ADA perubahan di Padepokan Romo Imam, entah sejak kapan. Di beranda depan ada tulisan: I love you 90 persen full, Jeng Sri. Kata yang aneh, istilah yang usang, juga tak lucu. "Aneh kek, lucu kek, terserah. Apa tak boleh Romo mencintai Jeng Sri? Dia orang baik yang harus dikasihi, tapi bukan dikasihani," itu jawaban Romo Imam.
Kenapa tak 100 persen full? "Yang 10 persen dipotong pajak. Jeng Sri telah mereformasi kantor pajak, meskipun belum tuntas, malah tikusnya yang mencuat," jawab Romo.
Saya mulai menebak: "Jeng Sri itu Sri Mulyani?" Romo tertawa mengiyakan. Saya kaget: "Romo, jangan bicara Sri Mulyani. Mata dan telinga saya sudah capek. Kalau mau menggosipkan orang, yang lain saja."
"Itu karena Jeng Sri mendapat tempat terhormat di Bank Dunia. Orang lain kan menunggu panggilan bank akhirat." Romo tertawa, kemudian: "Coba sebutkan siapa yang cocok menggantikan Jeng Sri."
Saya menolak, tapi Romo memaksa. Akhirnya saya sebutkan: "Fuad Bawazier, Aburizal Bakrie, Kwik Kian Gie, Bambang Soesatyo, Ruhut Sitompul, Akbar Faisal, Ali Mochtar Ngabalin...." Romo terpingkal-pingkal, padahal nama itu "bintang" televisi. "Tolong cari yang lain," perintah Romo.
Saya gelisah, rasanya mau pulang. Lalu saya jawab: "Kalau gagal menjadi Wakil Bupati Pacitan, Jupe cocok menggantikan Sri Mulyani. Atau Luna Maya dan Nunung 'Srimulat'."
Romo berhenti tertawa. "Calon yang bagus untuk Indonesia saat ini." Romo mendadak serius. "Jeng Sri punya integritas yang tinggi, ia terdidik di kalangan keluarga akademis, ia berakal sehat dan bahkan kini jadi simbol dari orang-orang berakal sehat. Ia menggunakan otak, bukan otot leher. Tapi dia bekerja di tempat yang tidak tepat, berhadapan dengan orang-orang yang sedang tidak menggunakan akal sehat. Dia memang harus mundur. Sebab, kalau melawan, selain lawannya tidak selevel, akan menurunkan integritas pribadinya. Nah, kalau Jupe atau Luna Maya atau Nunung 'Srimulat' yang jadi Menteri Keuangan, pasti cocok berhadapan dengan mitra kerjanya di parlemen, dan pasti berani melawan. Jika perlu saling bentak, saling teriak sampai putus otot leher dan otot-otot lainnya, kecuali otot malu."
Saya diam, Romo lagi "on". "Coba pikir, Jeng Sri diundang ke DPR, di sana dicuekin, malah ditinggal pergi. Sopo sing waras? Dia bekerja mati-matian untuk perbaikan Indonesia, pertumbuhan ekonomi bagus, krisis tak terjadi, tapi mahasiswa menghujatnya di jalanan sambil membakar ban bekas."
Saya memotong: "Romo, kenapa mahasiswa sampai membakar ban bekas?" Romo menjawab: "Kalau ban baru yang dibakar, tak bisa beli, uang sakunya tak cukup. Kalau tak pakai bakar-bakaran kurang seru, tak diliput televisi. Yang menggerakkan aksi dan yang meliput aksi bisa jadi satu jaringan pengusaha yang ngemplang pajak."
Romo tetap bersemangat. "Ketika Jeng Sri mundur, orang yang tak berakal sehat itu gembira, tapi kepleset ketika mencari bahan cemoohan lain dengan menyebut Jeng Sri meninggalkan kasus di Tanah Air. Kasus apa? Kan hanya kasus politik, dan siapa yang memainkan politik itu? Orang yang sedang tak berakal sehat. Maaf, yang Romo sedihkan bukan ditinggal Jeng Sri. Romo sedih negeri ini diurus oleh orang yang tak berwawasan. Contoh paling sepele, parlemen meributkan gedung mewahnya yang miring 0,17 derajat, lalu minta gedung baru di saat anak-anak sekolah belajar di kandang bebek. Romo mau nanya, ngerti enggak arti derajat dalam ilmu arsitektur? Kemiringan itu bukan masalah. Jangan-jangan wakil rakyat kita hanya tahu derajat Celsius, derajat Fahrenheit dan... Dradjad Wibowo."