Hari ini umat kristiani merayakan Minggu Paskah. Di mana-mana gereja penuh, bahkan sejak Jumat (Agung) yang lalu. Di jalanan, orang juga sibuk berjaga-jaga. Paskah kali ini mendapat kado istimewa dari pemerintah: siaga I.
Setiap ada perayaan dan ritual keagamaan, semestinya kita bisa dengan tenang menuju tempat ibadah. Bukankah dalam bahasa yang sederhana, orang-orang sering menyebut rumah ibadah sebagai rumah Tuhan? Tuhan yang Mahakuasa, yang menentukan segala "hidup-mati" di jagat raya ini. Tak ada sehelai pun daun yang gugur dari pohonnya tanpa sekehendak Tuhan, begitu ada bacaan dalam sebuah kitab.
Kenapa sekarang kita gusar menuju dan berada di rumah Tuhan? Apakah Tuhan sudah kurang kita yakini sebagai pelindung isi bumi, sehingga seorang presiden lewat menteri terkait mengumumkan siaga I? Tentu kita tetap yakin bahwa Tuhan adalah pelindung utama tanpa dua. Namun, karena keterbatasan kita untuk menebak apa yang "ditentukan" Tuhan, kita hanya bisa "merencanakan" apa yang sebaiknya dilakukan.
Bayangkan kalau bom di jalur pipa gas Serpong itu meledak sesuai dengan "rencana" pengebom, orang yang berada di sekitar gereja Katedral akan panik, mungkin juga menjadi korban. Komplotan teroris dengan akurat memperhitungkan kapan bom itu akan diledakkan, yakni pada saat orang sudah berkumpul untuk melakukan misa. Bahkan konon sudah disiapkan kamera film untuk mengabadikannya dan hasilnya nanti disebar untuk meyakinkan dunia betapa gawatnya keamanan di Tanah Air. Tapi Tuhan memiliki hak prerogatif untuk menentukan, apakah bom itu jadi meledak atau tidak. Polisi berhasil menangkap komplotan bom buku, lalu dari hasil tangkapan ini diketahui adanya bom pipa gas Serpong. Detasemen Khusus 88 bergerak cepat dan berhasil "membatalkan" bom itu meledak. Luar biasa, bisa jadi ini "campur tangan" Tuhan. Puji Tuhan, Tuhan Mahabesar.
Lantas kenapa bom bisa meledak di Masjid Az-Zikra, Cirebon, rumah Tuhan yang berada di kompleks kepolisian? Mungkin ini "peringatan kecil" dari Tuhan untuk kita semua. Disebut "peringatan kecil" karena ledakan bom ini hanya membunuh pengebomnya, umat lainnya cuma cedera. Siapa tahu kepolisian dianggap lalai selama ini dan kurang tegas bertindak, sehingga dapat "jeweran" Tuhan. Bukankah Muhammad Syarif, pengebom itu, sudah berkali-kali melakukan aksi beringas dalam berbagai demo? Bukankah ia sudah pernah dinyatakan masuk DPO (daftar pencarian orang)? Kenapa tak sedari awal "diamankan" dan malah ia masuk dengan leluasa ke kompleks kepolisian dan menabur bom?
Banyak "peringatan" yang disampaikan lewat Syarif. Selama ini kita selalu disuguhi berita, jika seorang teroris sudah ditangkap--atau jadi korban seperti Syarif--baru kita diberi tahu bahwa pelaku berperilaku aneh, pelaku menutup diri, tak pernah bergaul dengan tetangga, dan seterusnya. Cerita seperti ini berulang terjadi. Kenapa tak kita jadikan pelajaran bagaimana seharusnya menata pergaulan dalam lingkungan kecil? Kita memiliki rukun tetangga--dan berbagai nama lokal yang organisasinya mirip--yang semestinya bisa memantau kalau ada warga yang "aneh". Selama ini kita sibuk dengan urusan pribadi, dengan tetangga tak kenal, dengan anak tak terbuka. Ini menyuburkan kelompok-kelompok keras yang dengan mudah menyelusup di sembarangan tempat. Diaktifkannya kembali rukun tetangga, rukun warga, dan seterusnya bisa membatasi "persembunyian teroris", selain bermanfaat dalam menata sistem kependudukan.
Barangkali kita tak memerlukan siaga I secara nasional kalau rukun tetangga kita sudah siaga setiap waktu.