Polemik penggunaan jasa perusahaan lobi dalam kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat perlu diusut tuntas. Pemerintah mesti menjelaskan secara gamblang siapa pengguna jasa itu. Terlebih, nama Presiden tertera dalam dokumen resmi.
Pemerintah, melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, membantah informasi pemakaian jasa perusahaan lobi tersebut. Tapi itu belum cukup. Semestinya pemerintah juga menunjukkan dokumen asli bahwa kunjungan itu benar difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri, bukan pelobi.
Bukti adanya kontrak jasa konsultan lobi ini dibeberkan Michael Buehler, dosen ilmu politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies, University of London, di situs New Mandala. Buehler merujuk pada dokumen yang dibuka oleh Departemen Kehakiman Amerika bertanggal 8 Juni 2015.
Dalam dokumen itu tertulis kerja sama antara perusahaan konsultan di Singapura, Pereira International Pte. Ltd., dan konsultan asal Amerika Serikat, R&R Partners Inc. Dalam perjanjian itu, Pereira membayar US$ 80 ribu kepada R&R Partners untuk menyiapkan sejumlah hal berkaitan dengan kunjungan Presiden Joko Widodo dan mengkomunikasikan arti penting Indonesia bagi Amerika.
Berkas perjanjian memang tidak ditandatangani pejabat pemerintah ataupun pengusaha Indonesia. Tak ada pula kaitannya dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan, yang terlibat dalam proses penyiapan kunjungan Presiden ke Amerika itu.
Toh, pemerintah bisa melacak siapa pemesan jasa perusahaan konsultan itu dengan meminta keterangan dari si pemilik perusahaan, Darwin Pereira. Bekas Kepala Biro The Straits Times di Jakarta pada 1998 itu dikenal dekat dengan beberapa pejabat di Indonesia, termasuk militer.
Kasus ini menjadi penting lantaran akan sangat berbahaya bila ada pihak-pihak tertentu yang mencoba memanfaatkan nama Presiden Republik Indonesia untuk kepentingan pribadi. Apalagi pencantuman nama presiden itu tanpa sepengetahuan Istana.
Bila pemerintah membiarkan nama Jokowi dicatut, ini bisa menjadi preseden buruk. Siapa pun ke depannya akan bisa dengan seenaknya memanfaatkan ketidaktegasan pemerintah. Apalagi kontrak jasa pelobi itu tak jelas peruntukannya. Keterbukaan pemerintah sangat diperlukan dalam kasus ini.
Praktek pemakaian jasa konsultan politik sebenarnya hal lazim dan sah di Amerika. Beberapa negara di Asia, seperti Singapura, Cina, dan Filipina, kecuali Indonesia dan Myanmar, memiliki pelobi resmi di Amerika untuk memperjuangkan kepentingan mereka, baik politik, ekonomi, maupun bisnis.
Masalahnya, dalam kasus kunjungan kerja presiden ini, ada pencatutan nama Jokowi. Jangan sampai ada pamrih yang dijanjikan kepada Pereira International atas nama negara. Pemerintah mesti bersikap tegas dan transparan. Jika perlu, pelakunya dituntut secara hukum.