Percakapan

Penulis

Senin, 8 Maret 2010 00:00 WIB

Dua orang duduk berdekatan. Dalam lakon Menunggu Godot Samuel Beckket ini mereka berbicara:

Gogo: Lalu apa?

Didi: Ah! Kita akan bercakap-cakap! (mereka pun saling mendekat, sampai sekitar 10 kaki). Yah, kurang pelan, mungkin. Begitulah jalannya.

Gogo: Memangnya jalan?

Didi: Ya. Harus.

Advertising
Advertising

Percakapan memang terjadi, dan seperti kata Didi, harus "jalan". Tapi buat apa? Menunggu Godot menjawab dengan kering: kata-kata yang bersahut-sahutan itu bagian dari laku menunggu yang tak berkesudahan.

Mungkin tak seorang pun bertanya: Do we need a point? Apa kita memang perlu ada ide atau pikiran yang ingin dikemukakan, jika kita masuk ke dalam sebuah percakapan?

Menunggu Godot adalah teater yang mengabarkan bahwa "kabar" selamanya akan "kabur". Ini memang sebuah teater, dan di atas pentas diharapkan ada dialog. Tapi justru dalam teater ini dialog dan percakapan sendiri perlu diragukan. Itu sebabnya Gogo skeptis: "Memangnya jalan?".

Syahdan, sejarah mencatat hubungan antar manusia yang putus, perang dan kekerasan tak henti-hentinya terjadi. Orang sadar, percakapan "harus jalan". Tapi juga orang sadar, bahasa adalah himpunan prisma yang berkabut, terkena uap mulut para pembicara (lengkap dengan pelbagai baunya yang aneka ragam), sementara yang terpancar dari sana adalah dispersi makna yang bersinar ke arah mana saja.

Beckett melukiskan ambruknya komunikasi manusia dengan menggelikan tapi juga murung. Kita seakan-akan dibawa untuk menyaksikan sebuah dunia di mana permufakatan tak akan pernah terjadi

Tapi benarkah tak akan terjadi? Belum tentu, Dari lakon Beckett itu kita juga bisa dapat kesan, orang-orang yang "menunggu Godot" itu akhirnya diam-diam sepakat: mereka barus di sana bersama-sama. Ketika dalam kebersamaan itu kata hanya bunyi, tak lebih dan tak kurang, pertengkaran, (sebagaimana persetujuan), tak terjadi. Kita bahkan bisa menyimpulkan: ajaib, dalam suasana negatif itu, ternyata masih ada sesuatu yang bisa diterima orang yang berbeda-beda. Semacam konsensus tercapai, walaupun bahasa tak punya arah.

Mungkin dari sini ada harapan: dalam kebersamaan manusia, kalaupun tak ada sesuatu yang universal, toh masih ada yang dapat ditumbuhkan jadi universal, yang tak ditampik pihak-pihak yang punya mulut dan abab berbeda-beda.

Itulah harapan politik. Yang saya maksudkan dengan "politik" di sini sedikit kuno: ikhtiar untuk merawat pertalian sosial. Tak jarang ikhtiar itu melalui persaingan, konflik, dan adu kekuatan, tapi tak hanya itu. Politik bukan pembasmian. Bila antagonisme saja yang jadi dasarnya, pertalian sosial selamanya akan mencemaskan; tak akan ada sebuah masyarakat yang mampu terus menerus menanggungkan itu. Politik bukan hanya "kami" menghadapi "mereka", tapi juga (atau justru) "kami" yang berusaha terus menerus membentuk "kita".

Tapi selama ini, orang bingung. Apa landasan yang membuat "kita" tak mustahil? Dari mana datangnya "yang universal" yang memungkinkan "kami" dan "mereka" bisa jadi "kita"?

Zaman ini memang menolak mengakui bahwa nilai-nilai yang universal datang dari luar sejarah manusia, dari sesuatu yang transenden, misalnya agama yang diwahyukan Tuhan. Bahkan Habermas, seraya percaya akan kemungkinan konsensus, berbicara tentang perlunya "de-transendentalisasi".

Para pemikir yang menolak yang transenden, dan meneguhkan "imanensi", sejak Marx sampai Delueze, mencoba menjelaskan bahwa nilai-nilai "universal" mengikuti riwayat manusia dengan tubuh dan kehidupan sosialnya: berubah-ubah. Para pemikir "post-modern" malah menunjukkan, yang "universal" hanya kedok bagi asumsi dunia modern yang memegang dominasi.

Tapi bila begitu, harapan politik untuk membentuk "kita" akan selalu kandas, atau hanya berhasil karena kekuatan senjata, orang ramai, dan kekayaan. Politik, seperti yang akhir-akhir ini terasa di Indonesia, akan hidup dengan defisit ethis. Tak adakah kemungkinan lain?

Barangkali. Sebab tanpa bersandar pada apa yang transenden, kita toh bisa lihat, (mengikuti Karl-Otto Apel), ada yang "transendental" dalam hidup kita - sesuatu yang tumbuh dari satu tempat dan satu masa, tapi juga mengatasi tempat dan masa itu. Yang "tak adil" memang bisa berbeda-beda dinyatakan dan dirasakan, tapi kehendak melawan kekejaman tumbuh di mana-mana.

