Siapa Berani Memimpin KPK?

Penulis

Rabu, 24 Juni 2015 02:14 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Wiwin Suwandi, Koordinator Riset Anti Corruption Committee/ACC Sulawesi

Bagi siapa saja yang berpikir normal, menjadi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pekerjaan dengan risiko tinggi. Mengapa? Satu di antara banyak alasan, karena jabatan pimpinan KPK ibarat "bertaruh dengan maut", dan risikonya adalah nyawa.

Ya, perlu menjadi "gila" untuk memimpin KPK. Bisa saja hal itu sifatnya subyektif, tapi bukan sekadar asumsi. KPK menjadi "mata-mata" yang bertugas mengawasi kinerja penegak hukum dan penyelenggara negara agar tidak menyimpang dari undang-undang dengan melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang berpotensi korupsi. Ancaman terhadap KPK datang setiap saat. Tidak jarang, KPK mendapat perlawanan balik dari oknum koruptor dan antek-anteknya yang merasa terusik dengan kerja KPK (corruptor fight back).

Ketika KPK mulai masuk ke episentrum kekuasaan, baik dalam eksekutif maupun legislatif, serangan berlapis ditujukan kepada KPK, dari menghilangkan penyadapan dalam revisi UU KPK, revisi RUU KUHAP-KUHP yang ingin menghilangkan korupsi sebagai delik khusus, hingga kriminalisasi terhadap pimpinan, penyidik, dan pegawai KPK. Namun, tidak seperti pendahulunya, KPK membuktikan diri mampu bertahan di tengah gencarnya upaya pelemahan, hingga ancaman pembubaran. Ditopang masyarakat sipil, KPK melawan segala upaya pelemahan melalui rangkaian skenario berlapis.

Bambang Widjojanto dalam kesempatan diskusi di Makassar mengungkapkan ada tujuh tantangan KPK ke depan. Pertama, "corruptor fights back". Muncul perlawanan dari gangs of corruptor, beneficiaries, gate keeper, dan mereka yang memiliki dana tak terbatas, ditopang oleh jaringan politik yang kuat serta punya akses luas dalam kekuasaan dan media.

Kedua, dasar eksistensi KPK terancam mengalami delegitimasi. Sudah lima belas kali kewenangan KPK diuji materi (UU KPK) di Mahkamah Konstitusi. Ketiga, adanya revisi UU Tipikor, UU KPK, dan KUHAP-KUHP yang tidak sepenuhnya untuk kepentingan pemberantasan korupsi. Keempat, destruksi konsolidasi SDM di KPK, dengan ditariknya penyidik KPK, dan si penyidik harus berasal dari lembaga penegakan hukum tertentu.

Kelima, politisasi kinerja KPK. Kasus yang ditangani dipolitisasi seolah hanya untuk kepentingan kelompok tertentu serta dinafikannya kerja KPK dalam membangun sistem dan budaya antikorupsi. Keenam, modus operandi korupsi semakin canggih, memakai seluruh sumber daya dan akses. Ketujuh, menghancurkan kredibilitas KPK personal character assassination melalui cyber army dan jaringan media.

Secara normatif, tidak sulit bagi panitia seleksi KPK untuk menemukan pimpinan KPK sesuai dengan kriteria undang-undang. Pasal 29 UU KPK menyebutkan sepuluh kriteria calon pemimpin KPK, antara lain ketakwaan, tidak pernah melakukan perbuatan tercela; cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; serta tidak menjadi pengurus salah satu partai politik.

Meski di atas kertas kriteria tersebut dianggap cukup, kenyataannya belum tentu teruji di lapangan. Selain kriteria di atas, seorang pemimpin KPK mesti memiliki keberanian dalam mengusut korupsi tanpa pandang bulu. Karena, tanpa keberanian, KPK hanya ibarat singa tanpa taring, mengaum tapi tak bisa menggigit.

Dibanding pendahulunya, KPK mampu menghapus mitos penegakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Beberapa penegak hukum dan petinggi negara dijebloskan ke tahanan karena korupsi. Dalam kasus korupsi kepolisian, KPK berani menetapkan seorang jenderal polisi aktif sebagai tersangka, bahkan ia dijerat pasal TPPU.

Dalam kasus Hambalang, KPK kembali menetapkan menteri aktif sebagai tersangka korupsi. Itu belum dihitung dengan jumlah anggota DPR, kepala daerah, pengusaha, dan penyelenggara negara lain yang sudah merasakan dinginnya lantai penjara. Ketika mengusut kaus korupsi Hambalang, Century, dan BLBI, KPK bahkan mampu masuk ke poros kekuasaan dengan mengusut keterlibatan kader partai penguasa.

