Pemerintah harus berhati-hati dalam menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Peraturan ini sudah bermasalah sejak perumusannya. Selain tarik-menarik soal lembaga penjamin halal, klausul yang ramai diperdebatkan adalah soal sertifikasi halal bagi produk obat-obatan. Dengan segala pro dan kontranya, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan aturan ini pada akhir tahun lalu.
Seperti ditulis koran ini pada Selasa, 17 November lalu, pemerintah sekarang tengah merumuskan peraturan turunan untuk penerapan sertifikasi halal di sektor farmasi. Sejak April lalu, setiap pekan, Kementerian Agama menggelar rapat bersama Kementerian Kesehatan, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, dan Asosiasi Perusahaan Farmasi Internasional. Meski sertifikasi halal baru diwajibkan pada 2019, pemerintah berencana menerbitkan aturan teknis pada akhir tahun ini.
Perumusan aturan teknis ini membutuhkan pertimbangan matang. Jika semua produk obat yang beredar di negeri ini harus memperoleh sertifikat halal, hampir pasti biaya produksi obat akan bertambah. Ujung-ujungnya, harga obat bisa naik. Karena itu, pemerintah harus merumuskan mekanisme yang tepat agar selisih harga ini tak serta-merta memberatkan pasien dan masyarakat pada umumnya. Sampai saat ini baru 0,3 persen perusahaan dan 0,09 persen produk yang mengajukan label halal ke Majelis Ulama Indonesia.
Selain itu, implementasi aturan sertifikasi halal berpotensi mengacaukan distribusi obat-obatan di Indonesia. Pasalnya, hampir semua zat aktif obat yang beredar di Indonesia sejatinya berasal dari luar negeri. Hanya satu persen dari 930 zat aktif obat kita yang berasal dari dalam negeri. Pabrik obat di luar negeri tentu tidak menyertakan sertifikasi halal dalam produknya. Jika semua obat semacam ini dilarang beredar tanpa terkecuali, proses penyembuhan banyak pasien jelas terancam.
Masalah lain yang tampaknya kurang diantisipasi adalah akuntabilitas proses verifikasi halal-haram suatu produk. Undang-Undang Jaminan Produk Halal mewajibkan pengusaha obat memisahkan semua prosesdari penyembelihan, pengolahan, penyimpanan dan pengemasan, hingga distribusiuntuk produk halal dan non-halal. Logika agama mengenai pemisahan zat halal dan haram ini sulit diterjemahkan dalam proses produksi farmasi yang menggunakan teknologi tinggi. Tanpa proses verifikasi yang sahih dan bisa diterima umum, sertifikasi halal justru lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya.
Walhasil, kini bola ada di tangan pemerintah. Sederet pertanyaan dan kekhawatiran seputar implementasi sertifikasi halal untuk obat ini harus direspons dengan aturan pelaksanaan yang berorientasi pada kepentingan publik. Jika tidak, jangan salahkan para pasien jika mereka bersatu mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk mencabut pasal-pasal UU Jaminan Produk Halal yang merugikan kepentingan mereka.