Kadir, bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS).
Kalau kita perhatikan statistik konsumsi cokelat dunia pada 2015, kita bakal menemukan fakta bahwa 10 negara konsumen cokelat terbesar sejagat adalah negara-negara maju: Amerika Serikat dan negeri di Eropa Barat.
Untuk tiga pemakan cokelat terbesar sejagat, di urutan pertama ada Swiss dengan konsumsi per kapita penduduknya mencapai 9 kilogram per tahun. Di bawahnya ada Jerman dan Irlandia dengan konsumsi per kapita masing-masing 7,9 kilogram dan 7,4 kilogram per tahun (Koran Tempo, 14 Agustus).
Menariknya, tak satu pun dari 10 negara konsumen cokelat terbesar dunia itu merupakan penghasil biji kakao, bahan utama pembuatan cokelat. Lalu, bagaimana dengan konsumsi cokelat di negara-negara penghasil utama kakao dunia?
Untuk diketahui, lebih dari 90 persen kakao dunia dihasilkan oleh negara-negara berkembang atau dunia ketiga di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Saat ini, tiga negara penghasil utama biji kakao dunia adalah Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia. Ketiganya menyuplai tak kurang dari 70 persen kebutuhan kakao dunia.
Berapa pun angka konsumsi di negara-negara itu, yang pasti kalah jauh dengan tingkat konsumsi di negara-negara konsumen utama cokelat dunia. Bayangkan, konsumsi cokelat penduduk Indonesia, misalnya, hanya sekitar 0,3 kg per kapita per tahun. Padahal sebanyak 18 persen kakao dunia disuplai oleh Indonesia.
Hasil Sensus Pertanian 2013 memperlihatkan budi daya tanaman kakao di negeri ini melibatkan 2,19 juta rumah tangga. Sekitar 34,4 persen dari jumlah total rumah tangga tersebut terdapat di Pulau Sulawesi. Di sana, di pedalaman Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, misalnya, banyak petani yang jarang, bahkan tak pernah, mencicipi nikmatnya sepotong cokelat, meski bahan baku utamanya disuplai oleh mereka.
Barangkali hal tersebut erat kaitannya dengan budaya mengkonsumsi cokelat. Konon, kebiasaan mengkonsumsi dan menyeduh cokelat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseharian masyarakat Eropa dan Amerika Serikat.
Selain soal budaya, hal tersebut tampaknya juga terkait dengan fakta lain: produsen utama cokelat dunia bukanlah negara-negara penghasil utama kakao dunia, tapi negara-negara konsumen cokelat terbesar dunia itu sendiri, contohnya, Swiss dan Amerika Serikat.
Relatif rendahnya konsumsi cokelat penduduk Indonesia sejatinya adalah sebuah ironi, bukti bahwa selama ini kita hanya mampu menjadi penghasil dan pengekspor bahan mentah. Kasta itu paling rendah dalam rantai produksi cokelat dunia. Barangkali, mimpi menjadi salah satu produsen dan pengekspor cokelat terbesar di dunia terlalu tinggi dan muluk-muluk, meski potensi untuk itu sejatinya cukup besar.
Saat ini yang terpenting adalah upaya serius dari pemerintah untuk mendorong pengembangan industri pengolahan biji kakao agar nilai tambahnya bisa ditingkatkan. Syukur-syukur kalau produk akhirnya dalam bentuk cokelat made in Indonesia.
Hal ini penting diupayakan karena tidak hanya dapat mendorong peningkatan konsumsi cokelat penduduk Indonesia, tapi juga membuka lapangan kerja dan meningkatkan taraf hidup jutaan petani kakao di negeri ini, yang kehidupan ekonominya acap kali tak selezat rasa sepotong cokelat. *
Berita terkait
Produksi Tiga Mesin Pertanian, Pindad Berharap Laris
7 Mei 2017
Bayu mengatakan pengadaan alat pertanian ini bisa dilakukan lewat e-procurement.
Baca SelengkapnyaSwasembada Cabai, 9 Kota Kalteng Disuplai 198 Ribu Bibit Cabai
19 Maret 2017
Tute mengatakan proses penyemaian bibit akan dilakukan di tingkat kabupaten dan kota untuk memudahkan pembagian bibit ke warga.
Baca SelengkapnyaKementerian Pertanian: Bebaskan 1,7 Hektare Kebun Petani Kelapa Sawit
10 Februari 2017
Kementerian Pertanian meminta 1,7 juta hektare perkebunan kelapa sawit petani yang berada di kawasan hutan dibebaskan lahannya.
Baca SelengkapnyaKembangkan Lahan 610 Hektar, Kalteng Amankan Bawang Merah
4 Februari 2017
Pengembangan ratusan hektar ini membuktikan bahwa kondisi tanah
kalteng yang berpasir cocok untuk ditanami bawang merah.
Mengapa Ahli Ekonomi Pertanian Berkumpul di Pontianak?
21 Januari 2017
Pontianak menjadi tuan rumah Rakernas Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi)untuk membantu pemerintah daerah tingkatkan kesejahteraan warga
Baca SelengkapnyaKarsa, Aplikasi Android untuk Petani Diluncurkan
1 September 2016
Dengan aplikasi ini, petani bisa terhubung satu sama lain, dan mendapat bimbingan soal produk pertaniannya.
Baca SelengkapnyaSektor Perkebunan Butuh Inovasi Teknologi
31 Maret 2016
Bisnis perkebunan di Indonesia memerlukan inovasi teknologi guna mempertahankan bahkan meningkatkan produktivitas untuk mengatasi anomali iklim.
Baca SelengkapnyaProgram Toko Tani Kementan Dianggap Gagal
26 Januari 2016
Program Toko Tani tidak berhasil menjaga harga dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Baca SelengkapnyaHarga Karet Rendah, PTPN XII Beralih Menanam Tebu
13 Januari 2016
30 ribu hektare lahan tanaman karet dan kakao di Banyuwangi, Jawa Timur miliknya akan ditanami tebu.
Baca SelengkapnyaJadi Nomor Satu Produksi Kopi dan Kakao Dunia, Ini Komitmen Kementan
8 November 2015
Untuk ekstensifikasi, perlu ada perluasan lahan untuk menanam kopi dan kakao dengan varietas unggul.
Baca Selengkapnya