Manusia Miopik dan Korupsi

Penulis

Rabu, 5 Agustus 2015 02:22 WIB

Andi Irawan, Dosen Universitas Bengkulu

Dari persepektif kepentingan, politik dengan definisi siapa yang berkuasa, kapan, dan bagaimana mendapatkan kekuasaan adalah niscaya dengan syarat dalam bingkai kepentingan bangsa. Artinya, dalam politik kepentingan, politikus dan parpol itu tidak boleh teralienasi (terkucil) dari kepentingan umum dan kepentingan bangsa.

Seorang politikus atau satu partai politik sah untuk menginginkan kekuasaan dan mendapatkan kekuasaan di lembaga-lembaga negara pusat dan daerah. Tapi yang perlu digarisbawahi dengan tebal bahwa kekuasaan itu bukan untuk kepentingan personal atau kelompok semata, tapi juga kepentingan personal dan golongan itu merupakan subordinasi dan tidak merugikan kepentingan yang lebih besar (kepentingan bersama).

Tapi, masalahnya, politikus itu umumnya berkarakter manusia miopik. Yang saya maksudkan dengan manusia miopik itu adalah sosok yang hanya sangat peduli akan kepentingan dirinya. Paling luas kepentingan yang menjadi kepedulian seorang politikus adalah kelompok dan golongannya. Maka adalah suatu yang akan sangat mudah, ketika seorang memegang kekuasaan, terjadi perilaku korup. Karena kekuasaan yang diemban akan sangat mudah untuk diabdikan pada kepentingan pribadi dan kelompok dibanding kepentingan bersama.

Manusia miopik dalam politik adalah indentik dengan manusia ekonominya Adam Smith. Adam Smith dalam bukunya, Wealth of Nation (1776), berkata: "Kita mendapatkan makan malam bukan karena kemurahan hati tukang daging, pembuat bir atau pembuat roti, tetapi dari penghargaan mereka pada kepentingan mereka sendiri. Bukan karena kemanusiaan mereka tapi karena cinta mereka pada dirinya sendiri.... Dengan mengejar kepentingan sendiri dia secara tak sengaja mempromosikan kepentingan publik."

Politikus berkarakter manusia miopik memposisikan aturan, wewenang, perundang-undangan, bahkan promosi jabatan publik tertentu sebagai komoditas. Semua itu untuk ditransaksikan kepada siapa yang berani membayar dengan harga tinggi.

Kita tidak perlu terobesesi menghilangkan perilaku manusia miopik itu. Karena itu hal yang sangat tidak mungkin dilakukan. Yang perlu kita lakukan adalah memahami paradigma berperilaku manusia miopik dalam rangka mengambil langkah antisipasi mereduksi perilaku eksploitatifnya yang merugikan.

Beberapa hal yang perlu dipahami tersebut adalah sebagai berikut: pertama, aturan dan wewenang adalah komoditas yang bisa ditransaksikan di satu sisi, sedangkan pasar politik di mana transaksi itu terjadi adalah pasar monopoli karena aturan, perundang-undangan, dan regulasi adalah wewenang segelintir orang yang menduduki posisi eksekutif, yudikatif dan legislatif, dan parpol adalah sumber pamasoknya.

Dalam konteks ini perilaku eksploitatif bisa dicegah dengan mengintroduksi: 1) transparansi. Semua kekayaan, aset, sumber masuk-keluar dana parpol sebagai organisasi, semua pimpinan parpol pusat dan daerah dan pejabat publik serta keluarga inti mereka harus ditunjukkan secara transparan kepada publik melalui lembaga audit negara yang berwenang. 2) Para politikus dan parpol harus dipaksa membangun integritas mereka, tentu saja bukan dengan penataran moral dan agama, melainkan dengan menciptakan aturan bahwa semua tambahan kekayaan finansial, aset, dan harta-harta lainnya selama menjabat sebagai pengurus parpol (pusat dan daerah) dan para pejabat publik dan keluarga inti mereka harus mempunyai underlying transaction yang bisa dipertanggungjawabkan.

Kedua, negara harus menciptakan konstrain (kendala) yang menyebabkan para politikus dan pejabat publik bisa mengambil keputusan bahwa perilaku korup mereka tidak layak dilakukan. Logika pragmatis para manusia miopik adalah suatu tindakan (korupsi) akan selalu layak dilakukan selama tambahan benefit yang didapat dari perilaku tersebut lebih besar daripada tambahan biaya yang mereka terima.

Menghentikan perilaku korup hanya akan efektif jika negara bisa memberikan ekspektasi kepada calon pelakunya bahwa tambahan biaya dari perilaku korup menjadi lebih besar daripada manfaatnya. Di sinilah urgensi hukuman berat terhadap tindakan yang terbukti secara hukum merugikan bangsa dan negara, termasuk hukuman mati.

