Keputusan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju dalam pilkada Jakarta 2017 lewat jalur independen memercikkan perdebatan politik panas. Ada yang antusias mendukung. Sebaliknya, ada yang mengecam langkah tersebut dari berbagai sudut pandang. Salah satunya menyatakan bahwa pilihan Ahok itu sama artinya dengan melakukan deparpolisasi kehidupan bernegara. Tudingan tersebut sesat, karena pilihan jalur independen dilindungi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Ahok memilih jalur independen setelah tak kunjung mendapat kepastian dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Gubernur DKI Jakarta itu semula berkeinginan maju berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat (saat ini wakil gubernur), yang merupakan kader PDIP. Tapi, bahkan setelah menanyakan langsung kepada Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, dukungan itu tak juga terbit.
Tak ingin larut dalam ketidakpastian, Ahok pun memilih jalur independen. Untuk kepentingan ini, sekelompok relawan bernama Teman Ahok menjadi tulang punggung pencalonan. Ahok menggaet Heru Budi Hartono (saat ini Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah DKI) sebagai calon wakil gubernur. Pilihan menggunakan jalur independen ini merupakan langkah berani karena menyimpan berbagai risiko.
Tudingan deparpolisasi itu mencuat dari kalangan elite PDIP. Mereka menuding jalur independen adalah upaya meniadakan peran partai politik dalam pemilihan kepala daerah. Menurut mereka, hal ini berbahaya bagi partai, dan harus dilawan. Betapa sesatnya cara berpikir seperti itu. Majunya calon independen tidak bisa diartikan meniadakan peran partai politik. Keduanya sama-sama berhak maju dalam pilkada dan dijamin undang-undang.
Ketimbang sibuk mengecam hak konstitusi orang lain, partai politik sebaiknya bertanya kepada diri sendiri mengapa ada calon dari jalur independen. Faktanya, calon independen juga bisa mendapat dukungan pemilih. Salah satu sebab mereka mendukung tentu lantaran kecewa terhadap partai politik.
Mereka tak percaya harapan dan aspirasinya tertampung oleh partai politik. Survei Populi Center pada Januari lalu menemukan hanya 12,5 persen responden yang percaya kepada partai politik. Ditambah fakta banyaknya wakil partai di pemerintahan ataupun DPR/DPRD yang terbukti melakukan korupsi, tak mengherankan jika khalayak merasa partai adalah pengkhianat aspirasi.
Majunya calon-calon lewat jalur independen semestinya membuat partai terpacu memperbaiki kinerja. Hal ini bisa dilakukan sejak perekrutan kader hingga ketika menyorongkan mereka ke parlemen dan posisi jabatan publik. Jika partai mampu memperbaiki kinerjanya, kepercayaan masyarakat akan tumbuh. Hanya dengan cara inilah mereka bisa menghadang popularitas calon independen.