Putu Setia
Romo Imam sedang santai. Istri dan anak putrinya sibuk di dapur menyiapkan makanan buka puasa. Sebagai basa-basi baru bertamu, saya memuji, "Ibu memang pinter memasak, sudah terasa sedapnya makanan."
Romo tersenyum. "Nanti kita buka puasa bersama," katanya. Saya mengangguk. "Puasa penting untuk kesehatan. Tapi, ya, sudah tiga hari Ramadan berlalu, Romo masih kurang sreg dengan puasa ini. Masih puasa fisik."
Saya segera mengejar apa maksudnya. "Puasa yang hanya menunda makan. Pada saat kita menahan lapar, kita berpikir itu hanya menunda makan, karena sudah pasti kita akan makan. Istri sudah menyiapkan makanan, bahkan makanan yang enak-enak dibanding hari-hari yang bukan Ramadan. Menunya khusus, dari minuman pembuka, makanan penambah selera, makanan besar, makanan penutup, sampai pada pernik-pernik camilan."
Romo mengambil koran dan membaca judul-judul berita dengan cepat, seperti penyiar televisi membawakan rangkuman berita sepekan. Ada bazar Ramadan di berbagai kota, ada liputan buka puasa bersama pejabat, ada selebritas yang membuat pesta buka puasa yang mewah, ada keluarga tahanan yang membawa puluhan tusuk sate kambing ke rumah tahanan. Semuanya untuk berbuka puasa. Dan semua yang berbuka puasa sudah siap dengan menu khusus itu. Jadi yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya makan, dari mana memulai.
"Itu puasa fisik. Mulut kita berpuasa, pikiran kita tidak. Kita tak sempat berpikir, oh, begini toh rasanya lapar. Betapa memprihatinkan kaum papa yang selalu menahan lapar tanpa jelas tahu kapan akan menghentikan lapar. Puasa fisik tak akan melahirkan solidaritas yang sejati, semuanya menjadi solidaritas semu," kata Romo.
Saya menyela, "Tapi bukankah banyak sekali fakir miskin yang diundang saat berbuka puasa? Bahkan orang berbondong-bondong membawa nasi bungkus untuk didermakan kepada mereka?"
Romo tersenyum, "Ya, itu sucinya Ramadan. Bahkan bisa disebut saktinya bulan Ramadan. Setelah Ramadan lewat, berapa banyak orang yang membawa nasi bungkus kepada anak-anak jalanan dan para gembel yang selalu dianggap mengotori kota ini? Ramadan datang, warung remang-remang dihancurkan; rumah pelacuran Dolly yang terbesar di Asia Tenggara ditutup; hotel dirazia tamunya; panti pijat, karaoke, dan semua tempat hiburan malam tak boleh buka. Ramadan lewat, negeri ini seperti dibiarkan menjadi sarang maksiat. Itu karena pola puasa kita sebagian besar menjadi urusan fisik, bukan rohani, bukan mengambil hikmat dari bulan suci itu. Saya senang di Bali tak ada lokalisasi pelacur...."
"Tapi Romo," saya langsung menyela agar pujian itu tak berlebihan, "memang di Bali tak ada lokalisasi pelacur karena itu simbol membiarkan perzinaan yang dilarang agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Bali. Tapi siapa yang berani mengatakan hotel-hotel di Bali bebas dari kemaksiatan?"
"Tunggu dulu," Romo yang kini memotong saya. "Justru itu penting, memberangus simbol kemaksiatan. Bahwa kemaksiatan masih ada, itu urusan polisi dan pemuka agama yang terus-menerus memberi khotbah yang menunjukkan bahwa itu maksiat. Jakarta dulu punya Kramat Tunggak, lokalisasi pelacur paling terkenal, sekarang menjadi Islamic Centre. Perubahan yang dahsyat dan ini membuat citra baik. Bahwa masih ada yang tak baik, itu yang kita perangi. "
Azan magrib bergema. "Mari kita buka," kata Romo. "Dan besok, insya Allah, kita berpuasa secara rohani agar nurani kita lebih berpihak kepada kaum papa dan perang terhadap kemaksiatan kita lakukan berkesinambungan, ada Ramadan maupun tidak."