Tetapi, tentu saja, itu baru akan efektif jika lembaga negara penegak hukumnya bisa menjalankan tugas penegakan hukum itu dengan baik. Itu juga bermakna yang paling awal harus direformasi dan dibersihkan dari karakter manusia miopik adalah aparatur penegak hukum, khususnya hakim, jaksa, dan polisi. *

Berita terkait

Bamsoet Tegaskan Pentingnya Yurisprudensi dalam Sistem Hukum Indonesia

18 November 2023

Bamsoet Tegaskan Pentingnya Yurisprudensi dalam Sistem Hukum Indonesia

Bambang Soesatyo menekankan bahwa walaupun penegakan hukum di Indonesia berorientasi kepada undang-undang (codified law), keberadaan yurisprudensi tetap bisa dijalankan.

Baca Selengkapnya

TGB Zainul Majdi Bicara Solusi Redam Konflik Horizontal

14 Agustus 2019

TGB Zainul Majdi Bicara Solusi Redam Konflik Horizontal

TGB Zainul Majdi bicara berdasarkan pengalamannya mengkaji rendahnya konflik horizontal di Lombok Utara.

Baca Selengkapnya

Pembebasan Abu Bakar Baasyir Berpotensi Kacaukan Sistem Hukum

20 Januari 2019

Pembebasan Abu Bakar Baasyir Berpotensi Kacaukan Sistem Hukum

Pembebasan terhadap Abu Bakar Baasyir dinilai tanpa landasan. "Presiden dapat dianggap mengangkangi konstitusi,"

Baca Selengkapnya

Pengadilan Politik

15 Maret 2017

Pengadilan Politik

Benarkah hukum itu netral? Sebagaimana wacana kebudayaan, dan hukum itu bagian dari kebudayaan, meskipun dapat diterapkan suatu prasangka baik bagi segenap praktisi hukum, posisi manusia sebagai subyek sosial membuatnya berada di dalam-dan tidak akan bebas dari-konstruksi budaya yang telah membentuknya. Meski pasal-pasal hukum ternalarkan sebagai adil, konstruksi wacana sang hamba hukumlah yang akan menentukan penafsirannya.

Baca Selengkapnya

Video Ceramah Bachtiar Nasir Kasusnya di SP3, Ini Alasannya

7 Maret 2017

Video Ceramah Bachtiar Nasir Kasusnya di SP3, Ini Alasannya

Sebelumnya, dalam sebuah video ceramah, Bachtiar Nasir mengaku telah menemui Kapolri Tito Karnavian, dan menyebut semua kasus ditutup.

Baca Selengkapnya

Reformasi Hukum Kedua Jokowi

26 Januari 2017

Reformasi Hukum Kedua Jokowi

Saat ini terdapat lebih dari 40 ribu peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk peraturan daerah saja, sejak Reformasi hingga 2015 telah diproduksi lebih dari 3.000 peraturan daerah provinsi dan lebih dari 25 ribu peraturan daerah kabupaten/kota. Tapi banyak di antaranya yang tumpang-tindih, tidak berdaya guna, dan sebagian justru menghambat pelaksanaan pembangunan. Sejak otonomi daerah diberlakukan, muncul ribuan peraturan daerah yang justru bermasalah.

Tak mengherankan, pada Reformasi Hukum Tahap I (Juni 2016), pemerintah mengimbau agar lebih dari 3.000 peraturan daerah dibatalkan. Penyebabnya, banyak regulasi yang multitafsir, berpotensi menimbulkan konflik, tumpang-tindih, tidak sesuai asas, lemah dalam implementasi, tidak ada dasar hukumnya, tidak ada aturan pelaksanaannya, dan menambah beban, baik terhadap kelompok sasaran maupun yang terkena dampak regulasi. Kualitas regulasi yang buruk bisa berdampak ketidakpastian hukum, inefisiensi anggaran, kinerja penyelenggara negara yang rendah, daya saing ekonomi rendah, minat investasi menurun, dan menimbulkan beban baru bagi masyarakat dan pemerintah.

Baca Selengkapnya

Mantan Ketua MK: Harapan 2017, Pengadilan Independen

12 Januari 2017

Mantan Ketua MK: Harapan 2017, Pengadilan Independen

Sebagai benteng terakhir keadilan, pengadilan harus tetap memiliki independensi dan integritas tinggi serta menjadi tumpuan masyarakat pencari keadilan.

Baca Selengkapnya

Polisi yang Beperkara Hukum Harus Lapor kepada Pimpinan  

19 Desember 2016

Polisi yang Beperkara Hukum Harus Lapor kepada Pimpinan  

Tito mengatakan selama ini ada anggotanya yang dipanggil karena beperkara hukum, tapi pimpinan tidak mengetahui.

Baca Selengkapnya

Kawal Jokowi-JK, PDIP Soroti Soal HAM, Korupsi, dan Hukum

14 Desember 2016

Kawal Jokowi-JK, PDIP Soroti Soal HAM, Korupsi, dan Hukum

Trimedya menyoroti dua tahun pemerintahan Jokowi-JK.

Baca Selengkapnya

Kebijakan Hukum, Pemerintah Disarankan Fokus 3 Hal Ini

17 Oktober 2016

Kebijakan Hukum, Pemerintah Disarankan Fokus 3 Hal Ini

Budaya hukum yang baik tidak terbentuk.

Baca Selengkapnya