Gus Dur

Penulis

Senin, 11 Januari 2010 00:00 WIB

Ketika Mahatma Gandhi wafat, iayang selama hidupnya antikekerasan dimakamkan dengan upacara militer. Ironis, mungkin juga menyedihkan: bahkan seorang Gandhi tak bisa mengelak dari protokol kebesaran yang tak dikehendakinya.

Seorang tokoh besar yang wafat meninggalkan bekas yang panjang, seperti gajah meninggalkan gading. Kadang-kadang ia hadir sebagai ikon: sebuah tanda yang memberikan makna yang menggugah hati karena melebihi kehendak kita sendiri. Kadang-kadang sebagai simbol: sebuah tanda yang maknanya kita tentukan, tak perlu menggugah hati lagi, namun berguna untuk tujuan kita yang jelas.

Sebuah ikon adalah sebuah puisi. Sebuah simbol: alat. Keduanya saling menyilang tak henti-hentinya.

"Pahlawan mati hanya satu kali," kata orang hukuman dalam lakon Hanya Satu Kali, yang disebutkan sebagai terjemahan sebuah karya John Galsworthy tapi yang tak pernah saya ketahui yang mana.

Gus Dur bisa disebut seorang pahlawan: ia tak akan meninggalkan kita lagi, begitu jenazahnya dikuburkan. Terutama ketika yang hidup tak akan meninggalkan apa yang baik yang dilakukannya.

Advertising
Advertising

Tapi dalam arti lain pahlawan mati hanya satu kali karena ia tak lagi bagian dari kefanaan. Tak lagi bagian dari kedaifan. Tak lagi bagian dari pergulatan untuk menjadi baik atau bebas yang membuat sejarah manusia berarti.

Hanya dalam pergulatan itu, Gus Dur tampak sebagai yang tak sempurna, tapi melakukan tindakan yang sesederhana dan semenakjubkan manusia: dari situasinya yang terbatas ia menjangkau mereka yang bukan kaumnya, melintasi gerbang dan pagar, jadi tak berhingga, untuk menjabat mereka yang di luar itu. Terutama mereka yang disingkirkan, dicurigai, atau bahkan dianiaya: bekas-bekas PKI, minoritas Tionghoa, umat Ahmadiyah. Kita tahu ia melakukan itu dengan nekat tapi prinsipiilkeberanian yang hampir tak terdapat pada orang lain.

"Saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman," kata Gus Dur suatu kali.

Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng: sebuah konstruksi di sebuah wilayah. Benteng kukuh dan tertutup, bahkan dilengkapi senjata, untuk menangkis apa saja yang lain yang diwaspadai. Bangunan itu berdiri karena sebuah asumsi, juga kecemasan: akan ada musuh yang menyerbu atau pecundang yang menyusup.

Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng, melainkan sebuah obor. Sang mukmin membawanya dalam perjalanan menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai suluh adalah iman seorang yang tak takut menemui yang berbeda dan tak terduga. Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang, tapi ia tak pernah padam. Bila padam, ia menandai perjalanan yang telah berhenti.

Saya membayangkan Gus Dur tak pernah berhenti.

Ada sebuah nyanyian Fairouz yang digemari Gus Dur, dikutipkan oleh Mohammad Guntur-Romly, bersama liriknya. Petilannya, saya coba terjemahkan:

Pernahkah kau terima hutan seperti aku terima hutan, sebagai rumah tinggal, bukan istana

Pernahkah kau buat rumput jadi ranjang dan berselimutkan luasnya ruang,

merasa daif di hadapan yang kelak, dan lupa akan waktu silam yang hilang

Sering saya berpikir kenapa Gus Dur dengan tanpa ragu tak ikut mengutuk novel Salman Rushdie, The Satanic Verses.

Saya duga karena ia menemukan dalam novel itu empat unsur yang tak terpisahkan: kenakalan, kecerdasan, provokasi, dan humor.

Gus Dur tak keberatan dengan keempat unsur itu karena ia yakin Tuhan tak sama dengan mereka yang terusik oleh kenakalan dan humor. Saya kira Tuhan bagi Gus Dur bukanlah Tuhan yang terbayang dalam Perjanjian Lama, Tuhan yang menggelisahkan puisi Amir Hamzah: Tuhan yang "ganas" dan "cemburu".

Yang ganas dan cemburu akan menampik kenakalan dan humor. Tuhan yang antihumor itulah yang diyakini Jorge, kepala biara dalam novel Umberto Eco, Il nome della Rosa. Di biara Italia abad ke-14 itu beberapa rahib ditemukan tewas. Kemudian diketahui bahwa mereka telah terkena racun ketika membuka sebuah buku terlarang di dalam perpustakaan; sebuah buku tentang tertawa.

Satu paragraf yang tak terlupakan: "Mungkin misi mereka yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat orang menertawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa, sebab satu-satunya kebenaran terletak dalam belajar membebaskan diri kita dari kegandrungan gila-gilaan kepada kebenaran".

