Diri

Penulis

Senin, 19 April 2010 00:00 WIB

Di hari ketika Aimee Dawis meluncurkan buku Orang Indonesia Tionghoa-Mencari Identitas pekan lalu di Jakarta, saya berada di Singapura.

Tuan rumah saya, seorang pebisnis, berbicara tak henti-henti. Saya diam dengan sopan. Akhirnya pada menit ke-40 ia minta pendapat saya. Dengan catatan: "Anda ini orang Jawa, tentu Anda akan mengatakannya tak terus terang."

Saya ketawa masam. Jawab saya: "Saya tak tahu apa kah saya orang Jawa, atau bukan orang Jawa."

Dia bingung. Tapi saya mengerti kenapa dia bingung. Berada di Singapura (atau Malaysia) saya sering sekali menemui percakapan macam itu: orang akan secara tersirat atau tersurat menyebut seseorang dan mengaitkannya dengan "bangsa Cina" atau "bangsa Melayu" atau "bang sa" apa saja dengan suatu sifat yang mereka anggap khas pada "bangsa" itu.

Berada di dua negeri ini, di mana ethnisitas menguasai kebijakan politik dan kehidupan sehari-hari, tendensi itu tampak sudah jadi bagian bahasa yang otomatis. Tak mengherankan bila di sana saya selalu dipandang dan diletakkan dalam satu kotak identitas. Khususnya yang terkait de ngan "perkauman". Kalau saya bergerak dari kotak itu, orang hilang akal. Seperti halnya tuan rumah saya malam itu.

Di Indonesia agak lain soalnya. Bagi saya, yang mengganggu di sini adalah bagaimana identitas diterjemahkan dengan istilah yang seakan-akan keramat, yakni "jati diri". Saya selalu berkeberatan tentang ini, karena tak ada yang keramat di dalamnya. Bahkan ketika orang mengatakan telah menemukan "jati diri", orang sebenarnya tak tahu bahwa "diri" yang "(se)-jati" mustahil didapat.

"Diri" atau "aku" lahir selamanya tak pas, bahkan terbelah. Pendekar psikoanalisis Prancis, Lacan, menemukan bahwa kesadaran akan "aku" dimulai ketika seorang bocah berada dalam "tahap cermin". Si bocah melihat bayangannya di cermin, dan ia diberi tahu bahwa itulah dirinya: utuh, rata, stabil. Padahal, pada ketika itu juga, dan untuk seterusnya, ada yang tak tampak pada cermin: bawah-sadarnya, gejolak biologisnya, kedalaman impian dan traumanya.

Cermin mengeliminasi itu semua. Sebuah kesatuan atau Gestalt pun muncul. Itulah yang, kata Lacan, "melambangkan posisi permanen dari 'aku'". Ketika kemudian si bocah diberi nama oleh si ayah bapak yang menguasai bahasa identitas pun dikukuhkan.

Tapi dengan itu identitas sebenarnya tak pernah datang sendiri. Ia dirumuskan oleh nama dan bahasa sebuah bangunan simbol yang disusun masyarakat. Identitas tam pak sebagai perbedaan, dan perbedaan tampak karena perbandingan. Perbandingan selamanya mirip mata rantai yang tak putus-putusnya antara X dan lain-lain di dunia.

Di sini, saya selalu ingat James Baldwin. Pengarang da ri New York ini ia hitam, gay, dan melarat mening galkan Amerika dan hidup selama 10 tahun di Eropa. Kemudian tulisnya: "Aku bertemu dengan banyak sekali orang selama di Eropa. Aku bahkan berjumpa dengan diriku sendiri."

Kesadaran akan diri sendiri itu sekaligus kesadaran akan orang lain. Bahkan sifatnya mengandung antagonisme. "Identitas ditanya hanya ketika ia terancam," kata Baldwin, " atau ketika si orang asing datang memasuki gerbang."

Dalam Mein Kampf, ada satu cerita Hitler. Ketika ia masih muda, pada suatu malam ia berjalan di pusat kota Wina. Di sana ia bertemu dengan sesosok bayangan berkaftan hitam dan berambut hitam dikepang. "Yahudikah ini?" Hitler bertanya pada diri sendiri. Setelah ia amati lebih jauh, ia bertanya kembali dalam hati: "Orang Jermankah ini?"

Hitler tak bertanya apakah si bayangan itu seorang seniman atau seorang profesor. Ia mempersoalkan identitas ethnisnya karena baginya itulah yang terpenting. Tapi dengan itu ia menganggap identitas adalah sesuatu yang dibawa dari lahir karena antagonisme yang diyakininya adalah sesuatu yang permanen.

Baldwin, yang terlunta-lunta, orang yang dipojokkan dalam kerangkeng identitas (hi tam, gay, asing), menampik itu. Baginya iden titas lebih mirip "garmen yang menutupi ketelanjangan diri". Baginya, lebih baik gar men itu dikenakan dengan agak longgar, seperti pakaian di padang pasir: akan tampak, atau akan dapat diperkirakan, diri yang telanjang yang terbungkus di sana. Bahkan bagi Baldwin, orang harus punya "kekuatan untuk mengganti jubahnya".