KPK adalah "anak kandung" reformasi yang diserahi tanggung jawab amat besar: memberantas korupsi yang sudah beranak-pinak selama lebih dari enam dekade. KPK bukan satu-satunya lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk. Sejumlah sumber mencatat setidaknya ada tujuh lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk sebelum KPK.

KPK dihadapkan pada tantangan kejahatan korupsi yang lebih canggih dan masif pasca-Orde Baru (Orba). Kalau pada masa Orba praktek korupsi terjadi karena semata-mata ditopang rezim, korupsi pasca-Orba lebih sistematis. Mereka menyusup ke dalam birokrasi, mempengaruhi regulasi, membangun oligarki dan dinasti, parpol di parlemen ramai-ramai membajak uang negara dengan modus dana aspirasi, serta membajak institusi penegak hukum.

Jadi, melihat beratnya tugas KPK, seorang pemimpin KPK mesti menjadi "manusia setengah dewa" yang berani memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Dan harapan itu melekat di pundak sembilan Srikandi pansel pimpinan KPK saat ini. Akan menjadi apa KPK ke depan, ini bergantung pada ketelitian dan kecakapan mereka dalam memilih figur. *


Berita terkait

64 Orang Lolos Seleksi Pejabat KPK

18 Maret 2022

64 Orang Lolos Seleksi Pejabat KPK

Adrianus mengatakan kandidat pejabat KPK itu akan mengikuti seleksi lanjutan, yaitu asesmen kompetensi manajerial dan sosial kultural.

Baca Selengkapnya

Peserta Seleksi Jubir KPK Tak Ada yang Lolos

29 Januari 2021

Peserta Seleksi Jubir KPK Tak Ada yang Lolos

Saat ini, jubir KPK masih sebatas pelaksana tugas, baik bidang pencegahan maupun penindakan.

Baca Selengkapnya

Pansel KPK Menjelaskan Soal Etika Irjen Firli Bahuri

12 September 2019

Pansel KPK Menjelaskan Soal Etika Irjen Firli Bahuri

Irjen Firli, menurut Pansel Capim KPK Indriyanto Seno Adji, memiliki tingkat konsistensi terbaik.

Baca Selengkapnya

Cerita Massa Pendukung Revisi UU KPK Bingung Isi Protes di DPR

11 September 2019

Cerita Massa Pendukung Revisi UU KPK Bingung Isi Protes di DPR

Sunirah, 40 tahun, berdandan dari pukul 10.00 WIB pada Selasa pagi, sebelum ikut demo mendukung revisi UU KPK.

Baca Selengkapnya

Anggota DPR Masinton: KPK Tak Perlu Lagi Tangani Kasus Ecek-ecek

2 September 2019

Anggota DPR Masinton: KPK Tak Perlu Lagi Tangani Kasus Ecek-ecek

Setelah 10 nama capim KPK diumumkan, Komisi III DPR akan meminta masukan masyarakat terkait rekam jejak 10 nama tersebut.

Baca Selengkapnya

Alexander Marwata Merasa Belum Berhasil Pimpin KPK, Kenapa?

27 Agustus 2019

Alexander Marwata Merasa Belum Berhasil Pimpin KPK, Kenapa?

KPK, kata dia, harusnya menjadi trigger mechanism penegak hukum lain seperti polisi dan jaksa agar tidak korupsi.

Baca Selengkapnya

Koalisi Antikorupsi Curigai Pansel KPK Bentukan Jokowi

18 Mei 2019

Koalisi Antikorupsi Curigai Pansel KPK Bentukan Jokowi

Koalisi Antikorupsi mencurigai pansel KPK bentukan Jokowi sebagai kompromi elit

Baca Selengkapnya

Kata Pukat UGM Soal Nama-nama Panitia Seleksi KPK

18 Mei 2019

Kata Pukat UGM Soal Nama-nama Panitia Seleksi KPK

Dari komposisi panitia seleksi KPK itu tak terlihat apa yang dikehendaki Presiden Jokowi untuk menjawab kebutuhan KPK empat tahun ke depan.

Baca Selengkapnya

Fahri Desak Febri Diansyah Diganti, ICW: Itu Penilaian Pribadi  

15 Agustus 2017

Fahri Desak Febri Diansyah Diganti, ICW: Itu Penilaian Pribadi  

Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan usul Fahri Hamzah soal penggantian juru bicara KPK, Febri Diansyah, sebagai penilaian pribadi.

Baca Selengkapnya

Penyebab Fahri Hamzah Sarankan Juru Bicara KPK Segera Diganti  

14 Agustus 2017

Penyebab Fahri Hamzah Sarankan Juru Bicara KPK Segera Diganti  

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah menyarankan juru bicara KPK segera diganti karena lebih cocok dijabat penyidik.

Baca Selengkapnya