Ibrahim

Penulis

Senin, 22 November 2010 00:00 WIB

Menyembelih seorang anak yang tak berdosa, menyembelih anak sendiri yang tak bersalah, sanggupkah engkau? Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin itu titah Tuhan, agar itulah yang harus dikerjakannya. Ia sedang diuji, sedekat manakah dirinya dengan Tuhan yang harus ditaati. Ia berangkat.

Seandainya saya yang diberi perintah, mungkin sekali saya akan menolak. Dengan takzim dan takut. Saya akan katakan, biarlah saya masuk neraka. Biarlah saya dikutuk, asal anak itu selamat. Belas kasih kepada bocah yang tak berdaya itu lebih mengguncang diri saya ketimbang kehendak Yang Maha Kuasa.

Tapi saya bukan Ibrahim. Saya bukan tokoh Kitab Suci. Dalam Frygt og Bven (Gentar dan Gementar) yang terbit tahun 1843, Kierkegaard, pemikir Denmark itu, menggambarkan iman Ibrahim sebagai sesuatu yang mengatasi nilai "kebaikan" yang universal, yang berlaku buat siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri, bersendiri. Tindakannya di Bukit Muriah itu tak dapat dibenarkan oleh nilai dan hukum apa pun. Tindakan itu hanya bisa dilakukan karena Ibrahim menaruh kepercayaan kepada "kekuatan dari sesuatu yang absurd". Kierkegaard menyebutnya bukan tokoh tragis. Ibrahim bukan seperti Kaisar Brutus yang dengan sedih harus membunuh anaknya demi hukum Romawi yang harus ditegakkannyahukum untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim, bagi Kierkegaard, seorang "ksatria iman".

Tapi tetap saja tak mudah membayangkan seorang "ksatria iman" harus memotong leher anaknya sendiri. Mungkinkah ia sampai hati benar?

Agaknya sebab itu Quran menggambarkan Ibrahim meletakkan anaknya dengan muka yang menelungkup. Dalam tafsir Al-Tabari disebutkan bahwa si bocah (Quran tak menyebutkan namanya, Ismail atau Ishak) berkata kepada ayahnya: "Bila ayah baringkan aku untuk jadi kurban, telungkupkan wajahku, jangan ayah letakkan miring ke samping; sebab aku khawatir, bila ayah melihat wajahku, rasa belas akan merasuki diri ayah, dan ayah akan batal melaksanakan perintah Allah."

Advertising
Advertising

Ada sebuah lukisan Rembrandt, perupa Belanda yang termasyhur itu, yang bertahun 1635. Judulnya "Pengurbanan Ishak". Saya pernah melihatnya di Museum Hermitage di St. Petersburg. Saya masih ingat: di kanvas itu tampak Ibrahim menutup wajah anaknya seraya ia menghunus pisaunya. Ia tak akan tega melihat mata si bocah dalam kesakitan.

Tapi yang menarik, Rembrandt tak melukiskan rasa gentar dan gementar Ibrahim sebagaimana diuraikan Kierkegaard. Dalam mengutip kisah Kitab Suci itu, sang pemikir Kristen Denmark itu lebih memilih fokus pada perintah Tuhan yang pertama: Ibrahim, atau Abraham, harus menyembelih anaknya. Kierkegaard tak melanjutkan bacaannya ke perintah Tuhan yang kedua. Rembrandt, sebaliknya, justru menangkap momen itu. Sebagaimana ditulis dalam Kitab Kejadian:

22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.

22:11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham." Sahutnya: "Ya, Tuhan."

22:12 Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia."

Dalam kanvas itu, tampak tangan kanan Ibrahim dipegangi dan dicegah oleh tangan malaikat. Pisau itu terjatuh. Tangan kirinya masih menutupi wajah si bocah. Matanya menatap ke arah sang malaikat yang lembut: biji matanya yang hitam itu tampak sebagai bagian dari senyum yang belum merekah.

Menurut catatan, Rembrandt melukis adegan itu ketika ia, dalam usia 29, baru saja kematian anaknya yang masih bayi. Agaknya ini membuat lukisannya lebih peka kepada kepedihan atas hilangnya nyawa seorang anak yang direnggutkan tanpa dosa, tanpa sebab. Ibrahim-nya bukan yang sedang mematuhi titah pertama Tuhan.

Rembrandt mungkin akan lebih suka membaca tafsir Emmanuel Levinas. Filosof Prancis yang erat dengan tradisi Yahudi itu mengkritik pengutaraan Kierkegaard tentang Ibrahim. Dalam esainya, "A propos Kierkegaard Vivant", ia menulis, "bahwa Abraham mematuhi suara yang pertamaitu menakjubkan: bahwa ia punya cukup jarak dengan kepatuhan itu hingga bisa mendengar suara keduaitu esensial".

Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang kurban. Wajah bocah. Wajah manusia. Wajah yang tak tepermanai. Yang tak bisa jadi obyek. Wajah yang menyebabkan perintah Tuhan punya makna: "Jangan engkau membunuh."