"Anda orang Jawa," kata tuan rumah saya, dan saya tersenyum masam. Saya seperti Baldwin: bagi saya, yang penting bukanlah identitas, yang menyetrap saya dalam sebuah kotak dan seperangkat baju resmi. Bagi saya, yang penting adalah manusia sebagai agency, pelaku.

Politik identitas sejak 1970-an punya peran dalam pembebasan orang hitam dan perempuan dan mungkin minoritas lain yang tak diakui. Tapi politik identitas selamanya mengacaukan kenyataan bahwa identitas itu se sekali perlu (ketika ia "terancam") tapi tak pernah benar-benar hadir.

Ia konstruksi atas multiplisitas yang inkonsisten, yang serabutan. Untuk meminjam kata-kata Alain Badiou da lam konteks lain, identitas adalah hasil "compter-pou run", "menghitung buat jadi satu". Dengan kata lain, dengan meneguhkan identitas, aku meletakkan diri sebagai pemersatu dari segala yang carut-marut dan tak terduga dalam diriku.

Maka aku pun jadi Sang Tunggal: di luarku, terkadang terasa mengancam, bergelombang perbedaan-perbedaan yang membentuk hidup nun di sana dan hidup dalam hidupku. Dan identitas itu adalah bagian dari paranoiaku.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Pedagang Siomay Curi 675 Celana Dalam Wanita Demi Kepuasan Seksual

8 menit lalu

Pedagang Siomay Curi 675 Celana Dalam Wanita Demi Kepuasan Seksual

Polisi menangkap seorang pemuda berinisial J, 31 tahun, karena diduga mencuri ratusan celana dalam wanita dari berbagai indekos

Baca Selengkapnya

Prabowo Ingin Bentuk Presidential Club, Demokrat: Gagasan Politik Tingkat Tinggi

8 menit lalu

Prabowo Ingin Bentuk Presidential Club, Demokrat: Gagasan Politik Tingkat Tinggi

Politikus Demokrat anggap gagasan Prabowo Subianto yang ingin membentuk Presidential Club sebagai politik tingkat tinggi.

Baca Selengkapnya

Pembangunan Jalan Tol Semarang - Demak Dikebut, Ada 2 Alasan

11 menit lalu

Pembangunan Jalan Tol Semarang - Demak Dikebut, Ada 2 Alasan

Juru Bicara Kementerian PUPR Endra S Atmawidjaja mengatakan Jalan Tol Semarang-Demak merupakan proyek strategis nasional (PSN) .

Baca Selengkapnya

Ragam Cerita Orang Tua Temani Anak Ikut UTBK di UNJ

12 menit lalu

Ragam Cerita Orang Tua Temani Anak Ikut UTBK di UNJ

Tak sedikit peserta UTBK di UNJ yang ditemani oleh orang tuanya.

Baca Selengkapnya

Pemerintah Merasa Toleransi dan Kebebasan Beragama di Indonesia Berjalan Baik

14 menit lalu

Pemerintah Merasa Toleransi dan Kebebasan Beragama di Indonesia Berjalan Baik

Kemenkumham mengklaim Indonesia telah menerapkan toleransi dan kebebasan beragama dengan baik.

Baca Selengkapnya

Soal Internet di Cina, Kampanye Larangan Tautan Ilegal hingga Mengenai Pendapatan Periklanan

22 menit lalu

Soal Internet di Cina, Kampanye Larangan Tautan Ilegal hingga Mengenai Pendapatan Periklanan

Komisi Urusan Intenet Pusat Cina telah memulai kampanye nasional selama dua bulan untuk melarang tautan ilegal dari sumber eksternal di berbagai media

Baca Selengkapnya

Update Harga Tiket dan Jadwal Kapal Feri Batam - Singapura Mei 2024

34 menit lalu

Update Harga Tiket dan Jadwal Kapal Feri Batam - Singapura Mei 2024

Perjalanan dari Batam ke Singapura dengan kapal feri hanya butuh waktu sekitar 1 jam. Simak harga tiketnya.

Baca Selengkapnya

Akui Dapat Tawaran Menteri, Khofifah Pilih Maju Jadi Gubernur Jatim lagi

34 menit lalu

Akui Dapat Tawaran Menteri, Khofifah Pilih Maju Jadi Gubernur Jatim lagi

Khofifah menyatakan bakal kembali maju menjadi calon Gubernur Jawa Timur di Pilkada 2024.

Baca Selengkapnya

Ulas Putusan MK Soal Sengketa Pilpres, Pakar Khawatir Hukum Ketinggalan dari Perkembangan Masyarakat

38 menit lalu

Ulas Putusan MK Soal Sengketa Pilpres, Pakar Khawatir Hukum Ketinggalan dari Perkembangan Masyarakat

Ni'matul Huda, menilai pernyataan hakim MK Arsul Sani soal dalil politisasi bansos tak dapat dibuktikan tak bisa diterima.

Baca Selengkapnya

TKN Pastikan Kabinet Prabowo-Gibran Berkomposisi Proporsional

47 menit lalu

TKN Pastikan Kabinet Prabowo-Gibran Berkomposisi Proporsional

Kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran akan dikomposisikan secara proporsional.

Baca Selengkapnya