Ada 3.445 Formasi di 8 Sekolah

Pendaftaran CASN sekolah kedinasan dimulai pada Mei 2024. Sedangkan untuk formasi umum CASN dimulai Juni 2024.

Baca Selengkapnya