Dan bagi Levinas, sebagaimana halnya bagi kita, tiap wajah mengetuk diri kita. Kita pun memberi respons, bertanggung jawab, tak mudah sewenang-wenang. Kita ingat Ibrahim di saat itu. Ia jadi berarti karena itu.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Destinasi Wisata di Chengdu yang jadi Tuan Rumah Piala Thomas dan Uber 2024

2 menit lalu

Destinasi Wisata di Chengdu yang jadi Tuan Rumah Piala Thomas dan Uber 2024

Salah satu destinasi wisata utama untuk dikunjungi adalah Pasar Malam Chengdu.

Baca Selengkapnya

Hasil Piala Thomas 2024: Liang / Wang Tekuk Fajar / Rian, Indonesia Tertinggal 0-2 dari Cina

7 menit lalu

Hasil Piala Thomas 2024: Liang / Wang Tekuk Fajar / Rian, Indonesia Tertinggal 0-2 dari Cina

Fajar / Rian gagal menyamakan kedudukan untuk Indonesia usai dikalahkan pasangan Cina Liang / Wang pada final Piala Thomas 2024 lewat tiga game.

Baca Selengkapnya

Taman Doa Our Lady of Akita PIK 2 Resmi Dioperasikan, Jadi Destinasi Wisata Rohani

34 menit lalu

Taman Doa Our Lady of Akita PIK 2 Resmi Dioperasikan, Jadi Destinasi Wisata Rohani

Taman doa yang berlokasi di Kawasan Osaka PIK 2 yang menjadi destinasi wisata rohani ini di desain sama persis dengan gereja aslinya di Akita, Jepang.

Baca Selengkapnya

Delegasi Indonesia Partisipasi di Festival Hakata Dontaku

36 menit lalu

Delegasi Indonesia Partisipasi di Festival Hakata Dontaku

Festival Hakata Dontaku adalah festival kesenian dan budaya terbesar di Fukuoka Jepang. Indonesia menampilkan angklung, tari Bali, dan tari Saman

Baca Selengkapnya

Gagal Sumbang Poin di Final Piala Thomas 2024, Anthony Sinisuka Ginting Tak Bisa Keluar dari Tekanan Shi Yu Qi

44 menit lalu

Gagal Sumbang Poin di Final Piala Thomas 2024, Anthony Sinisuka Ginting Tak Bisa Keluar dari Tekanan Shi Yu Qi

Anthony Sinisuka Ginting mengungkapkan penyebab kekalahannya atas Shi Yu Qi di final Piala Thomas 2024 saat Indonesia menghadapi Cina.

Baca Selengkapnya

Pelaksanaan UTBK 2024 di Universitas Jambi Diikuti 9.412 Peserta

56 menit lalu

Pelaksanaan UTBK 2024 di Universitas Jambi Diikuti 9.412 Peserta

Universitas Jambi atau Unja menyediakan fasilitas ujian untuk UTBK sebanyak 16 laboratorium dan dilaksanakan dalam dua sesi setiap harinya.

Baca Selengkapnya

Kementerian Perhubungan Klaim Keselamatan Pelayaran Indonesia Diakui Dunia

1 jam lalu

Kementerian Perhubungan Klaim Keselamatan Pelayaran Indonesia Diakui Dunia

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengklaim bahwa keselamatan dan keamanan pelayaran kapal Indonesia telah diakui dunia internasional.

Baca Selengkapnya

KKP Apresiasi Stakeholder Pemanfaatan Ruang Laut

1 jam lalu

KKP Apresiasi Stakeholder Pemanfaatan Ruang Laut

Penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi atas kepatuhan dan peran aktif mitra Ditjen PKRL dalam penyelenggaraan KKPRL sekaligus sebagai wujud nyata dukungan terhadap keberlanjutan pemanfaatan ruang laut.

Baca Selengkapnya

Hasil Final Piala Thomas 2024: Anthony Sinisuka Ginting Dibungkam Shi Yu Qi, Indonesia Teringgal 0-1 dari Cina

1 jam lalu

Hasil Final Piala Thomas 2024: Anthony Sinisuka Ginting Dibungkam Shi Yu Qi, Indonesia Teringgal 0-1 dari Cina

Anthony Sinisuka Ginting tak mampu berbuat banyak dalam laga perdana final Piala Thomas 2024 melawan tunggal pertama Cina, Shi Yu Qi.

Baca Selengkapnya

Usai Bendesa Adat Tersangka Pemerasan, Kejati Bali Buka Peluang Koordinasi dengan Majelis Desa Adat

1 jam lalu

Usai Bendesa Adat Tersangka Pemerasan, Kejati Bali Buka Peluang Koordinasi dengan Majelis Desa Adat

Kejati Bali membuka peluang berkoordinasi dengan Majelis Desa Adat Bali usai menetapkan Bendesa Adat Berawa sebatersangka pemerasan investor.

Baca Selengkapnya