Masalah di Tolikara

Penulis

Jumat, 24 Juli 2015 03:05 WIB

Indra J. Piliang, Dewan Pendiri Sang Gerilya Institute

Penyerangan yang dilakukan sekelompok orang terhadap umat Islam ketika melakukan salat Idul Fitri di Tolikara, Papua, membawa babak baru dalam penanganan masalah Papua. Seusai penyelesaian masalah Aceh lewatmemorandum of understandingdi Helsinki, Finlandia, saya sudah beberapa kali menulis tentang pentingnya penyelesaian masalah Papua secara komprehensif. Untuk pendekatan kalangan separatis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memberikan surat tugas kepada dr Farid Husain, tokoh di belakang layar dalam penyelesaian masalah Aceh. Dalam sebuah diskusi di The Indonesian Institute, dr Farid menunjukkan sejumlah foto kegiatannya di hutan-hutan Papua.

Masalahnya, dr Farid sama sekali tidak dilengkapi dengan perangkat lain, di luar sepucuk surat tugas lusuh yang diperlihatkan kepada saya. Komunikasi dr Farid dengan Presiden SBY (waktu itu) terbatas, begitu juga pihak terkait. Di luar dr Farid, pemerintah membentuk satuan tugas khusus, yakni Badan Percepatan Pembangunan Kawasan Papua. Sama dengan dr Farid, badan ini pun tidak memiliki kewenangan yang jelas. Dalam pemerintahan baru, badan ini malah tidak berfungsi lagi.

Informasi terakhir, Presiden Jokowi sudah menyiapkan kelembagaan baru menyangkut Papua. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mendapat tugas untuk mengesahkan bentuk kelembagaan badan yang dimaksud. Namun, sampai insiden di Tolikara, saya belum pernah mendengar pembahasan tentang rencana pembentukan badan ini. Saya hanya mendapat informasi bahwa rancangan badan ini sedang disiapkan di kantor Staf Kepresidenan yang dikepalai Luhut Panjaitan.

Adapun keberadaan badan ini memang didesak oleh berbagai pihak, terutama Kaukus Papua DPR RI dan DPD RI. Di luar itu, BPK RI juga mendorong keberadaan badan ini. Berdasarkan audit keuangan dana otonomi khusus oleh BPK RI, terlihat sekali dana itu tidak mengubah indeks pembangunan manusia di Papua. Beragam penyimpangan terjadi. Tapi BPK RI menyadari betapa program pembangunan di Papua layak diteruskan. Tinggal perbaikan dari sisi manajemen, termasuk manajemen keuangan dan sumber daya manusianya.

Dibandingkan dengan penyelesaian masalah Aceh, terasa sekali minimnya desakan dunia internasional terhadap Papua. Kementerian Luar Negeri memang bekerja keras agar masalah Papua tidak mengalami internasionalisasi. Indonesia dengan cepat menanggapi persoalan Papua yang coba dibincangkan oleh anggota Kongres Amerika Serikat asal Samoa Amerika, Eni Faleo-Mavaega. Kepentingan AS dengan PT Freeport sejak Papua bergabung dengan Indonesiamenjadi catatan serius. Pengalaman Timor Timur memperlihatkan betapa keterlibatan dunia internasional justru menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah.

Padahal masalah Papua datang dalam kurun yang lebih lama daripada Aceh, yakni ketika memutuskan bergabung dengan Indonesia. Hanya, perhatian terhadap Papua begitu kurang akibat perbedaan-perbedaan prioritas di Indonesia dan jauhnya Papua dari Jakarta. Masyarakat Indonesia secara umum juga tidak memiliki pengetahuan ihwal Papua. Papua ditangani secara tertutup, termasuk pembatasan akses kepada publik nasional dan internasional.

Barulah pemerintahan Presiden Jokowi berani kembali membuka Papua, termasuk bagi pers internasional. Tanpa persiapan-persiapan yang cukup, Papua bisa saja dibedah dan dicabik-cabik dengan pisau analisis orang-orang yang datang. Keterbukaan membawa dinamika tersendiri, termasuk interaksi yang terjadi antara orang-orang asing dan masyarakat Papua. Sudut pandang masing-masing pihak bisa saja berbeda, apalagi kalau dibumbui motif-motif di luar kepentingan masyarakat Papua, secara khusus, dan kepentingan nasional, secara umum.

Pemerintah Indonesia idealnya perlu menyusun skema yang tepat bagi Papua, sebelum benar-benar membuka Papua bagi masyarakat internasional. Kalaupun sudah dibuka, skema itu layak dijadikan barometer penting. Cina, misalnya, pernah menjalankan model dualisme ekonomi, yakni membuka wilayah pesisir dan menutup wilayah daratan. Dilihat dari sisi itu, insiden Tolikara tidak terlepas dari dimensi internasional, yakni kegiatan yang disebut "seminar internasional" yang dilakukan komunitas agama. Kita tahu, di belahan negara mana pun, kegiatan misionaris menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang Eropa. Pun demikian bagi penganut agama lain, termasuk Islam.

Jadi, potret Papua ke depan sudah terbuka, yakni para ahli agama dari mana pun, termasuk dari komunitas internasional, bakal menjadikan Papua sebagai tujuan ibadah. Apalagi kalau ada anggapan bahwa masyarakat adat Papua masih menganut agama sinkretis, di satu sisi penganut agama formal, di sisi lain masih menjalankan ritual tradisional. Kita bakal melihat riuh-rendahnya Papua dengan kedatangan banyak komunitas religius ini. Tidak ada satu pun kitab suci di dunia ini yang melarang penganut agamanya mengembangkan diri.

