1976: sebuah "gerakan" muncul di Indonesia. Bahkan sebuah "Revolusi" terjadi.
Tapi tak seorang pun melihatnya.
Tak ada orang ramai yang memadati jalan-jalan, membawa poster dan meneriakkan yel. Tak ada pasukan perlawanan yang muncul dari lorong-lorong kota. Tak ada stasiun radio yang direbut. Kantor telekomunikasi tetap bekerja rutin.
Tapi Soeharto, presiden, mengetahui. Di Hari Angkatan Perang, 5 Oktober, ia memaklumkan bahwa ada "Gerakan Sawito" yang mengancam. Ia punya pengukuh: Laksamana Sudomo, perwira tinggi yang di masa itu jadi panglima yang menjaga keamanan dan ketertiban Republik. Sang panglima menyebut "Gerakan Sawito" itu bukti adanya "Revolusi".
Tapi kenapa sepi-sepi saja? Ini "Revolusi Istana", kata Sudomo.
Tak jelas istana yang mana.
Yang kemudian terungkap: ini istana yang tak lebih besar ketimbang keraton Ketoprak Humor. Yang disebut "gerakan" itu cuma terdiri atas tak lebih dari 10 laki-laki lanjut usia yang didampingi istri mereka yang sabar. Mereka ini percaya bahwa Sawito (seorang pegawai golongan III-C Departemen Pertanian dengan gaji Rp 5.000 sebulan) telah menerima mahkota dari Kerajaan Majapahit. Bahkan ia telah dinobatkan sebagai "Ratu Adil".
Upacara penobatan dilakukan dua kali di sebuah rumah pensiunan duta besar di Ciawi, September 1972. Yang hadir dua mantan duta besar Indonesia, seorang Belanda kelahiran Yogya yang berusia 71 tahun bernama Van Gennep, istrinya, seorang mertua, dan mungkin seorang dua orang lagi.
Pada hari itu, orang-orang tua itu merasakan, atau saling mengukuhkan, adanya wangsit bahwa mereka semua titisan Raja Majapahit, dari Brawijaya I sampai dengan Brawijaya V. Yang terakhir ini tak lain Raden Sudjono, si empunya rumah di Ciawi itu. Tokoh ini, 68 tahun, cukup penting sebagai pencatat. Ia, orang yang bergelar "meester in de rechten", sarjana hukum didikan sekolah Belanda, punya kemampuan menulis yang jelas dan rinci. Dalam sebuah naskah setebal 166 kertas folio berjudul Mission Impossible, Sudjono menggambarkan bagaimana adegan selama "penobatan" itu: Van Gennep mendatangi Sawito, dan akhirnya menyembah. Pak tua Belanda itu (yang yakin dirinya titisan Brawijaya I) pun "tunduk menghamba" di depan Sawito, sang "Ratu Adil". "Saya serahkan segala-galanya, raga, jiwa, dan roh kepada Guruji," sembahnya, menyebut Sawito dengan panggilan yang konon pantas untuk "Bhatara Guru".
Bagi orang di luar kelompok itu, adegan seperti itu ganjil, tak masuk akal, menggelikan. Tapi Sudjono orang yang beriman kepada "Ratu Adil"-nya. Dalam majalah Mawas Diri Mei 1972 ia mengisahkan pengalamannya.
Di awal 1972, ia mengikuti perjalanan "seorang pemuda" berumur 40 tahun, Sawito namanya. Orang ini punya mertua, bernama Trisirah, 66 tahun, yang katanya telah menerima "perintah atau petunjuk dari dunia gaib untuk melakukan beberapa tindakan demi keselamatan umat manusia yang menghuni kawasan Nusantara". Maka mereka pun mengunjungi "daerah yang angker, mistis, magis", sebuah perjalanan yang dalam wayang kulit disebut lelana brata. Dalam tiga gelombang kunjungan itu, mereka menjelajahi Pulau Jawa, "dari ujung Timur sekeliling Gunung Mahameru hingga ujung Barat berhadapan dengan Gunung Krakatau".
Alkisah, di hutan Ketonggo di kaki Gunung Lawu, Sudjono dan putrinya mengalami satu kejadian yang menakjubkan. Sejak petang, mereka melihat cahaya beraneka warna "dari segala jurusan menuju ke tempat kami duduk dekat Tugu Manik Kamala". Seperti lampu mobil. Tak cuma itu: di langit tampak cahaya bergerak kian-kemari, "bagaikan bintang-bintang beralihan". Klimaksnya jam 1.30 dinihari: "Kami menyaksikan sederet cahaya panjang yang amat terang."
Agaknya sejak itu Sudjono, yang menilai diri sendiri "biasa berdisiplin pada rasio dan logika", yakin: Sawito orang terpilih oleh Langit. Sawito sendiri tentu juga demikian. Dalam Mawas Diri ia menuliskan pertemuannya dengan momen itu.
Pada 1972, ia mendaki untuk menyepi di Gunung Muria. Pada suatu malam, ada ndaru atau cahaya yang jatuh dari angkasa dan masuk ke dalam tanah. Ketika digali, terdapat batu. Di sana, kata Sawito, membayang wajah Kristus. Di sisi lain: wajah Sawito sendiri.
Tampaknya, ia bukan saja merasa diri titisan Raja Majapahit. Ia juga merasa tak jauh dari status Juru Selamat. Ini juga terasa dari ramalannya yang dimuat di majalah yang sama. Ia gemar menekankan kalimatnya dengan huruf kapital: "Tuhan akan menurunkan KUASANYA, sekaligus Pemimpin, Pandu dan Tauladan". Keadaan Indonesia dan dunia begitu buruk, hingga "DIA sendiri berkenan turun tangan dalam wujud KUASANYA". Dengan itulah Tuhan akan memperbaiki keadaan hingga "NUSANTARA memegang peran MAHA penting, sebagai CIKAL BAKAL peradaban BARU, PANGKALAN PERTAMA PERINTIS KERAJAAN TUHAN YANG BARU".
Maka, dengan keyakinan semacam itu, Sawito mendatangi orang-orang terkenal, termasuk Bung Hatta, Hamka, dan juga pemimpin Gereja Katolik. Ia bisa bicara persuasif, hingga lelaki tegap tinggi ini berhasil membujuk para tokoh nasional itu menandatangani naskah Menuju Keselamatan. Naskah dikirim ke Istana. Isinya: meminta Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaan Sawito, "Ratu Adil" yang sudah dinobatkan di Ciawi itu.
Soeharto tak berkenan. "Gerakan Sawito" berbahaya. Maka ditangkaplah Sawito dan dengan cara khusus diinterogasilah para tokoh tua yang mungkin tak pernah berpikir untuk melakukan Revolusi apa pun.
Walhasil, inilah cerita paranoia versus paranormal: tanda betapa kekuasaan yang demikian besar bisa membuat orang meyakini kekuatan diri yang melebihi diri-disertai waswas, harap-harap cemas, dan impian yang jauh dari hidup praktis sehari-hari.
Goenawan Mohamad