Teror Itu

Penulis

Senin, 20 Juli 2009 00:00 WIB

Jika bom itu tak hanya mengejutkan, tapi membuat kita marah dan sedih, jika beberapa orang bahkan menangis pagi itu, ketika dua ledakan membunuh sembilan orang dan melukai entah berapa lagi di Hotel Ritz-Carlton dan JW Marriott di Jakarta, apa sebenarnya yang terjadi? Saya tak tahu persis jawabnya. Kematian dan luka-luka itu mengerikan, tapi saya dengarkan percakapan, saya baca pesan di HP, dan saya mungkin bisa mengatakan bahwa kita marah, sedih, dan menangis karena tiba-tiba kita menyadari, betapa terkait kita dengan sebuah tanah air: sebuah negeri yang selama ini seakan-akan bisa diabaikan, atau hanya disebut dalam pasporsebuah Indonesia yang seakan-akan selamanya akan di sana dan utuh tapi kini terancamIndonesia yang dulu mungkin hanya menempel direkatkan ke kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah, karena pidato di televisi.

Ketika bom itu mengguncang kita, pagi tiba-tiba jadi lain. Pagi itu kita merasa secara akut jadi bagian dari tubuh imajiner itujustru ketika tubuh itu dilukai. Tiba-tiba kita merasa berada di sebuah perjalanan bersama yang dicegat dengan kasar dan seperti hendak direnggutkan dari masa depan yang bisa memberi kita sedikit rasa bangga. Tiba-tiba kita takut kita akan tak bisa mengatakan, "Saya datang dari sebuah negeri yang pelan-pelan membuat saya tidak malu lagi."

Teror itu akhirnya memusuhi sesuatu yang lebih berarti ketimbang apa saja yang semula dimusuhinyajika yang dimusuhi adalah "Amerika", atau "Barat", atau "SBY", atau "demokrasi", atau "kehidupan sekuler", atau apa pun. Ketika kita merasa seperti kehilangan sebuah republik yang dibangun bersamadengan segala variasi yang tumbuh dalam bangunan ituteror itu praktis memusuhi sebuah cita-cita sekian puluh juta manusia yang bebas. Ia memusuhi Indonesia.

Pada momen itu, kita sebenarnya bisa berkata: kita akan melawan. Pada saat itu, kita tahu, teror itu tak akan menang. Memang sejenak ia bisa bikin gugup, menyebabkan reaksi yang berlebihan, juga dari seorang presiden yang biasanya tenang. Tapi bom itu, teror itu, tak akan bisa mendapat lebih dari itu.

Di zaman ini, para teroris memerlukan pentas dan penonton. Ada panggung untuk mempertunjukkan akrobatik mereka. Ada penonton yang menyaksikannya dan merasakan dampaknya ke dalam hidup mereka, sejenak ataupun lama. Kengerian, kebuasan, dan kenekatan itu adalah bagian dari spectacle itu, seperti dalam sirkus. Tapi, apa sesudah itu?

Advertising
Advertising

Kita ingat 11 September 2001: sebuah pertunjukan spektakuler dengan pentas yang kolosal: dua pesawat berpenumpang penuh ditabrakkan ke dua gedung pencakar langit di Kota New York, pada sebuah pagi yang cerah. Sekitar 3.000 orang tewas. Teror adalah sebuah show dan sekaligus statemen. Tapi statemen itu tidak pernah jadi jelas, juga bagi jutaan penonton. Efeknya mengharu biru, tapi ia tak menyebabkan sang musuh ("Amerika") bertobat atau runtuh. Teror akhirnya bukanlah untuk menggerakkan dukungan yang konsisten untuk perubahan. Teror tak punya daya transformatif. Teror bukan sebuah revolusi.

Dan ia juga tak bisa mengelak dari "the law of diminishing return". Tiap pertunjukan yang ingin menarik perhatian akan sampai pada suatu titik, di mana ia tidak bisa lagi jadi rutin. Ketika ia jadi rutin, diulang berkali-kali tanpa hasil yang berarti, kecuali membunuh sejumlah orang tak bersalah (bahkan ia tak bisa berpanjang-panjang membuat gentar), ia kehilangan lagi tujuannya.

Bahkan ia bisa kehilangan kejutnya. Dalam film Brazil Terry Gilliam, horor dan komedi bersatu. Adegan dimulai dengan sebuah etalase dan iklan televisi yang menawarkan pipa penghangat ruang. Seorang perempuan lewat dan sejenak, sebelum sebuah bom meledak. Tapi tak ada jerit. Tak ada sirene. Yang terdengar melodi Aquerela do Brasil dari Ary Barroso yang riang dan ringan. Teror telah demikian jadi bagian dari hidup sehari-hari dari sebuah kota yang terletak di sebuah zaman entah berantah. Dalam film tentang kekerasan selama 13 tahun itu (yang disebut oleh seorang pejabat sebagai "keberuntungan sang pemula") kita tidak tahu lagi apa sebenarnya yang diperjuangkan Archibald "Harry" Turtle, sang superteroris, yang dalam film cuma muncul sejenak. Teror telah jadi seperti "seni untuk seni".

