Manifes

Penulis

Senin, 9 Agustus 2010 00:00 WIB

Di bulan Agustus 1963, sebuah dokumen ditulis dan diumumkan: "Manifes Kebudayaan". Ia dengan segera menimbulkan kontroversi yang heboh. Isinya dianggap "kontrarevolusioner" oleh Lekra dan organisasi-organisasi kebudayaan dan politik yang diakui pemerintah waktu itu. Kemudian juga oleh Presiden Soekarno.

Pada 8 Mei 1964, dokumen itukemudian disebut dengan ejekan "Manikebu"dinyatakan "terlarang". Para penandatangannya, umumnya sastrawan, tak boleh menerbitkan karya mereka di mana saja. Di masa "demokrasi terpimpin", yang sudah membredel sejumlah surat kabar dan majalah dan memenjarakan sejumlah orang, misalnya Mochtar Lubis, larangan itu punya efek yang tak main-main.

Jika hari ini saya menulis tentang dokumen itu bukan untuk mengungkapkan lagi represi yang terjadi masa itu. Saya menulisnya karena sebentar lagi 17 Agustus.

Inilah tanggal ketika kita umumnya mengingat apa yang diharapkan dari kemerdekaan yang direbut dan republik yang didirikan. Hampir tiap tahun, Agustus adalah bulan ketika kita dengar suara kekecewaan yang berulang-ulang seperti sebuah litani: "Indonesia merdeka tapi rakyat masih sengsara", "tak ada lagi semangat bersama", "terpuruk" (kata ini paling sering disebut), dan bahkan "gagal".

Kita jarang bertanya: tidakkah kita punya harapan yang berlebihan dari sejarah, dan sebab itu berlebihan pula kecewa kepada zaman?

Advertising
Advertising

Saya ikut merumuskan "Manifes Kebudayaan". Dalam umur 22 tahun itu saya, ketika para mahasiswa dan lain-lain harus belajar Marxisme, saya menemukan kalimat Marx ini: "Manusia membuat sejarah, tapi bukan membuatnya semau mereka." Keadaan yang kita temui, ketika kita bergerak mengubah dunia, bukanlah keadaan yang kita pilih sendiri. Ia ada sebelum kita ada. Kita harus bernegosiasi dengan apa yang datang dari generasi yang telah mati yang, menurut Marx, memberat di pikiran generasi yang masih hidup bagaikan "mimpi buruk".

"Manifes" agaknya sebuah dokumen pemikiran pertama yang waktu itu mengakui keterbatasan manusia dalam mengubah sejarah itu. Teks itu menampik utopianisme. Bagi para penandatangannya, masyarakat yang sempurna tak akan pernah ada:

"Kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia karena kami menyadari bahwa dunia ini bukan sorga. Karena berfikir secara dialektik, maka kami mengakui kenyataan-kenyataan bahwa lingkungan sosial kami senantiasa mengandung masalah-masalah, dan setiap tantangan yang kami jawab akan menimbulkan tantangan-tantangan baru."

Dengan menyebut "kami berfikir secara dialektik", "Manifes" ingin menegaskan bahwa dialektik tak akan berhenti dalam satu tujuan tertentu. Dengan demikian, sejarah adalah sebuah proses yang terbuka. Sejarah tak pernah terbentuk sebagai lingkaran totalitas, karena tak akan ada sebuah kekuasaan yang bisa menguasai masa lalu, masa kini, dan masa depan sepenuhnya. "Kebudayaan dari suatu periode adalah senantiasa kebudayaan dari kelas yang berkuasa," kata "Manifes", mengutip Marx. Tapi sejarah juga mengajarkan: "Justru karena tidak termasuk dalam kelas yang berkuasa, maka orang berhasil membentuk kekuatan baru."

Kekuasaan selalu terbatas. Hegemoni kebudayaan tak akan bisa penuh. Ada gema pemikiran Gramsci, pemikir Marxis Italia itu, dalam teks "Manifes": ia sebenarnya berbicara tentang keniscayaan munculnya "kontrahegemoni".

Di sana, ada dua wajah dalam gerak kehidupan politik yang mengisi ruang "hegemoni" dan "kontrahegemoni" itu. Di satu sisi, antagonisme politik menarik garis antara kawan dan lawan. Namun di sisi lain, gerak politik juga mengandung acuan ke sesuatu yang universal.

"Manifes" dikecam karena di dalamnya termaktub kata "humanisme universal". Dalam suasana politik yang mengagungkan konfrontasi yang militanketika sikap memihak adalah mestipengertian "universal" dianggap mengaburkan sasaran perlawanan. Tapi saya kira ada salah paham di sini. Semangat untuk yang "universal" justru bisa bertaut erat dengan semangat untuk memihak.

Jauh setelah "Manifes Kebudayaan", pemikir yang pernah jadi aktivis buruh Argentina, Ernesto Laclau, mengambil contoh seorang pejuang revolusioner yang militan: jika aku ikut dalam aksi menduduki pabrik dengan tujuan memperjuangkan kenaikan gaji, hari libur tambahan, dan yang semacam itu, keterlibatanku akan berakhir bila tuntutan setempat itu terpenuhi.