Apel berbicara tentang "ethika wacana", Diskursethik : ia tak menganggap penilaain moral semata-mata subyektif, dan segala hal jadi nisbi. Tapi ia tak bertolak dari dasar yang dirumuskan Descartes, "aku berpikir" - yang akhirnya hanya berkutat dengan "aku". Apel mengajukan alternatif: "aku berargumen". Dengan kata lain, "aku" menggunakan bahasa, walaupun pata-patah, dan ada subyek lain yang diajaknya bicara.

Dalam proses itu mau tak mau ada asumsi bahwa yang diajak bicara akan menerima sesuatu yang bisa ditumbuhkan jadi nilai bersama: sebuah prinsip "universalisasi". Percakapan, betapapun sulitnya, bukan untuk saling membunuh. Kita tak tahu bagaimana bentuk dan akhir percakapan itu -- kita tak tahu bagaimana sang Godot -- tapi kita tetap melakukannya. Sebuah pragmatisme sehari-hari.

Do we need a point?

Kita memang perlu sesuatu yang jangan-jangan tak ada - tujuan yang tunggal, tafsir kata-kata yang bersepakat -- tapi kita tetap saja saling bicara. Dalam suasana muram Menunggu Godot, kita tak melihat sebuah politik yang dengan sinis ingin menyingkirkan, atau membeli, orang lain.Goenawan Mohamad

Berita terkait

Vladimir Putin Kembali Dilantik sebagai Presiden Rusia untuk Periode Kelima

7 menit lalu

Vladimir Putin Kembali Dilantik sebagai Presiden Rusia untuk Periode Kelima

Vladimir Putin kembali menjabat sebagai presiden Rusia untuk periode kelima selama enam tahun ke depan. Bakal mengalahkan rekor Stalin.

Baca Selengkapnya

Studi: Marah 8 Menit Saja Bisa Tingkatkan Peluang Serangan Jantung

10 menit lalu

Studi: Marah 8 Menit Saja Bisa Tingkatkan Peluang Serangan Jantung

Efek akut marah-marah pada kerja pembunuh darah, yang mungkin menambah peluang serangan jantung dan stroke.

Baca Selengkapnya

Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Setelah 2 Kali Mangkir, Penyidik KPK Sempat Cek ke Rumah Sakit

43 menit lalu

Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Setelah 2 Kali Mangkir, Penyidik KPK Sempat Cek ke Rumah Sakit

KPK akhirnya menahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor setelah dua kali mangkir dari pemeriksaan. Tidak dilakukan jemput paksa.

Baca Selengkapnya

Lee Do Hyun Sebut Nama Lim Ji Yeon di Pidato Baeksang, Netizen Heboh

1 jam lalu

Lee Do Hyun Sebut Nama Lim Ji Yeon di Pidato Baeksang, Netizen Heboh

Pidato pendek yang dibacakan Lee Do Hyun langsung mendapat respons dari banyak pihak yang dinilai menunjukkan bucin ugal-ugalan ke Lim Ji Yeon.

Baca Selengkapnya

Pemkot Surabaya Rayakan HJKS ke-731

1 jam lalu

Pemkot Surabaya Rayakan HJKS ke-731

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menggelar Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) ke-731 pada 31 Mei 2024, dengan tema 'Satukan Tekad Surabaya Hebat'.

Baca Selengkapnya

61 Kepala Daerah Jadi Tersangka Korupsi pada 2021-2023, ICW: Lingkaran Setan Sejak Awal

1 jam lalu

61 Kepala Daerah Jadi Tersangka Korupsi pada 2021-2023, ICW: Lingkaran Setan Sejak Awal

Peneliti ICW mengatakan mayoritas modus korupsi itu berkaitan dengan suap-menyuap dan penyalahgunaan anggaran belanja daerah.

Baca Selengkapnya

Film KHD tentang Ki Hadjar Dewantara Baru Tayang 2026 Mendatang, Ini Alasan Gina S. Noer

1 jam lalu

Film KHD tentang Ki Hadjar Dewantara Baru Tayang 2026 Mendatang, Ini Alasan Gina S. Noer

Gina juga mengatakan, film biopik yang ia garap memang cenderung lama, termasuk film KHD ini.

Baca Selengkapnya

Pembunuhan Pengusaha Kerajinan Tembaga di Boyolali, Korban dan Pelaku Terlibat Hubungan Sesama Jenis

1 jam lalu

Pembunuhan Pengusaha Kerajinan Tembaga di Boyolali, Korban dan Pelaku Terlibat Hubungan Sesama Jenis

Irwan, tersangka pembunuhan pengusaha kerajinan tembaga di Boyolali terlibat hubungan sesama jenis. Irwan murka karena tak dituruti minta Rp 500 ribu.

Baca Selengkapnya

Saldi Isra Minta KPU Tandai Kantor Hukum yang Sering Ajukan Renvoi Alat Bukti

1 jam lalu

Saldi Isra Minta KPU Tandai Kantor Hukum yang Sering Ajukan Renvoi Alat Bukti

Saldi meminta kepada komisioner KPU, Mochammad Afifuddin, untuk menandai kantor masing-masing kuasa hukum karena seringnya mengajukan renvoi.

Baca Selengkapnya

Ciri Pasangan Suka Mengontrol, Bikin Anda Tak Berdaya dan Kehilangan Harga Diri

1 jam lalu

Ciri Pasangan Suka Mengontrol, Bikin Anda Tak Berdaya dan Kehilangan Harga Diri

Pasangan gemar mengontrol. Anda dibuat tak berdaya dan hanya bisa menuruti kemauannya karena takut berpisah, ditinggalkan atau diusir dari rumah.

Baca Selengkapnya