Ketika Busyro Muqoddas terpilih menjadi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, saya mengucapkan syukur. Baik Busyro maupun Bambang Widjojanto, yang menjadi pesaingnya, tidak saya kenal secara pribadi. Namun, dari pemberitaan yang sering saya ikuti, hati saya berkata: Bambang lebih tegas dan lebih berani dibanding Busyro. Bambang lebih cocok memimpin KPK, karena pasti lebih berani menggebrak.
Tapi kenapa saya bersyukur ketika Bambang kalah? Saya terpengaruh opini yang menyebutkan kedua kandidat ini adalah orang terbaik dalam memerangi korupsi. Opini ini kemudian mengarah kepada jabatan yang paling cocok buat Bambang: Jaksa Agung. Untuk itulah saya berterima kasih kepada wakil rakyat dari Komisi Hukum yang "merelakan" Bambang Widjojanto menjabat Jaksa Agung.
Ketika anggota Dewan berdebat apakah Busyro otomatis menjadi Ketua KPK, atau tidak otomatis tapi diputar-putar dulu supaya kelihatan ada demokrasi, saya sudah tak berminat mengikuti. Saya terbawa rasa senang, bahwa para komandan perang melawan koruptor ini diisi orang hebat, ada Busyro di KPK, ada Bambang Widjojanto di kejaksaan, ada Timor Pradopo di kepolisian. Saya menduga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu paling senang, karena tak usah lagi menimbang-nimbang terlalu lama untuk memutuskan siapa yang pantas menjadi Jaksa Agung. Undangan pelantikan Jaksa Agung juga sudah beredar, meski tanpa nama. Lagi-lagi saya menduga, saat undangan dibuat, SBY menunggu apakah Busyro atau Bambang yang "dikirim" ke kejaksaan.
Kejaksaan memang perlu dibenahi oleh orang luar. Ibarat pohon, batangnya sudah keropos. Jaksa nakal sudah ditindak, tapi masih ada jaksa yang lebih nakal. Jaksa yang "memalukan" juga banyak. Dalam sidang kasus Gayus pekan lalu, jaksa Cirus Sinaga dan Fadil Regan memamerkan kebodohannya ketika menjawab ketua majelis Albertina Ho, apakah dalam kasus korupsi dan kejahatan pencucian uang yang digabung dalam satu berkas ditangani pidana umum atau pidana khusus. Keduanya menjawab berbelit-belit, sampai Bu Hakim kesal: "Anda golongan IV, jangan malu-maluin kejaksaan."
Dalam menyeret koruptor, jaksa lebih berperan dibanding polisi. Selain bisa menyidik, jaksa bertugas menuntut, sedangkan polisi hanya bisa menyidik. Selengkap apa pun hasil penyidikan polisi, kalau jaksanya "bermain", pasal yang dituntutnya bisa lemah. Apalagi kalau dari polisi pasal itu sudah "dilemahkan". Wajar Gayus Si Akal Bulus bisa lolos dari jeratan hukum.
Polisi dan kejaksaan sama-sama "memalukan"--untuk berbagai kasus penegakan hukum belakangan ini. Tetapi polisi tentu tak mungkin dipimpin orang luar, misalnya, seorang pengacara atau wartawan diberi pangkat jenderal dan menjadi Kapolri. Jabatan ini perlu keterampilan baris-berbaris. Jaksa Agung bisa orang luar karena ini jabatan setingkat menteri, tak perlu belajar baris-berbaris. Karena itu, saya menduga, Presiden SBY kali ini akan mengikuti "suara hati rakyat" dengan cara mengangkat orang luar sebagai Jaksa Agung.
Ternyata untuk kesekian kalinya dugaan saya meleset--dan kesekian kalinya pula SBY mengabaikan suara yang ada di masyarakat. Begitu Busyro terpilih sebagai pimpinan KPK--dan kemudian menjadi ketuanya--SBY langsung menetapkan Jaksa Agung. Bukan Bambang Widjajanto, melainkan Basrief Arief. Mungkin, bagi SBY, Basrief ini "orang luar-dalam", jadi hanya cari amannya, bukan untuk membenahi kejaksaan. Adapun Bambang, SBY menawari jabatan Ketua Komisi Kejaksaan, kan masih ada kata komisi dan ada kata jaksanya. Bambang menolak, ha-ha-ha.... Pak Beye lucu sekali.