Kita belum sampai ke tingkat seperti komedi hitam Terry Gilliam, di mana yang seram dan yang sehari-hari membentuk sebuah dunia yang ganjil. Tapi agaknya para teroris akan mulai terbentur pada pertanyaan: apakah yang mereka lakukan sebenarnyasebuah pertunjukan teror untuk teror? Sebuah pameran kepiawaian menghilangkan jejak, merancang operasi di tengah kesulitan, dan tak lebih dari itu?

Saya kira tak lebih dari itu. Dan ketika pertunjukan buas yang kehilangan tujuan itu berhadapan dengan sesuatu yang lebih berhargasebuah harapan, sebuah ikhtiar untuk sebuah negeri yang aman dan demokratiskita tahu siapa yang akan menang. Kita. Indonesia.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Saran Dokter untuk Jaga Kesehatan Kulit saat Cuaca Panas

3 menit lalu

Saran Dokter untuk Jaga Kesehatan Kulit saat Cuaca Panas

Berikut saran spesialis kulit untuk menjaga kesehatan kulit di tengah cuaca panas seperti belakangan ini.

Baca Selengkapnya

Gerindra Jajaki Koalisi dengan Parpol Lain di Pilkada Jawa Tengah, Ini Alasannya

14 menit lalu

Gerindra Jajaki Koalisi dengan Parpol Lain di Pilkada Jawa Tengah, Ini Alasannya

Gerindra sebelumnya sudah berkomunikasi dengan Demokrat untuk Pilkada Jawa Tengah.

Baca Selengkapnya

Jadwal dan Tahapan Sidang Sengketa Pileg 2024 Hingga Juni Nanti

17 menit lalu

Jadwal dan Tahapan Sidang Sengketa Pileg 2024 Hingga Juni Nanti

MK akan memutus Perkara PHPU atau sengketa Pileg: anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam tenggang waktu paling lama 30 hari kerja sejak permohonan dicatat.

Baca Selengkapnya

Lima Protes Mahasiswa yang Mengubah Sejarah

21 menit lalu

Lima Protes Mahasiswa yang Mengubah Sejarah

Gelombang protes mahasiswa pro-Palestina sedang terjadi di seluruh bagian dunia, sebuah gerakan yang diharapkan dapat menghentikan genosida di Gaza.

Baca Selengkapnya

Sidang Syahrul Yasin Limpo, Eks Anak Buah Dicecar Soal Uang Tip ke Paspampres

28 menit lalu

Sidang Syahrul Yasin Limpo, Eks Anak Buah Dicecar Soal Uang Tip ke Paspampres

JPU KPK mendakwa Syahrul Yasin Limpo dan komplotannya menerima uang dari pungutan di Kementan mencapai Rp 44,5 miliar.

Baca Selengkapnya

Ganjar Resmi Bubarkan TPN: Saya Bangga dengan Perjuangan untuk Demokrasi Ini

29 menit lalu

Ganjar Resmi Bubarkan TPN: Saya Bangga dengan Perjuangan untuk Demokrasi Ini

Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud Md untuk Pilpres 2024 resmi bubar. Akhir dari tim kampanye mantan pasangan calon nomor urut tiga itu diumumkan oleh Ganjar dalam acara halalbihalal TPN di Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin, 6 Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Arti Warna Lidah dan Masalah Kesehatan di Baliknya

33 menit lalu

Arti Warna Lidah dan Masalah Kesehatan di Baliknya

Tak hanya karena sisa warna makanan yang baru disantap, perubahan warna lidah juga bisa terkait penyakit, jadi waspadalah.

Baca Selengkapnya

Cerita Orang Tua Temani Anak Ikut UTBK SNBT di UPN Jakarta: Abadikan Momen dengan Foto

48 menit lalu

Cerita Orang Tua Temani Anak Ikut UTBK SNBT di UPN Jakarta: Abadikan Momen dengan Foto

Tak sedikit keluarga yang menemani peserta UTBK SNBT 2024 di UPN Jakarta.

Baca Selengkapnya

Surat Tilang Dikirim Via WhatsApp secara Nasional, Ini Kata Korlantas Polri

56 menit lalu

Surat Tilang Dikirim Via WhatsApp secara Nasional, Ini Kata Korlantas Polri

Setelah uji coba pengiriman notifikasi tilang via WhatsApp lolos asesmen Polda Metro Jaya, sistem ini akan diterapkan secara nasional.

Baca Selengkapnya

Profil Byun Baekhyun EXO, Anggota EXO dan Pemimpin Super M yang Menapaki 32 Tahun

1 jam lalu

Profil Byun Baekhyun EXO, Anggota EXO dan Pemimpin Super M yang Menapaki 32 Tahun

Byun Baekhyun EXO lahir pada 6 Mei 1992 di Bucheon, Korea Selatan. Ia populer sebagai vokalis utama grup EXO. Kini ia sedang memimpin SuperM.

Baca Selengkapnya