Saya lebih bangga punya seorang Gus Dur yang bukan presiden, ketimbang seorang Gus Dur di atas takhta.

Betapapun keinginannya, ia tak pernah cocok di sana. Sebab ia bagian yang wajar dari sesuatu yang bagi saya sangat berhargaketidakmauan untuk tunduk kepada yang kuasa dan yang beku semacam anarkisme yang jinak dan jenaka.

Seorang intelektual publik terkadang yakin bahwa memasuki kehidupan politik (dan memperoleh kekuasaan) itu perlu. Yang sering dilupakan ialah bahwa "yang perlu" belum tentu "yang niscaya", dan bahwa politik, sebagai panggilan, sebenarnya sebuah panggilan yang muram, sedih.

Dalam kesedihan itu kita seharusnya bertugas.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Menyusul Kritik dari Israel dan AS, Ini Tanggapan Jaksa ICC

47 menit lalu

Menyusul Kritik dari Israel dan AS, Ini Tanggapan Jaksa ICC

Kantor kejaksaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menyerukan diakhirinya apa yang mereka sebut sebagai intimidasi terhadap stafnya.

Baca Selengkapnya

Palestina: Tidak Ada Guna Membahas Gaza di PBB

1 jam lalu

Palestina: Tidak Ada Guna Membahas Gaza di PBB

Dubes Palestina untuk Austria menilai upaya membahas Gaza pada forum PBB tidak akan berdampak pada kebijakan AS dan Eropa yang mendanai genosida.

Baca Selengkapnya

Jepang Juara Piala Asia U-23 2024 Usai Kalahkan Uzbekistan 1-0

2 jam lalu

Jepang Juara Piala Asia U-23 2024 Usai Kalahkan Uzbekistan 1-0

Timnas U-23 Jepang keluar sebagai juara Piala Asia U-23 2024 setelah mengalahkan Uzbekistan pada partai final. Rekor sempurna Uzbekistan runtuh.

Baca Selengkapnya

Hikayat Deep Blue, Super Komputer IBM Pernah Lawan Grandmaster Garry Kasparov: Sebuah Tonggak AI

3 jam lalu

Hikayat Deep Blue, Super Komputer IBM Pernah Lawan Grandmaster Garry Kasparov: Sebuah Tonggak AI

Grandmaster Garry Kasparov menjajal bertanding main catur dengan super komputer IBM, Deep Blue, pada 3 Mei 1997.

Baca Selengkapnya

Borussia Dortmund dan Marco Reus Sepakat Berpisah Akhir Musim Ini

4 jam lalu

Borussia Dortmund dan Marco Reus Sepakat Berpisah Akhir Musim Ini

Borussia Dortmund telah mengumumkan bahwa Marco Reus akan meninggalkan klub akhir musim ini dan berstatus bebas transfer.

Baca Selengkapnya

Wakil Ketua DPRA Sebut Prabowo Bakal Kembalikan Dana Otsus Aceh 2 Persen

4 jam lalu

Wakil Ketua DPRA Sebut Prabowo Bakal Kembalikan Dana Otsus Aceh 2 Persen

Wakil Ketua DPRA Safarudin mengatakan meski suara Prabowo di Pilpres 2024 kalah di Aceh, namun dia berkomitmen kembalikan dana otsus 2 persen.

Baca Selengkapnya

Nasdem, PKS, dan Perindo Jajaki Koalisi pada Pilkada 2024 di Sulsel

4 jam lalu

Nasdem, PKS, dan Perindo Jajaki Koalisi pada Pilkada 2024 di Sulsel

Nasdem Sulsel menyatakan komunikasi politik tetap terbuka dengan partai lain guna menghadapi Pilkada 2024.

Baca Selengkapnya

Mampir ke Jakarta Tzuyu TWICE Bagi Makna Kecantikan hingga Pose di Jalur Evakuasi

4 jam lalu

Mampir ke Jakarta Tzuyu TWICE Bagi Makna Kecantikan hingga Pose di Jalur Evakuasi

Tzuyu membagikan beberapa momen saat di Jakarta

Baca Selengkapnya

Suhu Panas, BMKG: Suhu Udara Bulan Maret 2024 Hampir 1 Derajat di Atas Rata-rata

4 jam lalu

Suhu Panas, BMKG: Suhu Udara Bulan Maret 2024 Hampir 1 Derajat di Atas Rata-rata

Suhu panas yang dirasakan belakangan ini menegaskan tren kenaikan suhu udara yang telah terjadi di Indonesia. Begini data dari BMKG

Baca Selengkapnya

Piala Thomas 2024: Kunci Chou Tien Chen Kalahkan Viktor Axelsen dan Bawa Taiwan ke Semifinal

4 jam lalu

Piala Thomas 2024: Kunci Chou Tien Chen Kalahkan Viktor Axelsen dan Bawa Taiwan ke Semifinal

Taiwan akan menjadi lawan Indonesia pada babak semifinal Piala Thomas 2024. Chou Tien Chen mengalahkan Viktor Axelsen.

Baca Selengkapnya