Sebaliknya jika partisipasiku dalam aksi-aksi itu dilihat lebih luas: sebagai bagian dari perjuangan revolusioner yang hendak mencapai cita-cita yang universal. Di situ aku mungkin tak akan terpaut penuh dengan tuntutan kenaikan gaji dan tambahan hari libur, tapi justru sebab itu aku akan lebih militan: perjuanganku adalah untuk sesuatu yang lebih luasmasyarakat sosialis, misalnyayang akan dinikmati siapa saja, di mana saja.

Di mana saja, siapa saja: kita ingat, 17 Agustus 1945 tak bisa dipisahkan dari kalimat terkenal ini: "bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak semua bangsa".

Tapi senantiasa, perjuangan untuk sesuatu yang universal hanya bisa terlaksana dalam kondisi yang terbatas. Kemerdekaan yang harus diisi untuk siapa saja dan di mana saja akhirnya hanya diisi oleh (dan untuk) manusia-manusia di ruang dan waktu tertentu. Itu agaknya bulan Agustus adalah bulan ketika orang mengeluhseraya mungkin tahu, atau tak tahu, bahwa tiap keluhan sebenarnya menyembunyikan harapan.

Sejarah adalah dialektika antara keluhan dan harapan, sebab, seperti tertulis dalam "Manifes Kebudayaan", dunia ini "bukan sorga".

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Jadwal Final Piala Thomas dan Piala Uber 2024 Hari Ini: Tim Putra dan Putri Indonesia Lawan Tuan Rumah Cina

8 menit lalu

Jadwal Final Piala Thomas dan Piala Uber 2024 Hari Ini: Tim Putra dan Putri Indonesia Lawan Tuan Rumah Cina

Duel tim bulu tangkis putri Indonesia vs Cina di final Piala Uber 2024 dijadwalkan mulai 08.30 WIB, sedangkan final Piala Thomas 2024 mulai 17.00 WIB.

Baca Selengkapnya

Asal Usul World Water Forum, Konvensi Dunia yang Khusus Membahas Masalah Air

17 menit lalu

Asal Usul World Water Forum, Konvensi Dunia yang Khusus Membahas Masalah Air

Masalah krisis air yang menghantui dunia kreap dibahas dalam World Water Forum, musyawarah khusus di tingkat dunia.

Baca Selengkapnya

Gerindra Ungkap Gelora Tak Tolak PKS Gabung ke Pemerintahan Prabowo-Gibran

21 menit lalu

Gerindra Ungkap Gelora Tak Tolak PKS Gabung ke Pemerintahan Prabowo-Gibran

Gerindra mengatakan Gelora tak tolak PKS gabung ke pemerintahan Prabowo.

Baca Selengkapnya

Wisuda Telkom University Bandung Kini Libatkan Penerjemah Berbahasa Isyarat

22 menit lalu

Wisuda Telkom University Bandung Kini Libatkan Penerjemah Berbahasa Isyarat

Disebutkan, banyak mahasiswa Telkom University Bandung adalah teman-teman disabilitas. Inklusi diklaim jadi fondasi utama.

Baca Selengkapnya

Seri Poco F6 Kembali Kantongi Sertifikasi, Peluncurannya Semakin Dekat

30 menit lalu

Seri Poco F6 Kembali Kantongi Sertifikasi, Peluncurannya Semakin Dekat

Poco F6 muncul di sertifikasi dengan nomor model "24069PC12G".

Baca Selengkapnya

Vivo Y38 5G Resmi Dirilis di Taiwan, Ini Spesifikasinya

31 menit lalu

Vivo Y38 5G Resmi Dirilis di Taiwan, Ini Spesifikasinya

Vivo Y38 5G memiliki chipset Snapdragon 4 Gen 2 dan RAM LPDDR4x 8 GB dengan penyimpanan internal UFS 2.2 256 GB.

Baca Selengkapnya

Kasus Mayat dalam Koper Bali, Tersangka Sempat Berupaya Hilangkan Barang Bukti

31 menit lalu

Kasus Mayat dalam Koper Bali, Tersangka Sempat Berupaya Hilangkan Barang Bukti

Tersangka kasus mayat dalam koper di Bali berupaya menghilangkan barang bukti.

Baca Selengkapnya

Banjir Selutut Orang Dewasa Menggenangi Sepaku, Begini Penjelasan Otorita IKN

34 menit lalu

Banjir Selutut Orang Dewasa Menggenangi Sepaku, Begini Penjelasan Otorita IKN

Juru Bicara Otorita IKN Troy Pantouw membenarkan banjir menggenangi Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim, Jumat, 3 Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Alasan PDIP Sebut Oposisi Perlu Ada dalam Pemerintahan

40 menit lalu

Alasan PDIP Sebut Oposisi Perlu Ada dalam Pemerintahan

PDIP menilai oposisi diperlukan dalam sistem pemerintahan.

Baca Selengkapnya

Atasi Penerima KIP Kuliah yang Tidak Tepat Sasaran, Kemendikbud Minta Kampus Evaluasi

45 menit lalu

Atasi Penerima KIP Kuliah yang Tidak Tepat Sasaran, Kemendikbud Minta Kampus Evaluasi

Viralnya kasus dugaan penerima KIP Kuliah bergaya hedon, Kemendikbudristek akan mengambil langkah.

Baca Selengkapnya