Dalam masyarakat tradisional mana pun, kehadiran tokoh-tokoh agama dari luar seakan dianggap sebagai "pemurnian". Percaya atau tidak, orang luar dianggap lebih tinggi "tingkat keimanan"-nya dibanding masyarakat setempat. Di sinilah lahir populisme dalam bentuk yang lain, yakni kehadiran para pesohor di dunia religi.

Kondisi ini memerlukan kehadiran pemerintah, terutama Kementerian Agama. Di Indonesia, agama masih merupakan kewenangan pemerintah pusat. Daerah tidak bisa menafsirkan sendiri regulasi di sektor keagamaan, kecuali di Aceh, yang memang mendapatkan diskresi, yakni pemberlakuan syariat Islam sebagai bagian dari otonominya. Pemerintah, mau tidak mau, suka tak suka, perlu melibatkan diri untuk mengontrol kegiatan keagamaan di Papua. Apalagi kalau Papua masih dianggap sebagai wilayah yang belum beragama. Insiden di Tolikara membuka dimensi itu, termasuk reaksi sesudahnya. Komunitas muslim, misalnya, sudah mulai mengagendakan penguatan pengaruh di bumi Papua.

Papua selama ini didefinisikan sebagai tanah damai. Konflik berkepanjangan terkait dengan separatisme dan konflik sumber daya alam tidak lantas membuat masyarakat adat Papua berhenti berjibaku demi perdamaian. Lingkaran konflik dan spiral kekerasan di Papua selama ini bukan bersumber pada agama. Bara di Tolikara tidak akan hadir apabila pemerintah mengambil peran yang lebih aktif, ketika pintu Papua sudah dibuka lebar.

Berita terkait

Miniatur Toleransi dari Tapanuli Utara

25 hari lalu

Miniatur Toleransi dari Tapanuli Utara

Bupati Nikson Nababan berhasil membangun kerukunan dan persatuan antarumat beragama. Menjadi percontohan toleransi.

Baca Selengkapnya

Indonesia Angkat Isu Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Sidang Dewan HAM PBB

42 hari lalu

Indonesia Angkat Isu Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Sidang Dewan HAM PBB

Isu tersebut dinggap penting diangkat di sidang Dewan HAM PBB untuk mengatasi segala bentuk intoleransi dan prasangka beragama di dunia.

Baca Selengkapnya

Asal-usul Hari Toleransi Internasional yang Diperingati 16 November

16 November 2023

Asal-usul Hari Toleransi Internasional yang Diperingati 16 November

Setiap 16 November diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional.

Baca Selengkapnya

Terkini Metro: Pangdam Jaya Ajak Remaja Masjid Jaga Toleransi, BMKG Minta Warga Depok Waspada Kekeringan

18 Juni 2023

Terkini Metro: Pangdam Jaya Ajak Remaja Masjid Jaga Toleransi, BMKG Minta Warga Depok Waspada Kekeringan

Kepada remaja masjid, Pangdam Jaya mengatakan pluralisme sebagai modal kuat dalam bekerja sama untuk menjaga persaudaraan dan kedamaian di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Mas Dhito Puji Toleransi Umat Beragama Desa Kalipang

24 Mei 2023

Mas Dhito Puji Toleransi Umat Beragama Desa Kalipang

Berbudaya itu, bagaimana budaya toleransi beragama, menghargai umat beragama lain, budaya tolong menolong.

Baca Selengkapnya

Ngabuburit di Tepi Danau Jakabaring Sambil Lihat Simbol Toleransi Beragama

1 April 2023

Ngabuburit di Tepi Danau Jakabaring Sambil Lihat Simbol Toleransi Beragama

Di akhir pekan atau hari libur nasional, Jakabaring Sport City menjadi pilihan destinasi liburan dalam kota yang seru.

Baca Selengkapnya

Ketua MPR Ajak Junjung Tinggi Nilai Toleransi Agama

16 Februari 2023

Ketua MPR Ajak Junjung Tinggi Nilai Toleransi Agama

Indeks perdamaian global terus memburuk dan mengalami penurunan hingga 3,2 persen selama kurun waktu 14 tahun terakhir.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: MPR dan MUI Siap Gelar Sosialisi Empat Pilar MPR

2 Februari 2023

Bamsoet: MPR dan MUI Siap Gelar Sosialisi Empat Pilar MPR

Sosialisasi itu akan mengangkat tema seputar peran organisasi keagamaan dalam menjaga kerukunan dan kondusivitas bangsa.

Baca Selengkapnya

Wakil Kepala BPIP Dorong Pemkab Klaten dan FKUB Raih Penghargaan

16 November 2022

Wakil Kepala BPIP Dorong Pemkab Klaten dan FKUB Raih Penghargaan

Klaten disebut sebagai miniaturnya Indonesia. Di tengah keberagaman agama tetap memiliki keharmonisan, persatuan dan kesatuan.

Baca Selengkapnya

Siswi Muslim Jadi Ketua Osis di SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng

28 Oktober 2022

Siswi Muslim Jadi Ketua Osis di SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng

Aprilia Inka Prasasti terpilih sebagai ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng Nusa Tenggara Timur.

Baca Selengkapnya