Putu Setia
Awalnya hanya bercanda. Saya meminta komentar Romo Imam soal apakah saya--kalau nanti telah tiada--layak disebut pahlawan. Ternyata Romo serius. "Kamu pahlawan, karena ikut mendobrak tradisi masyarakat Bali masa lalu yang berkutat pada kasta dan menyimpang dari Hindu. Satu contoh, sudah ada ratusan pendeta Hindu yang di masa lalu tak mungkin jadi pendeta karena dianggap berkasta Sudra. Gerakanmu lewat tulisan, buku, dan ceramah pantas diganjar 'pahlawan back to Veda', sebagaimana dikatakan orang...."
"Stop... jangan teruskan," saya mengharap, dan memeluk Romo. "Ini masalah lokal, saya malu, yang anti juga banyak."
Romo melepaskan pelukan saya. "Sekarang ini gelar pahlawan itu sangat lokal, yang tak setuju banyak. Gelar yang sudah salah kaprah. Apalagi usulan itu bermula dari daerah. Akibatnya, pemerintah daerah mencari-cari orang yang harus dipahlawankan, untuk gengsi. Bagi Romo, gelar pahlawan itu seharusnya sudah ditutup. Pahlawan adalah mereka yang gugur di medan juang merebut dan mempertahankan kemerdekaan."
Kami duduk dan Romo masih bersemangat. "Awalnya sudah benar, kriteria pahlawan seperti itu, berjuang atas nama kemerdekaan. Lalu dicari sebuah hari yang bisa diperingati, ketemu tanggal 10 November, pertempuran di Surabaya. Setelah itu orang-orang yang berjasa di republik ini, yang dianggap setara dengan pahlawan, diberi julukan pahlawan dengan embel-embel, yaitu pahlawan proklamasi dan pahlawan revolusi. Tiba-tiba, dua marinir digantung mati di Malaysia, dan kita mengelu-elukannya sebagai pahlawan. Mungkin sulit menyebut pahlawan apa, atau emosi kita waktu itu menggebu bahwa keduanya harus pahlawan, ya, hanya disebut pahlawan saja, tanpa embel-embel."
"Nah," Romo melanjutkan, "ketika lembaga yang memberi gelar tanda jasa diformalkan, pahlawan baru dimunculkan setiap tahun. Di sinilah terjadi kerancuan, pahlawan apa? Ya, pahlawan saja. Bermunculan pahlawan di daerah. Uniknya, kalau itu tokoh lokal, justru tak ada perdebatan, karena plus-minus tokoh itu tak diketahui, orang cuek. Tetapi, begitu tokohnya dikenal di daerah lain, polemik ramai."
Romo bertanya: "Soeharto apa layak jadi pahlawan? Gus Dur dan Ali Sadikin apa layak?" Saya menjawab: "Karena saya berprinsip mikul dhuwur mendhem jero, semuanya layak. Apalagi pahlawan itu orangnya harus mati dulu, membicarakan kejelekan orang mati pantang bagi saya."
"Bagus," kata Romo. "Tapi, karena gelar ini diberikan negara dan pahlawan dianggap orang yang layak jadi panutan, wajar ada warga negara bertanya. Soeharto berjasa membangun, ribuan sekolah dan puskesmas dibangun di desa, luar biasa, sampai diberi julukan Bapak Pembangunan. Ada orang bertanya, apa pantas Pak Harto yang gampang menangkap orang, yang membredel pers, jadi pahlawan? Ali Sadikin berjasa membangun Jakarta. Orang bertanya, apakah orang yang setuju judi, yang nyata-nyata melanggar agama, layak jadi pahlawan? Gus Dur pemikirannya luar biasa, pejuang pluralisme. Orang bertanya, menjadi presiden saja harus diberhentikan di tengah jalan, apakah itu teladan yang baik?"
Saya merenung. Saya pikir ada benarnya gelar pahlawan itu tidak diumbar lagi. Apalagi tokoh-tokoh yang berjasa itu sebenarnya "tak sudi" dimakamkan di taman pahlawan. Biarlah sebutan pahlawan bersifat lokal atau hanya predikat untuk menunjukkan orang itu berjasa. Seperti kaum guru menyebut diri "pahlawan tanpa tanda jasa", tenaga kerja Indonesia disebut "pahlawan devisa", Rudy Hartono "pahlawan bulu tangkis". Kita harus jadi pahlawan, minimal "pahlawan keluarga".