Ada berita penting belakangan ini, tapi tak banyak diperdebatkan. Para tokoh lintas agama punya gagasan menjadikan tahun 2011 ini sebagai Tahun Perlawanan terhadap Kebohongan.
Sungguh amat menarik, masalah bohong-berbohong dijadikan isu nasional dan yang disasar adalah para pemimpin di negeri ini. Padahal perbuatan yang paling mudah dilakukan, baik oleh pemimpin maupun oleh rakyat, adalah berbohong. Sedangkan perbuatan yang paling sulit dilakukan adalah mempertahankan kebohongan itu.
Saya heran kenapa berita ini tidak menjadi headline di koran-koran, kenapa tidak diperbincangkan di semua stasiun televisi, kenapa tidak menjadi cover story di majalah berita. Bukankah melawan kebohongan dan menegakkan kejujuran adalah perjuangan yang amat mulia? Seorang rekan beralasan, berita itu menjadi rendah nilainya lantaran para tokoh lintas agama yang menggagas ide tersebut orangnya itu-itu saja. Lagi pula ada nuansa politisnya. Saya hanya mengelus dada kalau benar ini jadi alasannya.
Berbohong atau tidaknya seseorang memang tak selalu mudah dibuktikan. Apalagi kalau tak ada fakta yang menangkis kebohongan itu. Kepada Adnan Buyung Nasution, Gayus Tambunan semula tak mengaku pergi ke Bali selama ditahan di Markas Brimob. Belakangan, setelah banyak bukti terkuak, Gayus mengaku. Artinya, ia berbohong kepada pengacaranya. Si Abang pun jadi kesal.
Gayus dicap sebagai pembohong. Akibatnya, ucapan Gayus selanjutnya selalu dicurigai sebagai bualan. Gayus sudah menyebutkan siapa saja yang membantunya mencarikan paspor dan siapa yang mengaturnya ke luar negeri. Gayus pun menyebutkan orang-orang yang terlibat dalam mafia pajak yang dia ikut mainkan. Ia mengaku tahu siapa big fish (kelas kakap dan paus) karena dia hanyalah teri. Bahkan Gayus bisa membersihkan negeri ini dari korupsi dalam waktu dua tahun kalau ia dijadikan staf ahli Kapolri. Tapi, apa kata polisi? Ucapan Gayus sulit dipegang karena selalu berubah-ubah. Jadi, kalau polisi tak tergerak atau lamban merespons pengakuan Gayus, itu jadi pembenaran.
Korupsi tetap subur di negeri ini dan pemberantasannya mulai kendur. Mengurusi Gayus saja sudah kelabakan, belum lagi kalau mau mengurusi atasan-atasan Gayus. Lalu, apakah Presiden Yudhoyono serta-merta dicap pembohong karena pernah menyebutkan tekadnya menjadi orang terdepan dalam pemberantasan korupsi? Nah, model begini sulit diklarifikasi, berbohong atau tidak.
Ada banyak akal untuk mengaburkan kebohongan. Orang-orang protes ketika DPR bersiap membangun gedung baru yang ada kolam renangnya. Ini kemewahan yang tak pantas dimiliki oleh wakil rakyat yang suka membolos. Apa kata pimpinan DPR? Tak ada kolam renang, itu bohong dan fitnah.
Ketika desain gedung DPR dipublikasikan dan ternyata di lantai 36 (teratas) memang ada kolam yang luas, Ketua DPR memberi keterangan: Lantai itu adalah taman yang dibuat asri. Untuk memperindah taman, dibuatlah kolam. Airnya nanti bisa dipakai untuk pemadam kebakaran. Ketua DPR tak bisa disebut berbohong, karena memang tak dibangun kolam renang. Bahwa nanti setelah kolam itu jadi dan dipakai berenang oleh para wakil rakyat, itu kan dalam rangka efisiensi memanfaatkan fasilitas yang ada agar tidak mubazir.
Menutupi kebohongan dengan cara seperti ini bisa menjadi tren baru. Masuk akal kalau para tokoh lintas agama sibuk mencari istilah lain pengganti berbohong. Beberapa sudah ditemukan: ingkar janji atau tak satu kata dengan perbuatan. Wah, tentu akan banyak muncul kata lain, yang intinya sama: bohong.